Kamis, 13 Juli 2017

Ambisi Besar yang Menggetarkan

Saya sering bertemu dua-tiga orang muda. Mereka berambisi besar untuk lancar menulis bahkan hebat. Hebat dalam arti tulisan itu berdampak dahsyat. Mereka pun berambisi menjadi terkenal melalui tulisan. Ketika sedang bercakap dengan mereka, tampak betapa menggebunya ambisi itu.

Aduhai, saya malah gemetar!

Betapa tidak gemetar. Saya sama sekali tidak pernah berambisi menjadi penulis, apalagi terkenal, dan tulisan saya berdampak dahsyat. Saya menulis karena saya ingin menyampaikan pemikiran saya ketika saya sering merasa kurang puas atau lengkap menyampaikan pemikiran secara lisan dan gambar.

Sedangkan dua-tiga orang muda itu, maaf, memahami kata dan kalimat saja belum lancar. Membaca buku, aduhai, maaf, entah apa yang bisa dipahami. Ambisi besar mereka menjadi penulis hebat dengan tulisan berdampak dahsyat, aduhai, masih perlu waktu panjang sekali. Apalagi ketiadaan pembimbing, mitra diskusi-belajar, lingkungan yang kondusif, dan seterusnya.

Itu yang membuat saya gemetar. Saya tidak pernah berambisi apa-apa untuk semacam itu. Hanya kesadaran diri untuk bisa menyampaikan pemikiran saya. Sebab, saya bukanlah seorang yang fasih berbicara. Saya bukanlah seorang yang lihai menggambar (bahasa gambar yang mudah dipahami oleh siapa saja). Saya memerlukan media lain untuk berkomunikasi. Ya, tulisan menjadi pilihan saya.  

Pilihan yang satu ini saya tekuni tanpa guru atau pembimbing secara khusus dan terus-menerus. Saya hanya mengandalkan telinga dan mata ketika berada di dekat orang-orang yang sedang duduk manis menulis dan dibimbing oleh senior atau guru menulis mereka.

Kebiasaan ini berlaku nyaris saban hari, khususnya ketika sedang bersinggungan dengan suatu hajatan, dan saya sedang bertugas menggambar kartun. Kegiatan bersama yang berbeda itu kami lakukan dengan bersenda gurau di tempat duduk masing-masing, atau apa saja yang menyenangkan, dan kesemuanya dalam batasan waktu (deadline) tugas masing-masing.

Kebiasaan yang nyaris saban hari? Ya. Saya pun merekam apa saja yang mereka lakukan, baik suatu kesalahan maupun suatu pujian. Kalau hajatan berlangsung satu minggu, ya, satu minggu saya bersama mereka. Kalau satu bulan, ya, satu bulan saya bersama mereka. Tugas saya hanya menggambar, dan tidak pernah saya gagal melaksanakan tugas saya.

Tapi bagaimana dengan menulis?

Saya berlatih menulis, khususnya esai atau opini, pada saat saya sudah melaksanakan tugas (membuat ilustrasi), dan orang-orang sudah pulas bersama mimpi entah apa. Komputer (di sekretariat milik kampus) sedang menganggur tapi saya kurang suka main suatu permainan (game). Saya mau menulis sesuatu yang lucu, iseng, santai, dan menyenangkan bagi saya tetapi bagaimana sesuai dengan kaidah tulis-menulis yang saya dengar dari para senior.  

Tidak selesai satu waktu, saya lanjutkan pada waktu yang lain. Tentu saja saya pun masih menggunakan tulisan manual di buku tulis untuk menuangkan gagasan agar tulisan dijital bisa lebih lancar. Pada waktu komputer sedang menganggur, saya mengambil kesempatan itu.

Bumi Bulat Bundar, kalau tidak keliru, adalah salah satu judul tulisan iseng saya. Masa itu belum heboh faham “bumi gepeng-datar”, meskipun ketika saya pernah mendengar suatu perandaian “bumi kotak-kotak” dari obrolan iseng seorang mentor seni rupa.

Dalam tulisan iseng sebagai awal belajar menulis otodidak itu saya menyebut pula kapal, dan tiang layar. Tulisan tersebut selesai, saya cetak, dan saya letakkan di meja. “Tulisan apa ini?!” komentar seorang senior dengan nada tidak suka.  

Saya tidak kecewa atau mendadak “gantung kata”. Tahun-tahun sebelumnya, ketika baru masa pelatihan jurnalistik, saya menulis judul berita, kalau tidak keliru, Kisah Sedih Sang Pemilik Warung.  Serta-merta mendapat tertawaan ramai. Saya tidak terhina sama sekali lantas “gantung diri”.

Masa-masa belajar menulis esai atau opini saya lalui dengan tanggapan kurang menyenangkan dari orang-orang sekitar saya. Tidak seorang senior atau mentor pun sudi membantu membaiki atau membimbing saya, baik dari judul, alinea pembuka, isi, akhir tulisan, tata bahasa, dan seterusnya!

Mengapa bisa begitu? Karena saya seorang ilustrator, dan kartunis-karikaturis di media kampus saya. Bukan seorang jurnalis bersenjata tulis-menulis dan foto-memfoto. Tugas saya bukanlah di bagian tulis-menulis.

Tapi saya jenis orang bandel dalam belajar. Saya terus menulis hal-hal iseng dengan panduan Majalah Humor. Kalau sedang ingin serius, panduan saya adalah Opini Harian Kompas. Saya terus berlatih, selain tekun mendengar pengajaran tulis-menulis bagi rekan-rekan saya.

Selama masa proses belajar menulis otodidak itu saya sama sekali tidak pernah bercita-cita menjadi penulis, apalagi terkenal, dan tulisan berdampak dahsyat. Saya tidak memiliki ambisi apa-apa dalam tulis-menulis. Sementara dalam bidang ilustrasi atau kartun pun begitu. Saya hanya ingin memaksimalkan kemampuan saya, meskipun tetap gagal maksimal!

Saya tidak mengerti, bagaimana dua-tiga orang muda yang pernah saya jumpai itu malah berambisi untuk begitu dahsyatnya. Bukan persoalan ambisi itu, melainkan “bagaimana”. Kata “bagaimana” berkaitan dengan cara atau prosesnya (praktik atau olah-kelola).

Proses atau cara itu berkaitan dengan, 1. pembimbing (mentor) yang memadai, 2. lingkungan yang kondusif, 3. tahap-tahap evaluasi yang cukup obyektif, dan 4. kesenangan (anggap sedang iseng atau bermain) dalam kesadaran atas pilihan.

Keempat hal ini, bagi saya dan pengalaman saya, lumayan berpengaruh dalam proses.  Saya tidak perlu menjelaskannya lagi. Bisa pula dikatakan bahwa pada masa proses tulis-menulis sebenarnya saya justru sedang terjerumus dalam situasi yang kondusif.

Dalam situasi kondusif itu serta-merta saya mengalami suatu pendisiplinan tanpa saya sadari, bahkan, mungkin, juga tanpa disadari oleh para senior dan rekan seangkatan saya. Ketidaksadaran ini disebabkan oleh ketiadaniatan atau tanpa ambisi apa pun untuk “menjadi”. Semua itu saya lakukan dengan riang-gembira.   

*******
Panggung Renung Balikpapan, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar