Saya sering bertemu
dua-tiga orang muda. Mereka berambisi besar untuk lancar menulis bahkan hebat. Hebat
dalam arti tulisan itu berdampak dahsyat. Mereka pun berambisi menjadi terkenal
melalui tulisan. Ketika sedang bercakap dengan mereka, tampak betapa
menggebunya ambisi itu.
Aduhai, saya malah
gemetar!
Betapa tidak
gemetar. Saya sama sekali tidak pernah berambisi menjadi penulis, apalagi
terkenal, dan tulisan saya berdampak dahsyat. Saya menulis karena saya ingin menyampaikan
pemikiran saya ketika saya sering merasa kurang puas atau lengkap menyampaikan
pemikiran secara lisan dan gambar.
Sedangkan dua-tiga
orang muda itu, maaf, memahami kata dan kalimat saja belum lancar. Membaca
buku, aduhai, maaf, entah apa yang bisa dipahami. Ambisi besar mereka menjadi
penulis hebat dengan tulisan berdampak dahsyat, aduhai, masih perlu waktu panjang
sekali. Apalagi ketiadaan pembimbing, mitra diskusi-belajar, lingkungan yang
kondusif, dan seterusnya.
Itu yang membuat
saya gemetar. Saya tidak pernah berambisi apa-apa untuk semacam itu. Hanya
kesadaran diri untuk bisa menyampaikan pemikiran saya. Sebab, saya bukanlah
seorang yang fasih berbicara. Saya bukanlah seorang yang lihai menggambar
(bahasa gambar yang mudah dipahami oleh siapa saja). Saya memerlukan media lain
untuk berkomunikasi. Ya, tulisan menjadi pilihan saya.
Pilihan yang satu
ini saya tekuni tanpa guru atau pembimbing secara khusus dan terus-menerus.
Saya hanya mengandalkan telinga dan mata ketika berada di dekat orang-orang
yang sedang duduk manis menulis dan dibimbing oleh senior atau guru menulis
mereka.
Kebiasaan ini
berlaku nyaris saban hari, khususnya ketika sedang bersinggungan dengan suatu
hajatan, dan saya sedang bertugas menggambar kartun. Kegiatan bersama yang
berbeda itu kami lakukan dengan bersenda gurau di tempat duduk masing-masing,
atau apa saja yang menyenangkan, dan kesemuanya dalam batasan waktu (deadline) tugas masing-masing.
Kebiasaan yang
nyaris saban hari? Ya. Saya pun merekam apa saja yang mereka lakukan, baik
suatu kesalahan maupun suatu pujian. Kalau hajatan berlangsung satu minggu, ya,
satu minggu saya bersama mereka. Kalau satu bulan, ya, satu bulan saya bersama
mereka. Tugas saya hanya menggambar, dan tidak pernah saya gagal melaksanakan
tugas saya.
Tapi bagaimana
dengan menulis?
Saya berlatih
menulis, khususnya esai atau opini, pada saat saya sudah melaksanakan tugas
(membuat ilustrasi), dan orang-orang sudah pulas bersama mimpi entah apa. Komputer
(di sekretariat milik kampus) sedang menganggur tapi saya kurang suka main
suatu permainan (game). Saya mau
menulis sesuatu yang lucu, iseng, santai, dan menyenangkan bagi saya tetapi bagaimana
sesuai dengan kaidah tulis-menulis yang saya dengar dari para senior.
Tidak selesai satu
waktu, saya lanjutkan pada waktu yang lain. Tentu saja saya pun masih
menggunakan tulisan manual di buku tulis untuk menuangkan gagasan agar tulisan
dijital bisa lebih lancar. Pada waktu komputer sedang menganggur, saya
mengambil kesempatan itu.
Bumi Bulat Bundar, kalau tidak keliru, adalah salah satu judul
tulisan iseng saya. Masa itu belum heboh faham “bumi gepeng-datar”, meskipun
ketika saya pernah mendengar suatu perandaian “bumi kotak-kotak” dari obrolan
iseng seorang mentor seni rupa.
Dalam tulisan iseng
sebagai awal belajar menulis otodidak itu saya menyebut pula kapal, dan tiang
layar. Tulisan tersebut selesai, saya cetak, dan saya letakkan di meja.
“Tulisan apa ini?!” komentar seorang senior dengan nada tidak suka.
Saya tidak kecewa
atau mendadak “gantung kata”. Tahun-tahun sebelumnya, ketika baru masa
pelatihan jurnalistik, saya menulis judul berita, kalau tidak keliru, Kisah Sedih Sang Pemilik Warung. Serta-merta mendapat tertawaan ramai. Saya
tidak terhina sama sekali lantas “gantung diri”.
Masa-masa belajar
menulis esai atau opini saya lalui dengan tanggapan kurang menyenangkan dari
orang-orang sekitar saya. Tidak seorang senior atau mentor pun sudi membantu
membaiki atau membimbing saya, baik dari judul, alinea pembuka, isi, akhir
tulisan, tata bahasa, dan seterusnya!
Mengapa bisa
begitu? Karena saya seorang ilustrator, dan kartunis-karikaturis di media
kampus saya. Bukan seorang jurnalis bersenjata tulis-menulis dan foto-memfoto.
Tugas saya bukanlah di bagian tulis-menulis.
Tapi saya jenis
orang bandel dalam belajar. Saya terus menulis hal-hal iseng dengan panduan
Majalah Humor. Kalau sedang ingin
serius, panduan saya adalah Opini
Harian Kompas. Saya terus berlatih,
selain tekun mendengar pengajaran tulis-menulis bagi rekan-rekan saya.
Selama masa proses
belajar menulis otodidak itu saya sama sekali tidak pernah bercita-cita menjadi
penulis, apalagi terkenal, dan tulisan berdampak dahsyat. Saya tidak memiliki
ambisi apa-apa dalam tulis-menulis. Sementara dalam bidang ilustrasi atau
kartun pun begitu. Saya hanya ingin memaksimalkan kemampuan saya, meskipun
tetap gagal maksimal!
Saya tidak
mengerti, bagaimana dua-tiga orang muda yang pernah saya jumpai itu malah
berambisi untuk begitu dahsyatnya. Bukan persoalan ambisi itu, melainkan
“bagaimana”. Kata “bagaimana” berkaitan dengan cara atau prosesnya (praktik
atau olah-kelola).
Proses atau cara
itu berkaitan dengan, 1. pembimbing (mentor) yang memadai, 2. lingkungan yang
kondusif, 3. tahap-tahap evaluasi yang cukup obyektif, dan 4. kesenangan (anggap
sedang iseng atau bermain) dalam kesadaran atas pilihan.
Keempat hal ini,
bagi saya dan pengalaman saya, lumayan berpengaruh dalam proses. Saya tidak perlu menjelaskannya lagi. Bisa
pula dikatakan bahwa pada masa proses tulis-menulis sebenarnya saya justru
sedang terjerumus dalam situasi yang kondusif.
Dalam situasi
kondusif itu serta-merta saya mengalami suatu pendisiplinan tanpa saya sadari,
bahkan, mungkin, juga tanpa disadari oleh para senior dan rekan seangkatan
saya. Ketidaksadaran ini disebabkan oleh ketiadaniatan atau tanpa ambisi apa
pun untuk “menjadi”. Semua itu saya lakukan dengan riang-gembira.
*******
Panggung Renung Balikpapan,
2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar