Selesai atau tidak,
berkas, yaitu kelengkapan administrasi, konsep maupun rancangan (desain), dikumpulkan pada batas akhir waktu lomba arsitektur.
Seorang anggota tim peserta merasa tidak
puas terhadap hasil akhir karya tim mereka, baik konsep (untuk penyajian)
maupun desain.
Ketidakpuasan itu
karena, dalam benak seorang oknum arsitek, kategori
"selesai" adalah suatu karya arsitektural yang tersaji secara ideal,
baik konsep maupun desain. Ideal, dalam benaknya, adalah "sempurna".
Sepakat atau tidak, tidak ada satu pun hasil karya yang sempurna. Perasaan puas karena merasa hasil karya sempurna merupakan perasaan situasional alias sesaat. Pada saat tertentu, kesempurnaan terasa nyata. Tetapi, pada saat sekian waktu selanjutnya, “kesempurnaan” itu bisa menjadi “kurang sempurna” karena perkembangan pengetahuan, wawasan, dan pengalamannya.
Sepakat atau tidak, tidak ada satu pun hasil karya yang sempurna. Perasaan puas karena merasa hasil karya sempurna merupakan perasaan situasional alias sesaat. Pada saat tertentu, kesempurnaan terasa nyata. Tetapi, pada saat sekian waktu selanjutnya, “kesempurnaan” itu bisa menjadi “kurang sempurna” karena perkembangan pengetahuan, wawasan, dan pengalamannya.
Ideal dan sempurna merupakan sebuah khayalan
belaka, jika merunut pada kapasitas siapa terhadap kapasitas siapa lainnya, dan
ideal dalam arti sebenarnya. Sebab, dalam sebuah tim, kriteria
"ideal" dan "sempurna" tidaklah sama bagi setiap anggota
tim. Kriteria tersebut ternyata dipengaruhi oleh latar belakang pemahaman dan pengalaman
masing-masing anggota.
Seorang anggota menilai suatu karya
arsitektural yang ideal atau sempurna adalah apabila "begini"
sebagaimana karya-karya pemenang suatu arena pertarungan karya. Seorang lainnya
menilai, ideal atau sempurna apabila "begitu" karena, selain dari
karya para pemenang, juga dari pemahaman seni yang pernah dipelajarinya.
Kedua anggota tim, sebenarnya, sedang
terjebak dalam benak alias khayalan masing-masing, yang "begini" dan
yang "begitu" sejak
semula. Lalu dalam proses pelaksanaan berkarya, terjadi
benturan (konflik) antara "begini" dan "begitu".
Dampak antara khayalan dan proses itu
adalah pada wujud hasil akhir (penyelesaian) karya tim. Hasil akhirnya adalah
"tidak ideal" atau "tidak sempurna" menurut khayalan setiap
anggota.
Kriteria ideal
seharusnya dimulai sejak awal, bukan menjelang akhir proses. Ideal untuk sebuah
tim adalah kapasitas setiap anggota. Lalu, setiap anggota bersepakat dalam satu
tujuan (visi); apakah tujuannya untuk tim ataukah, sebenarnya, untuk seorang
saja.
Dalam proses awal
ini, pencarian informasi (referensi atau literatur) menjadi sangat penting. Setiap
anggota berkewajiban menyepakati batasan-batasan tertentu berdasarkan informasi
yang telah disepakati. Waktu untuk proses awal ini cukup 1 minggu saja.
Kalau sudah saling
memahami dan bersepakat, tahap selanjutnya adalah berbagi tugas. Tugas paling
awal adalah membuat konsep secara garis besar (global), bukan parsial (per
bagian) apalagi perancangan (desain).
Kalau sudah
mendapatkan konsep secara global, bisa berlanjut pada pematangan konsep, dan
memulai perancangan. Setiap anggota harus bisa melakukan tugasnya
masing-masing, dan pada waktu tertentu memberi diri berada dalam satu ruang
bersama agar konsep dan rancangan (desain) bisa relevan.
Mengenai proses itu pun berkaitan dengan waktu.
Apabila batas akhir lomba adalah dua bulan kemudian, paling tidak, dua minggu
sebelum batas akhir sudah selesai. Sebab, waktu dua minggu merupakan proses
pematangan antara berkas administrasi, konsep dan rancangan sebelum dikirim ke
panitia perlombaan.
Memang, suatu pertarungan karya
arsitektural sangat berbeda dengan sebuah pertandingan olahraga, semisal bola
voli. Seorang pebola voli yang ideal adalah anu, selain kriteria kemampuan
teknis maupun kesehatan fisik. Tim bola voli yang ideal dapat pula terlihat
melalui kerjasama pada saat bertanding.
Kerjasama dalam suatu tim juga mengutamakan "kompromi". Kompromi berkaitan dengan mental (bagaimana menghargai kapasitas rekan dalam tim) sehingga masing-masing pemain tetap leluasa melaksanakan tugas dalam pertandingan.
Kerjasama dalam suatu tim juga mengutamakan "kompromi". Kompromi berkaitan dengan mental (bagaimana menghargai kapasitas rekan dalam tim) sehingga masing-masing pemain tetap leluasa melaksanakan tugas dalam pertandingan.
Tanpa kompromi, kekeliruan kecil seorang
rekan bisa berdampak psikologis bagi rekan lainnya karena rekan lainnya
"menuntut" bahwa rekannya tidak melakukan kekeliruan.
"Menuntut" adalah suatu beban mental yang, sebenarnya, sangat tidak
perlu karena cenderung berdampak kurang baik pada kapasitas rekan lainnya.
Dengan kata lain, "kompromi" pun
merupakan bagian dalam suatu kriteria kerjasama yang ideal. Suatu konflik
antaranggota terjadi justru karena kurang menyadari aspek kompromi. Kompromi
bukanlah suatu "pembiaran", melainkan upaya untuk mengantisipasi
"kekurangan" dalam kapasitas anggota (rekan) dalam tim.
Akan tetapi, apa pun perbedaan itu,
kriteria "ideal-sempurna" dalam suatu pertarungan karya seni terapan
(seni bangunan/arsitektur) dan sebuah pertandingan olahraga selalu berujung
pada hasil : menang atau kalah. Kalau dalam sebuah pertandingan olahraga dapat
terlihat bagaimana proses, dan peraihan angka secara jelas hingga akhirnya
menang atau kalah, tentunya berbeda dengan suatu pertarungan karya seni terapan
yang sangat ditentukan oleh kapasitas dewan juri.
Oleh sebab itu, ideal-sempurna pada sebuah
hasil karya arsitektural dalam suatu pertarungan agar bisa meraih kemenangan,
sangat dipengaruhi pula oleh kapasitas dewan juri, selain kriteria-kriteria
penilaian. Kalau sudah sampai pada tahap penilaian, hal termudah untuk
dipikirkan adalah nasib atau takdir bagi para tim peserta suatu pertarungan
karya arsitektural karena segala daya-upaya dan dana telah dicurahkan oleh
masing-masing tim peserta sampai pada hasil karya beserta tuntutan kelengkapan administrasinya.
Nasib atau takdir tidak bisa juga
berdasarkan kriteria ideal-sempurna menurut siapa. Ya, "apa boleh
buat", adalah tanggapan atau komentar selanjutnya.
Dan, satu-satunya
cara paling ideal dan aman-nyaman untuk suatu upaya mencapai hasil akhir yang
ideal-sempurna menurut masing-masing anggota adalah tidak perlu menjadi tim.
Jadilah peserta perorangan karena kriteria ideal-sempurna bisa sepenuhnya
dikerjakan oleh seorang peserta, baik proses awal maupun hasil akhirnya.
Dengan menjadi
peserta perorangan, segala kriteria ideal-sempurna bisa diupayakan sendiri.
Hasilnya kelak, berupa pengumuman pemenang, adalah nasib atau takdir. Puas atau
tidak puas, paling tidak, diri sendiri sudah berupaya memaksimalkan kapasitas
diri.
*******
Panggung Renung
Balikpapan, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar