Minggu, 09 Juli 2017

Ideal dan Tidak Ideal --- Sedikit Pengalaman Mendampingi Sebuah Tim Peserta Sayembara Arsitektur

Selesai atau tidak, berkas, yaitu kelengkapan administrasi, konsep maupun rancangan (desain), dikumpulkan pada batas akhir waktu lomba arsitektur. Seorang anggota tim peserta merasa tidak puas terhadap hasil akhir karya tim mereka, baik konsep (untuk penyajian) maupun desain.

Ketidakpuasan itu karena, dalam benak seorang oknum arsitek, kategori "selesai" adalah suatu karya arsitektural yang tersaji secara ideal, baik konsep maupun desain. Ideal, dalam benaknya, adalah "sempurna".

Sepakat atau tidak, tidak ada satu pun hasil karya yang sempurna. Perasaan puas karena merasa hasil karya sempurna merupakan perasaan situasional alias sesaat. Pada saat tertentu, kesempurnaan terasa nyata. Tetapi, pada saat sekian waktu selanjutnya, “kesempurnaan” itu bisa menjadi “kurang sempurna” karena perkembangan pengetahuan, wawasan, dan pengalamannya.

Ideal dan sempurna merupakan sebuah khayalan belaka, jika merunut pada kapasitas siapa terhadap kapasitas siapa lainnya, dan ideal dalam arti sebenarnya. Sebab, dalam sebuah tim, kriteria "ideal" dan "sempurna" tidaklah sama bagi setiap anggota tim. Kriteria tersebut ternyata dipengaruhi oleh latar belakang pemahaman dan pengalaman masing-masing anggota.

Seorang anggota menilai suatu karya arsitektural yang ideal atau sempurna adalah apabila "begini" sebagaimana karya-karya pemenang suatu arena pertarungan karya. Seorang lainnya menilai, ideal atau sempurna apabila "begitu" karena, selain dari karya para pemenang, juga dari pemahaman seni yang pernah dipelajarinya.

Kedua anggota tim, sebenarnya, sedang terjebak dalam benak alias khayalan masing-masing, yang "begini" dan yang "begitu" sejak semula. Lalu dalam proses pelaksanaan berkarya, terjadi benturan (konflik) antara "begini" dan "begitu".

Dampak antara khayalan dan proses itu adalah pada wujud hasil akhir (penyelesaian) karya tim. Hasil akhirnya adalah "tidak ideal" atau "tidak sempurna" menurut khayalan setiap anggota.

Kriteria ideal seharusnya dimulai sejak awal, bukan menjelang akhir proses. Ideal untuk sebuah tim adalah kapasitas setiap anggota. Lalu, setiap anggota bersepakat dalam satu tujuan (visi); apakah tujuannya untuk tim ataukah, sebenarnya, untuk seorang saja.

Dalam proses awal ini, pencarian informasi (referensi atau literatur) menjadi sangat penting. Setiap anggota berkewajiban menyepakati batasan-batasan tertentu berdasarkan informasi yang telah disepakati. Waktu untuk proses awal ini cukup 1 minggu saja.

Kalau sudah saling memahami dan bersepakat, tahap selanjutnya adalah berbagi tugas. Tugas paling awal adalah membuat konsep secara garis besar (global), bukan parsial (per bagian) apalagi perancangan (desain).

Kalau sudah mendapatkan konsep secara global, bisa berlanjut pada pematangan konsep, dan memulai perancangan. Setiap anggota harus bisa melakukan tugasnya masing-masing, dan pada waktu tertentu memberi diri berada dalam satu ruang bersama agar konsep dan rancangan (desain) bisa relevan.

Mengenai  proses itu pun berkaitan dengan waktu. Apabila batas akhir lomba adalah dua bulan kemudian, paling tidak, dua minggu sebelum batas akhir sudah selesai. Sebab, waktu dua minggu merupakan proses pematangan antara berkas administrasi, konsep dan rancangan sebelum dikirim ke panitia perlombaan.

Memang, suatu pertarungan karya arsitektural sangat berbeda dengan sebuah pertandingan olahraga, semisal bola voli. Seorang pebola voli yang ideal adalah anu, selain kriteria kemampuan teknis maupun kesehatan fisik. Tim bola voli yang ideal dapat pula terlihat melalui kerjasama pada saat bertanding.

Kerjasama dalam suatu tim juga mengutamakan "kompromi". Kompromi berkaitan dengan mental (bagaimana menghargai kapasitas rekan dalam tim) sehingga masing-masing pemain tetap leluasa melaksanakan tugas dalam pertandingan.

Tanpa kompromi, kekeliruan kecil seorang rekan bisa berdampak psikologis bagi rekan lainnya karena rekan lainnya "menuntut" bahwa rekannya tidak melakukan kekeliruan. "Menuntut" adalah suatu beban mental yang, sebenarnya, sangat tidak perlu karena cenderung berdampak kurang baik pada kapasitas rekan lainnya.

Dengan kata lain, "kompromi" pun merupakan bagian dalam suatu kriteria kerjasama yang ideal. Suatu konflik antaranggota terjadi justru karena kurang menyadari aspek kompromi. Kompromi bukanlah suatu "pembiaran", melainkan upaya untuk mengantisipasi "kekurangan" dalam kapasitas anggota (rekan) dalam tim.

Akan tetapi, apa pun perbedaan itu, kriteria "ideal-sempurna" dalam suatu pertarungan karya seni terapan (seni bangunan/arsitektur) dan sebuah pertandingan olahraga selalu berujung pada hasil : menang atau kalah. Kalau dalam sebuah pertandingan olahraga dapat terlihat bagaimana proses, dan peraihan angka secara jelas hingga akhirnya menang atau kalah, tentunya berbeda dengan suatu pertarungan karya seni terapan yang sangat ditentukan oleh kapasitas dewan juri.

Oleh sebab itu, ideal-sempurna pada sebuah hasil karya arsitektural dalam suatu pertarungan agar bisa meraih kemenangan, sangat dipengaruhi pula oleh kapasitas dewan juri, selain kriteria-kriteria penilaian. Kalau sudah sampai pada tahap penilaian, hal termudah untuk dipikirkan adalah nasib atau takdir bagi para tim peserta suatu pertarungan karya arsitektural karena segala daya-upaya dan dana telah dicurahkan oleh masing-masing tim peserta sampai pada hasil karya beserta tuntutan kelengkapan administrasinya.

Nasib atau takdir tidak bisa juga berdasarkan kriteria ideal-sempurna menurut siapa. Ya, "apa boleh buat", adalah tanggapan atau komentar selanjutnya.

Dan, satu-satunya cara paling ideal dan aman-nyaman untuk suatu upaya mencapai hasil akhir yang ideal-sempurna menurut masing-masing anggota adalah tidak perlu menjadi tim. Jadilah peserta perorangan karena kriteria ideal-sempurna bisa sepenuhnya dikerjakan oleh seorang peserta, baik proses awal maupun hasil akhirnya.

Dengan menjadi peserta perorangan, segala kriteria ideal-sempurna bisa diupayakan sendiri. Hasilnya kelak, berupa pengumuman pemenang, adalah nasib atau takdir. Puas atau tidak puas, paling tidak, diri sendiri sudah berupaya memaksimalkan kapasitas diri.  

*******  

Panggung Renung Balikpapan, 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar