Selasa, 25 Juli 2017

Hidup Harus Berlanjut

Selasa, 25 Juli 2017, aku mendapat penghiburan yang luar biasa.

1. Puisi (https://www.facebook.com/kangriboet.gondrongii/posts/793628250805997, atau http://www.litera.co.id/2017/07/26/dkkp-umumkan-hasil-seleksi-puisi/)
2. Esai (https://www.bukuindie.com/mungkinkah-menerbitkan-buku-tanpa-penerbit-dan-isbn/)

Hidup memang harus berlanjut. Aku tidak bisa berhenti untuk berkarya, meski sama sekali tidak pernah dihargai di Kota Minyak ini selama aku menjadi warganya dari 2009 sampai 2017 ini. Aku tidak pernah mendapat kesempatan dan sokongan dana untuk menghadiri acara-acara sastra regional dan nasional. Semua karena aku sadar bahwa aku bukanlah siapa-siapa di Negeri Beruang Madu ini.

Biarlah. Aku tetap akan berkarya. Berkarya adalah konsistensi dan konsekuensi, jika aku memang sedang membuat sejarahku sendiri. Bukan perhargaan yang membuat aku konsisten. Bukan penghargaan pula yang menjadi konsekuensi atas konsistenitasku berkarya.

Aku berkarya karena memang sudah begitu adanya sejak aku suka mencoret dinding di rumah ketika masih balita. Bukan karena "aku berkarya maka aku ada". Sebaliknya, "aku ada maka aku berkarya".

Tuhan memberi talenta padaku untuk aku pergunakan sebaik-baiknya. Aku akan terus menggunakan sekaligus mengasahnya agar aku semakin bisa mengucap syukur kepada-Nya. Biarlah manusia tidak menghargaiku tetapi aku menghargai talenta yang Tuhan berikan.

Dan, biarlah orang lain tidak menyukai Tuhan-ku karena memang aku dan mereka berbeda. Perbedaan bukanlah kesalahan atau kebencian, melainkan semakin membentukku berbarengan dengan karya-karyaku untuk menjadi seperti apa yang sejak semula adanya aku dalam Kitab Kehidupan.

Aku pun memulai Agustus dengan berkarya. Aku mengikuti kompetisi puisi dalam rangka Krakatau Award 2017. Aku mengikuti kompetisi artikel di Geotimes dalam rangka Hari Kemerdekaan. Aku mengikuti kompetisi opini di Jurnal Ruang, Gramedia. Dan sedang membuat cerita anak untuk kompetisi tingkat Kaltim & Kaltara.

Demikian saja.

Senin, 24 Juli 2017

Senin, 24 Juli, 08.30 WITA

Setelah 22 Juli
adalah 24 Juli.

Ini seperti ketika bapakku meninggal dunia.
Ambil saja semuanya.
Jangan nyawaku.

Sudah kehilangan antusiasme. Sudah kehabisan asa mengenai pemahaman. Sebab, pemahaman ternyata tidak penting, dan kejengkelan-kebencian menjadi ujung tombaknya.

Aku sudah membuktikan, tidaklah mudah memahami gabungan dua-tiga kata atau frasa. Aku bukanlah jenis orang suka memfitnah. Prinsipku, mending diam daripada memfitnah.

Mendatangi

Aku menyanggupi permintaan datang ke sebuah tempat sekaligus, kupikir, bisa menjelaskan ketidakjelasan informasi dan fakta. Aku bukanlah tipe pengecut karena aku sadar posisiku.

Sebelumnya, aku sama sekali tidak memiliki uang untuk membeli bensin eceran. Berapa harga bensin eceran? Rp. 8.000,00. Tidak ada uang segitu? Sumpah demi Pencipta yang menyaksikan hidupku!

Tidak ada orang yang percaya bahwa aku sama sekali tidak memiliki uang. Ketika aku jujur, tetap saja tidak seorang pun percaya. Hanya istriku yang mengenal aku, ternyata.

Seorang kawan menransfer Rp.50.000,00. Tapi, terpotong biaya administrasi, aku tidak bisa mencairkan transferan itu. Maaf, Bro.

Pagi itu, pkl. 08.00-an, aku sudah sampai di tempat. Baru bisa bertemu pkl.09.00-an. Sebentar berbincang soal...

Berapa Lamakah...

Pertanyaan termudah, berapa lamakah, ternyata tidak terjawab dengan semestinya. Jawabannya melenceng ke mana-mana, sampai ke urusan iuran segala. Luar biasa.

Mereka sudah memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) tetapi tidak mampu menjawab "berapa lamakah SIM jadi". Yang mereka jawab adalah proses pembuatan SIM, proses pembuatan KTP, proses menggali lubang kubur, dan lain-lain. Sama sekali tidak menjawab "waktu" melalui "berapa lamakah".

Sudah gagal paham (gagal memahami pertanyaan atau frasa), masih juga kecewa padaku. Gila! Sumpah mati, benar-benar gila! Mereka kompak membenci aku!

Jujur, aku menangis, dan itulah tangisan setelah bapakku meninggal dunia pada 11 Maret 2016. Aku tidak mampu marah karena, kupikir, sangat percuma memarahi orang yang sama sekali sudah memasang tembok kebencian. Maka aku segera keluar dari "arena".

Ya, Tuhan, aku benar-benar putus asa atas pemahaman itu. Tamatlah riwayat itu. Jangan kembalikan aku pada mereka, Tuhan. Jauhkan aku dari amarah, dan biarkan aku menangis sepanjang jalan pulang.

Sabtu, 22 Juli 2017

Cerpen BOY dimuat di Banjarmasin Post, 23 Juli 2017


sumber : http://banjarmasin.tribunnews.com/2017/07/23/boy-si-anjing-lucu


Sabtu, 22 Juli 2017 : Ada Apa?

Ada yang tidak perlu aku pikirkan lagi. Benar-benar tidak perlu. Entah siapa yang memerlukan siapa–aku ataukah mereka–untuk berkembang pesat, khususnya dalam penulisan gagasan, kritik, konsep, dan seterusnya.

Eh, ada apa ini, kok kelihatannya parah total dan sama sekali tidak bisa dibenahi?

Baiklah, aku buka sedikit.

***

Pertama, gagal paham.

Komunikasi verbal melalui tulisan ternyata masih saja sukar dipahami alias gagal paham. Contoh nyatanya : waktu.

Berapa lamakah proses penyelesaiannya secara benar-normal-wajar-reguler?” tanya sebagian statusku.

Frasa “berapa lamakah” ternyata gagal dipahami sebagai pertanyaan mengenai “waktu”.

Misalnya, “berapa lama proses penyelesaian urusan pemasangan PLN sampai petugasnya datang?” Atau, “berapa lama sertifikat IMB jadi secara normal-biasa-lumrah?”   

Kata tanya “berapa” berkaitan dengan “jumlah”. Kata “lamakah” berkaitan dengan “waktu”. Sertifikat IMB bisa jadi, biasanya, berkisar 1 sampai 1,5 bulan (30-45 hari). Mengurus perpanjangan SIM, 1 hari jadi. Dan seterusnya.

***

Kedua, salah paham.

“Kemarin saya sudah jelaskan kami sudah berusaha…” jawab seseorang (11/7).

“Di daerah lain pake ujian…” bisik seorang lainnya (11/7).

“Teman-teman semua pada menunggu proses…” bisik seorang lainnya lagi (22/7).

Coba aku kembalikan pertanyaanku. Berapa lamakah proses penyelesaiannya secara benar-normal-wajar-reguler?”

“Berapa lamakah…”

Tiga orang menjawab:
1. Berusaha.  
2. Ujian.
3. Menunggu.

Tiga jawaban berintikan “proses” (berusaha, ujian, dan menunggu). Proses bisa menjadi jawaban apabila pertanyaanku adalah "mengapa" (mengapa lama begitu?) atau "bagaimana" (bagaimana bisa lama begitu?). Padahal pertanyaanku cuma “waktu” (berapa lamakah…).

Misalnya lagi.
“Berapa lamakah sumurnya jadi (sejak galian pertama) dalam waktu normal, Bapak-bapak?”

“Saya sudah berusaha sekuat tenaga,” jawab bapak ke-1.

“Di tempat lain tanahnya berbatu,” jawab bapak ke-2.

“Sedang menunggu airnya keluar,” jawab bapak ke-3.

Bisakah dibayangkan betapa bingungnya aku?

Misalnya, ya, itu, SIM (Surat Izin Mengemudi). Masing-masing pasti memiliki, baik SIM A, B, atau C. "Berapa lamakah prosesnya?" Tentunya tidak relevan ketika dijawab dengan, "Tergantung mesin cetak kartunya, atau kesehatan petugasnya."

Artinya, untuk menjawab "waktu", pasti berdasarkan "apa yang pernah dialami" dalam rentang tanggal/kalender sekian hari atau bulan, bukannya membayangkan prosesnya yang begini-begitu. Hal sepele (berapa lamakah) ini pun ternyata gagal dipahami.

***

Ketiga, selesai komunikasi.

Dampak pertanyaanku adalah selesai komunikasi antara aku dan mereka. Ketiganya tidak sudi berkomunikasi lagi denganku. Masing-masing berbekal gagal paham dan salah paham.

Bisakah dibayangkan, betapa tambah bingungnya aku?

***

Keempat, tidak kupikirkan lagi.  

Aku benar-benar berhenti memikirkan tahap dalam sebagian perjalanan mereka berkarya, khususnya jika memasuki tahap menuliskan pemikiran mereka. Apakah kelak mereka kelak akan mahir menyampaikan gagasan, kritik, wacana, atau saran melalui tulisan yang bagus, semua itu terserah mereka sendiri.

Bahkan salah seorang pernah berharap aku membantunya membuat tulisan, tentunya, gagal total setelah ucapan. Padahal beberapa hari sebelumnya aku membantunya selama lebih 8 jam dalam 3 hari untuk suatu lomba. Aku, yang berusia jauh lebih tua, datang ke rumahnya. Hasil gagal paham dan salah paham adalah “selamat tinggal”. Alangkah mulia hidupnya.

Sementara orang-orang lainnya juga begitu. Padahal, sepintas aku melihat mereka ingin bisa mahir menulis. Mereka juga rajin membaca, yang terlihat melalui koleksi bahan bacaan. Tingkat pendidikan mereka juga tinggi lho.

***

Nah, daripada mati dalam kebingungan, aku sudahi saja berpikir untuk mereka. Aku benar-benar jera. Luar biasa jeranya aku!

Betapa tidak jera alias kapok. Satu kalimat bahkan satu frasa saja sudah gagal dipahami, bagaimana kalau satu karya tulisan berjumlah enam halaman, ya? Jangan-jangan bisa terjadi keributan massal.

Itu baru sebatas membaca atau memahami kata, frasa, dan kalimat. Bagaimana kalau selanjutnya mereka membuat tulisan, ya? Dengan tulisan yang susah dipahami, apakah kelak tidak malah menambah keributan missal?

Ya, semoga tabah dan ikhlas saja. Aku sudah anggap selesailah segalanya.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 23 Juli 2017   

Kamis, 13 Juli 2017

Disiplin dalam Proses Tulis-Menulis

Sebagian orang hebat mengatakan bahwa salah satu kunci kesuksesan atau keberhasilan adalah disiplin. Disiplin dalam belajar. Disiplin dalam berlalu lintas. Disiplin dalam bekerja. Disiplin menambah ilmu pengetahuan. Disiplin mengamati perkembangan zaman. Disiplin mengembangkan diri. Dan lain-lain, termasuk dalam proses tulis-menulis.

Disiplin tidak mudah jika kata “disiplin” terjebak dalam pemahaman makna yang sempit seakan-akan disiplin itu kaku, statis, dan monoton, yang secara keseluruhan memperlihatkan suatu kegiatan yang sangat mengekang kebebasan. Kalau disiplin dikonotasikan dengan kaku, statis, dan monoton, ya, selamat bersusah-kesah melulu.  Lho mengapa begitu?

Begini. Tulis-menulis, gambar-menggambar, nyanyi-menyanyi, mancing-memancing, dan kegiatan lainnya merupakan sebuah pilihan. Setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih, termasuk memilih suatu kegiatan, bukan?

Kebebasan berkaitan erat dengan kesenangan sebab semua orang ingin bebas, dan senang sekali kalau bisa bebas. Kegiatan yang menyenangkan, kata orang, adalah kegemaran atau hobi. Setiap orang memiliki hobi, bukan?

Seseorang yang memiliki hobi atau kegiatan yang menyenangkan sekaligus membebaskan dirinya untuk mengaktualisasikan kemampuan kemanusiaannya (kreativitas), tidak jarang, itulah yang akan dilakukannya secara terus-menerus (kontinyu), walaupun dengan suatu keterbatasan tertentu, semisal alat atau media. Oleh sebab senang dan bebas, tidak jarang pula, justru menghasilkan sesuatu, minimal keriangan dalam dirinya.

Oh iya, tadi ada kata “terus-menerus”. Terus-menerus tidak terlepas dari suatu kedisiplinan. Dalam tulis-menulis juga membutuhkan kedisiplinan itu. Disiplin dalam proses. Disiplin dalam pencarian informasi. Disiplin dalam gagasan. Ujungnya, disiplin dalam produksi (hasil). Oleh sebab tulis-menulis merupakan hobi, semua bentuk kedisiplinan itu seringkali tidak terpikirkan, atau tidak menjadi bebas. Bukankah suatu kesenangan selalu dilakukan tanpa terasa adanya beban?

Hobi dan disiplin dalam waktu bersamaan dan berkelanjutan adalah keniscayaan untuk menghasilkan suatu karya tulis-menulis yang baik. Baik di sini bukan saja tulisan sesuai dengan kaidah tulis-menulis melainkan pula sebuah tulisan yang memiliki suatu dampak tertentu, khususnya bagi pembaca tulisan. Dan, hobi tulis-menulis ini pun bukan berarti karena memang profesinya, misalnya panitera, jurnalis, sekretaris, dan seterusnya.

Ketika tulis-menulis merupakan sebuah pilihan hobi, kesadaran terhadap diri sendiri sangat diperlukan. Sadar bahwa dirinya menyukai; sadar bahwa dirinya ingin semakin berkembang; sadar bahwa dirinya suka berlatih; sadar bahwa disiplin pribadi akan membawanya ke suatu tahap yang disebut berhasil (sukses).

Keberhasilan suatu kegiatan tulis-menulis adalah produk (tulisan) itu sendiri. Keberhasilan pada tahap ini sudah cukup bagus. Agar bisa bagus dan semakin bagus, tentu saja, harus tekun berlatih atau berproses. Ketekunan ini, oleh sebab kesadaran atas hobi bahkan dilandasi rasa cinta atas pilihan, niscaya kesuksesan akan diraih pada suatu waktu, dan waktu-waktu lainnya.

Contoh orang-orang yang berhasil, yaitu Mochtar Lubis, Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Ajidarma, dan lain-lain, yang memang dilatarbelakangi oleh profesi sebagai jurnalis. Kedisiplinan karena profesi alias tuntutan pekerjaan, dan karena memang mereka menyukai.

Contoh lainya, yang bukan karena profesi jurnalis, yaitu Saut Situmorang, Puthut E.A., Eka Kurniawan, Raditya Dika, dan lain-lain, bahkan seorang Denny Siregar. Kedisplinan dalam proses tulis-menulis dilakukan karena kesenangan atas pilihan (hobi). Mereka tidak terpaksa melakukan kedisiplinan tetapi menyukai pilihan tulis-menulis itu.

Oleh karena hobi yang disadari dan dinikmati sebagai suatu kebebasan, kedisiplinan bukan lagi sesuatu yang kaku, statis, atau monoton, melainkan bagian dari proses itu sendiri. Kedisiplinan untuk berproduksi pun dilakukan dengan semangat riang-gembira. Tidak heran jika kemudian mereka selalu menghasilkan tulisan-tulisan yang bermutu, dan nama mereka pun terkenal pada suatu waktu.    

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2017

Ambisi Besar yang Menggetarkan

Saya sering bertemu dua-tiga orang muda. Mereka berambisi besar untuk lancar menulis bahkan hebat. Hebat dalam arti tulisan itu berdampak dahsyat. Mereka pun berambisi menjadi terkenal melalui tulisan. Ketika sedang bercakap dengan mereka, tampak betapa menggebunya ambisi itu.

Aduhai, saya malah gemetar!

Betapa tidak gemetar. Saya sama sekali tidak pernah berambisi menjadi penulis, apalagi terkenal, dan tulisan saya berdampak dahsyat. Saya menulis karena saya ingin menyampaikan pemikiran saya ketika saya sering merasa kurang puas atau lengkap menyampaikan pemikiran secara lisan dan gambar.

Sedangkan dua-tiga orang muda itu, maaf, memahami kata dan kalimat saja belum lancar. Membaca buku, aduhai, maaf, entah apa yang bisa dipahami. Ambisi besar mereka menjadi penulis hebat dengan tulisan berdampak dahsyat, aduhai, masih perlu waktu panjang sekali. Apalagi ketiadaan pembimbing, mitra diskusi-belajar, lingkungan yang kondusif, dan seterusnya.

Itu yang membuat saya gemetar. Saya tidak pernah berambisi apa-apa untuk semacam itu. Hanya kesadaran diri untuk bisa menyampaikan pemikiran saya. Sebab, saya bukanlah seorang yang fasih berbicara. Saya bukanlah seorang yang lihai menggambar (bahasa gambar yang mudah dipahami oleh siapa saja). Saya memerlukan media lain untuk berkomunikasi. Ya, tulisan menjadi pilihan saya.  

Pilihan yang satu ini saya tekuni tanpa guru atau pembimbing secara khusus dan terus-menerus. Saya hanya mengandalkan telinga dan mata ketika berada di dekat orang-orang yang sedang duduk manis menulis dan dibimbing oleh senior atau guru menulis mereka.

Kebiasaan ini berlaku nyaris saban hari, khususnya ketika sedang bersinggungan dengan suatu hajatan, dan saya sedang bertugas menggambar kartun. Kegiatan bersama yang berbeda itu kami lakukan dengan bersenda gurau di tempat duduk masing-masing, atau apa saja yang menyenangkan, dan kesemuanya dalam batasan waktu (deadline) tugas masing-masing.

Kebiasaan yang nyaris saban hari? Ya. Saya pun merekam apa saja yang mereka lakukan, baik suatu kesalahan maupun suatu pujian. Kalau hajatan berlangsung satu minggu, ya, satu minggu saya bersama mereka. Kalau satu bulan, ya, satu bulan saya bersama mereka. Tugas saya hanya menggambar, dan tidak pernah saya gagal melaksanakan tugas saya.

Tapi bagaimana dengan menulis?

Saya berlatih menulis, khususnya esai atau opini, pada saat saya sudah melaksanakan tugas (membuat ilustrasi), dan orang-orang sudah pulas bersama mimpi entah apa. Komputer (di sekretariat milik kampus) sedang menganggur tapi saya kurang suka main suatu permainan (game). Saya mau menulis sesuatu yang lucu, iseng, santai, dan menyenangkan bagi saya tetapi bagaimana sesuai dengan kaidah tulis-menulis yang saya dengar dari para senior.  

Tidak selesai satu waktu, saya lanjutkan pada waktu yang lain. Tentu saja saya pun masih menggunakan tulisan manual di buku tulis untuk menuangkan gagasan agar tulisan dijital bisa lebih lancar. Pada waktu komputer sedang menganggur, saya mengambil kesempatan itu.

Bumi Bulat Bundar, kalau tidak keliru, adalah salah satu judul tulisan iseng saya. Masa itu belum heboh faham “bumi gepeng-datar”, meskipun ketika saya pernah mendengar suatu perandaian “bumi kotak-kotak” dari obrolan iseng seorang mentor seni rupa.

Dalam tulisan iseng sebagai awal belajar menulis otodidak itu saya menyebut pula kapal, dan tiang layar. Tulisan tersebut selesai, saya cetak, dan saya letakkan di meja. “Tulisan apa ini?!” komentar seorang senior dengan nada tidak suka.  

Saya tidak kecewa atau mendadak “gantung kata”. Tahun-tahun sebelumnya, ketika baru masa pelatihan jurnalistik, saya menulis judul berita, kalau tidak keliru, Kisah Sedih Sang Pemilik Warung.  Serta-merta mendapat tertawaan ramai. Saya tidak terhina sama sekali lantas “gantung diri”.

Masa-masa belajar menulis esai atau opini saya lalui dengan tanggapan kurang menyenangkan dari orang-orang sekitar saya. Tidak seorang senior atau mentor pun sudi membantu membaiki atau membimbing saya, baik dari judul, alinea pembuka, isi, akhir tulisan, tata bahasa, dan seterusnya!

Mengapa bisa begitu? Karena saya seorang ilustrator, dan kartunis-karikaturis di media kampus saya. Bukan seorang jurnalis bersenjata tulis-menulis dan foto-memfoto. Tugas saya bukanlah di bagian tulis-menulis.

Tapi saya jenis orang bandel dalam belajar. Saya terus menulis hal-hal iseng dengan panduan Majalah Humor. Kalau sedang ingin serius, panduan saya adalah Opini Harian Kompas. Saya terus berlatih, selain tekun mendengar pengajaran tulis-menulis bagi rekan-rekan saya.

Selama masa proses belajar menulis otodidak itu saya sama sekali tidak pernah bercita-cita menjadi penulis, apalagi terkenal, dan tulisan berdampak dahsyat. Saya tidak memiliki ambisi apa-apa dalam tulis-menulis. Sementara dalam bidang ilustrasi atau kartun pun begitu. Saya hanya ingin memaksimalkan kemampuan saya, meskipun tetap gagal maksimal!

Saya tidak mengerti, bagaimana dua-tiga orang muda yang pernah saya jumpai itu malah berambisi untuk begitu dahsyatnya. Bukan persoalan ambisi itu, melainkan “bagaimana”. Kata “bagaimana” berkaitan dengan cara atau prosesnya (praktik atau olah-kelola).

Proses atau cara itu berkaitan dengan, 1. pembimbing (mentor) yang memadai, 2. lingkungan yang kondusif, 3. tahap-tahap evaluasi yang cukup obyektif, dan 4. kesenangan (anggap sedang iseng atau bermain) dalam kesadaran atas pilihan.

Keempat hal ini, bagi saya dan pengalaman saya, lumayan berpengaruh dalam proses.  Saya tidak perlu menjelaskannya lagi. Bisa pula dikatakan bahwa pada masa proses tulis-menulis sebenarnya saya justru sedang terjerumus dalam situasi yang kondusif.

Dalam situasi kondusif itu serta-merta saya mengalami suatu pendisiplinan tanpa saya sadari, bahkan, mungkin, juga tanpa disadari oleh para senior dan rekan seangkatan saya. Ketidaksadaran ini disebabkan oleh ketiadaniatan atau tanpa ambisi apa pun untuk “menjadi”. Semua itu saya lakukan dengan riang-gembira.   

*******
Panggung Renung Balikpapan, 2017

Minggu, 09 Juli 2017

Ideal dan Tidak Ideal --- Sedikit Pengalaman Mendampingi Sebuah Tim Peserta Sayembara Arsitektur

Selesai atau tidak, berkas, yaitu kelengkapan administrasi, konsep maupun rancangan (desain), dikumpulkan pada batas akhir waktu lomba arsitektur. Seorang anggota tim peserta merasa tidak puas terhadap hasil akhir karya tim mereka, baik konsep (untuk penyajian) maupun desain.

Ketidakpuasan itu karena, dalam benak seorang oknum arsitek, kategori "selesai" adalah suatu karya arsitektural yang tersaji secara ideal, baik konsep maupun desain. Ideal, dalam benaknya, adalah "sempurna".

Sepakat atau tidak, tidak ada satu pun hasil karya yang sempurna. Perasaan puas karena merasa hasil karya sempurna merupakan perasaan situasional alias sesaat. Pada saat tertentu, kesempurnaan terasa nyata. Tetapi, pada saat sekian waktu selanjutnya, “kesempurnaan” itu bisa menjadi “kurang sempurna” karena perkembangan pengetahuan, wawasan, dan pengalamannya.

Ideal dan sempurna merupakan sebuah khayalan belaka, jika merunut pada kapasitas siapa terhadap kapasitas siapa lainnya, dan ideal dalam arti sebenarnya. Sebab, dalam sebuah tim, kriteria "ideal" dan "sempurna" tidaklah sama bagi setiap anggota tim. Kriteria tersebut ternyata dipengaruhi oleh latar belakang pemahaman dan pengalaman masing-masing anggota.

Seorang anggota menilai suatu karya arsitektural yang ideal atau sempurna adalah apabila "begini" sebagaimana karya-karya pemenang suatu arena pertarungan karya. Seorang lainnya menilai, ideal atau sempurna apabila "begitu" karena, selain dari karya para pemenang, juga dari pemahaman seni yang pernah dipelajarinya.

Kedua anggota tim, sebenarnya, sedang terjebak dalam benak alias khayalan masing-masing, yang "begini" dan yang "begitu" sejak semula. Lalu dalam proses pelaksanaan berkarya, terjadi benturan (konflik) antara "begini" dan "begitu".

Dampak antara khayalan dan proses itu adalah pada wujud hasil akhir (penyelesaian) karya tim. Hasil akhirnya adalah "tidak ideal" atau "tidak sempurna" menurut khayalan setiap anggota.

Kriteria ideal seharusnya dimulai sejak awal, bukan menjelang akhir proses. Ideal untuk sebuah tim adalah kapasitas setiap anggota. Lalu, setiap anggota bersepakat dalam satu tujuan (visi); apakah tujuannya untuk tim ataukah, sebenarnya, untuk seorang saja.

Dalam proses awal ini, pencarian informasi (referensi atau literatur) menjadi sangat penting. Setiap anggota berkewajiban menyepakati batasan-batasan tertentu berdasarkan informasi yang telah disepakati. Waktu untuk proses awal ini cukup 1 minggu saja.

Kalau sudah saling memahami dan bersepakat, tahap selanjutnya adalah berbagi tugas. Tugas paling awal adalah membuat konsep secara garis besar (global), bukan parsial (per bagian) apalagi perancangan (desain).

Kalau sudah mendapatkan konsep secara global, bisa berlanjut pada pematangan konsep, dan memulai perancangan. Setiap anggota harus bisa melakukan tugasnya masing-masing, dan pada waktu tertentu memberi diri berada dalam satu ruang bersama agar konsep dan rancangan (desain) bisa relevan.

Mengenai  proses itu pun berkaitan dengan waktu. Apabila batas akhir lomba adalah dua bulan kemudian, paling tidak, dua minggu sebelum batas akhir sudah selesai. Sebab, waktu dua minggu merupakan proses pematangan antara berkas administrasi, konsep dan rancangan sebelum dikirim ke panitia perlombaan.

Memang, suatu pertarungan karya arsitektural sangat berbeda dengan sebuah pertandingan olahraga, semisal bola voli. Seorang pebola voli yang ideal adalah anu, selain kriteria kemampuan teknis maupun kesehatan fisik. Tim bola voli yang ideal dapat pula terlihat melalui kerjasama pada saat bertanding.

Kerjasama dalam suatu tim juga mengutamakan "kompromi". Kompromi berkaitan dengan mental (bagaimana menghargai kapasitas rekan dalam tim) sehingga masing-masing pemain tetap leluasa melaksanakan tugas dalam pertandingan.

Tanpa kompromi, kekeliruan kecil seorang rekan bisa berdampak psikologis bagi rekan lainnya karena rekan lainnya "menuntut" bahwa rekannya tidak melakukan kekeliruan. "Menuntut" adalah suatu beban mental yang, sebenarnya, sangat tidak perlu karena cenderung berdampak kurang baik pada kapasitas rekan lainnya.

Dengan kata lain, "kompromi" pun merupakan bagian dalam suatu kriteria kerjasama yang ideal. Suatu konflik antaranggota terjadi justru karena kurang menyadari aspek kompromi. Kompromi bukanlah suatu "pembiaran", melainkan upaya untuk mengantisipasi "kekurangan" dalam kapasitas anggota (rekan) dalam tim.

Akan tetapi, apa pun perbedaan itu, kriteria "ideal-sempurna" dalam suatu pertarungan karya seni terapan (seni bangunan/arsitektur) dan sebuah pertandingan olahraga selalu berujung pada hasil : menang atau kalah. Kalau dalam sebuah pertandingan olahraga dapat terlihat bagaimana proses, dan peraihan angka secara jelas hingga akhirnya menang atau kalah, tentunya berbeda dengan suatu pertarungan karya seni terapan yang sangat ditentukan oleh kapasitas dewan juri.

Oleh sebab itu, ideal-sempurna pada sebuah hasil karya arsitektural dalam suatu pertarungan agar bisa meraih kemenangan, sangat dipengaruhi pula oleh kapasitas dewan juri, selain kriteria-kriteria penilaian. Kalau sudah sampai pada tahap penilaian, hal termudah untuk dipikirkan adalah nasib atau takdir bagi para tim peserta suatu pertarungan karya arsitektural karena segala daya-upaya dan dana telah dicurahkan oleh masing-masing tim peserta sampai pada hasil karya beserta tuntutan kelengkapan administrasinya.

Nasib atau takdir tidak bisa juga berdasarkan kriteria ideal-sempurna menurut siapa. Ya, "apa boleh buat", adalah tanggapan atau komentar selanjutnya.

Dan, satu-satunya cara paling ideal dan aman-nyaman untuk suatu upaya mencapai hasil akhir yang ideal-sempurna menurut masing-masing anggota adalah tidak perlu menjadi tim. Jadilah peserta perorangan karena kriteria ideal-sempurna bisa sepenuhnya dikerjakan oleh seorang peserta, baik proses awal maupun hasil akhirnya.

Dengan menjadi peserta perorangan, segala kriteria ideal-sempurna bisa diupayakan sendiri. Hasilnya kelak, berupa pengumuman pemenang, adalah nasib atau takdir. Puas atau tidak puas, paling tidak, diri sendiri sudah berupaya memaksimalkan kapasitas diri.  

*******  

Panggung Renung Balikpapan, 2017

Kamis, 06 Juli 2017

Mencoba Suatu Kondisi Tim Peserta Sayembara Arsitektur

Mencoba suatu kondisi kerja tim peserta sayembara arsitektur, meski secara nama tidak menjadi bagian mereka, tentunya, berbeda dengan kondisi lainnya ketika secara individual (sendirian) menjadi peserta lomba menulis esai, cerpen, puisi, atau merancang gambar kaus oblong, kartun-karikatur, atau pula tim bola voli SMP.
Suatu waktu kelak aku akan menjadi peserta sayembara atau lomba merancang suatu bangunan (arsitektur) juga. Sekarang belajar dulu. Ya, belajar memang tidak terbatas pada status pendidikan sebagai pelajar atau mahasiswa, melainkan ketika sudah terjun dalam dunia profesional.
Setiap sayembara, lomba atau pertarungan karya, bagiku, merupakan sebuah ujian non-formal. Sementara setifikat, piagam penghargaan, atau piala adalah penanda atas suatu hasil ujian saja.
Aku orang kampung pelosok. Aku sudah melompat laut. Aku sudah pergi ke sana-sini. Ujian hidup sudah biasa. Mencoba masuk dalam suatu ujian hidup berlabel "lomba", sudah bukan satu-dua kali kuhadapi. Hanya perlu persiapan (belajar) lagi jika hendak mencoba turun ke arena pertarungan karya.
Untuk menghadapi sebuah ujian, tentunya, belajar menjadi kunci awal. Belajar dengan cara mencari referensi, definisi, substansi, dan seterusnya. Belajar, dan belajar. Ya, selagi pikiran masih normal alias belum pikun, stroke, atau mati.
Menghadapi ujian melalui suatu sayembara atau lomba juga merupakan suatu ajang uji nyali. Nyali berkaitan dengan kemampuan (kapasitas) berpikir, kesempatan sekaligus kesiapan mental menghadapi kemungkinan terbaik ataupun terburuk, dan, bisa ditambah, harga diri. Harga diri? Aku anggap harga diri sangat tidak penting, entah bagi orang lain. Kemampuan berpikir berkait pada pemanfaatan pengetahuan, pemahaman terhadap suatu topik, dan lain-lain. Dan, kemungkinan-kemungkinan yang menyublim ke arah entah.
Terakhir, menang-kalah, anggap saja nasib atau takdir. Tidak perlu repot-repot. Aku sudah sering ikut pertarungan karya (lomba atau sayembara), sudah biasa kalah dan belum terbiasa menang. Sudah nasibku begitu.
Hal inilah yang kusampaikan kepada kawan-kawan yang tergabung dalam tim peserta sayembara arsitektur. Mereka belum terbiasa mengikuti suatu pertarungan karya, dan, baguslah, sudah berkenan untuk mencoba bertarung.
Ah, nulis apa, sih, aku ini?!

Minggu, 02 Juli 2017

Arif er Rahman di Rumah Sakit dan Saya Keluar dari Pertapaan

Lebaran 1438 H atau 2017 M adalah awal saya keluar dari “pertapaan”. Ada niatan untuk kembali mengunjungi beberapa orang yang pernah saya kenal dalam masa keaktifan saya berkesenian (tulis-menulis) sebelum 18 Oktober 2014. Salah seorang di antaranya adalah Arif er Rahman–seorang redaktur tetap di Harian Tribun Kaltim.

Kalau pada lebaran tahun sebelumnya saya hanya mengirimkan pesan singkat (SMS) sebagai ganti atas ketidakhadiran saya, lebaran kali ini saya sengaja tidak mengirimkan SMS karena saya berniat hadir di rumahnya.

Di Fb saya memang menghapus pertemanan dengan Arif karena saya mau fokus berkarya saja setelah lelah menghadapi kenyataan sampai 18 Oktober 2014 itu (baca juga Sengaja Menghapus Pertemanan di Media Sosial). SMS terakhir (masih saya simpan) dengan Arif adalah ketika saya menang lomba esai 2016 karena, ternyata, Arif anggota dewan juri, termasuk Sofie.

"Tulisan Gus Noy paling menonjol dan sangat esai. Selamat," katanya pada 10 November 2016, pukul 13.54 WITA, meski ketika lomba aku tidak mencantumkan nama dan simbol-simbol tertentu sebagai penanda siapa penulisnya.

Lebaran hari ke-3, ketika itu saya mulai keluar, yaitu ke rumah Alfian Syah di Manggar. Di sana saya dan Alfian berniat mengunjungi Arif. Jam berapanya, Alfian berjanji akan mengabari. Ternyata tidak ada kabar.

Ya, sudah. Saya tidak bisa-biasa melanggar janji dengan orang lain. Mending tidak berjanji daripada akhirnya dilanggar/ingkari.

Bang, bang arif kena stroke. Sekarang lagi di rawat di rskd. Ini aku mau jenguk dia,” tulis Alfian di kotan pesan Fb pada 1 Juli 2017 pukul 11.52 WITA.

Aduh!

Keadaan koma bang. Nda ke rskd kah bang? Aku mau ke sana ini.”

Saya segera menyiapkan diri untuk menjenguk Arif di RS Kanujoso Djatiwibowo. Pukul 12.15 saya langsung berangkat dengan tidak membawa ponsel. Saya pikir, nanti bisa langsung saya tanya ke bagian informasi di rumah sakit.

Memasuki gedung baru yang di lantai dua-nya Arif terbaring, saya sempat bertemu Agus Sudiarsa, Nina (istrinya Agus Sudiarsa) dan Dewi (istrinya Wisnu Lubis). Saya langsung menanyakan kamar rawat Arif pada Agus Sudiarsa. “Ada di Ruang Teratai Lantai Dua, Bang,” jawab Agus Sudiarsa.

Sebelum beranjak ke lantai dua, saya bersalaman dengan Nina dan Dewi. Mereka pangling karena penampilan saya berubah. Rambut pendek, dan badan kurus. Ya, terakhir ketemu mereka pada 2014 dengan rambut gondrong dan badan gempal.

Keluar dari lift lantai dua saya bertemu Lukman Hakim dan entah siapa lagi. Saya tidak sempat berjabatan untuk mengucapkan “Mohon Maaf Lahir dan Batin” karena fokus saya menjenguk Arif. Saya pikir, nanti saja dulu, setelah menemui Arif, barulah saya akan menemui mereka.

Di pintu Ruang Teratai saya melihat Mbak Ning, istrinya Arif. Di dekat situ terlihat Cita sedang duduk di lantai dengan tiga orang kawan, entah siapa. Saya mengucapkan salam dan “Mohon Maaf Lahir dan Batin” dengan menyebutkan nama saya karena penampilan saya berubah setelah sempat berlebaran ke rumah mereka pada 2013 (lebaran 2014 saya sedang berada di Kupang, NTT, dan hanya bisa mengucapkan via SMS). Lalu saya segera ke ruang Arif.  

Arif tergeletak. Masih dalam kondisi tidak sadarkan diri. Peralatan medis berada di muka dan lengannya. Saya tidak bisa mengucapkan apa-apa selain tertegun. Hanya doa mengalir dalam hati saya.

Sekian menit kemudian saya keluar, dan menemui Mbak Ning, Cita, dan lain-lain. Saya pun menyapa Cita, bersalaman, dan mengucapkan “Mohon Maaf Lahir dan Batin”. Cita sangat pangling sebab ngobrol terakhir dengan Cita dalam acara IAI pada 2013.

Lalu saya beranjak sejenak untuk menemui Lukman Hakim. Rupanya, Lukman Hakim sudah tidak terlihat. Ya, sudah, saya kembali bersama Cita, ngobrol lagi.

Lebih satu jam berselang, Alfian pun datang. Dan seterusnya, sampai dua jam lebih saya berada di rumah sakit.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2 Juli 2017