Selasa, 25 Juli 2017, aku mendapat penghiburan yang luar biasa.
1. Puisi (https://www.facebook.com/kangriboet.gondrongii/posts/793628250805997, atau http://www.litera.co.id/2017/07/26/dkkp-umumkan-hasil-seleksi-puisi/)
2. Esai (https://www.bukuindie.com/mungkinkah-menerbitkan-buku-tanpa-penerbit-dan-isbn/)
Hidup memang harus berlanjut. Aku tidak bisa berhenti untuk berkarya, meski sama sekali tidak pernah dihargai di Kota Minyak ini selama aku menjadi warganya dari 2009 sampai 2017 ini. Aku tidak pernah mendapat kesempatan dan sokongan dana untuk menghadiri acara-acara sastra regional dan nasional. Semua karena aku sadar bahwa aku bukanlah siapa-siapa di Negeri Beruang Madu ini.
Biarlah. Aku tetap akan berkarya. Berkarya adalah konsistensi dan konsekuensi, jika aku memang sedang membuat sejarahku sendiri. Bukan perhargaan yang membuat aku konsisten. Bukan penghargaan pula yang menjadi konsekuensi atas konsistenitasku berkarya.
Aku berkarya karena memang sudah begitu adanya sejak aku suka mencoret dinding di rumah ketika masih balita. Bukan karena "aku berkarya maka aku ada". Sebaliknya, "aku ada maka aku berkarya".
Tuhan memberi talenta padaku untuk aku pergunakan sebaik-baiknya. Aku akan terus menggunakan sekaligus mengasahnya agar aku semakin bisa mengucap syukur kepada-Nya. Biarlah manusia tidak menghargaiku tetapi aku menghargai talenta yang Tuhan berikan.
Dan, biarlah orang lain tidak menyukai Tuhan-ku karena memang aku dan mereka berbeda. Perbedaan bukanlah kesalahan atau kebencian, melainkan semakin membentukku berbarengan dengan karya-karyaku untuk menjadi seperti apa yang sejak semula adanya aku dalam Kitab Kehidupan.
Aku pun memulai Agustus dengan berkarya. Aku mengikuti kompetisi puisi dalam rangka Krakatau Award 2017. Aku mengikuti kompetisi artikel di Geotimes dalam rangka Hari Kemerdekaan. Aku mengikuti kompetisi opini di Jurnal Ruang, Gramedia. Dan sedang membuat cerita anak untuk kompetisi tingkat Kaltim & Kaltara.
Demikian saja.
Blog ini dikhususkan untuk merekam jejak tulis-menulis lainnya yang merupakan sisi lain seorang Gus Noy. Ya, inilah Jaringan Penulis Sendirian, Jaringan Penulis Semaunya, Jaringan Penulis Sesukanya, dan JANGAN PEDULI SETAN.
Selasa, 25 Juli 2017
Senin, 24 Juli 2017
Senin, 24 Juli, 08.30 WITA
Setelah 22 Juli
adalah 24 Juli.
Ini seperti ketika bapakku meninggal dunia.
Ambil saja semuanya.
Jangan nyawaku.
Sudah kehilangan antusiasme. Sudah kehabisan asa mengenai pemahaman. Sebab, pemahaman ternyata tidak penting, dan kejengkelan-kebencian menjadi ujung tombaknya.
Aku sudah membuktikan, tidaklah mudah memahami gabungan dua-tiga kata atau frasa. Aku bukanlah jenis orang suka memfitnah. Prinsipku, mending diam daripada memfitnah.
Mendatangi
Aku menyanggupi permintaan datang ke sebuah tempat sekaligus, kupikir, bisa menjelaskan ketidakjelasan informasi dan fakta. Aku bukanlah tipe pengecut karena aku sadar posisiku.
Sebelumnya, aku sama sekali tidak memiliki uang untuk membeli bensin eceran. Berapa harga bensin eceran? Rp. 8.000,00. Tidak ada uang segitu? Sumpah demi Pencipta yang menyaksikan hidupku!
Tidak ada orang yang percaya bahwa aku sama sekali tidak memiliki uang. Ketika aku jujur, tetap saja tidak seorang pun percaya. Hanya istriku yang mengenal aku, ternyata.
Seorang kawan menransfer Rp.50.000,00. Tapi, terpotong biaya administrasi, aku tidak bisa mencairkan transferan itu. Maaf, Bro.
Pagi itu, pkl. 08.00-an, aku sudah sampai di tempat. Baru bisa bertemu pkl.09.00-an. Sebentar berbincang soal...
Berapa Lamakah...
Pertanyaan termudah, berapa lamakah, ternyata tidak terjawab dengan semestinya. Jawabannya melenceng ke mana-mana, sampai ke urusan iuran segala. Luar biasa.
Mereka sudah memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) tetapi tidak mampu menjawab "berapa lamakah SIM jadi". Yang mereka jawab adalah proses pembuatan SIM, proses pembuatan KTP, proses menggali lubang kubur, dan lain-lain. Sama sekali tidak menjawab "waktu" melalui "berapa lamakah".
Sudah gagal paham (gagal memahami pertanyaan atau frasa), masih juga kecewa padaku. Gila! Sumpah mati, benar-benar gila! Mereka kompak membenci aku!
Jujur, aku menangis, dan itulah tangisan setelah bapakku meninggal dunia pada 11 Maret 2016. Aku tidak mampu marah karena, kupikir, sangat percuma memarahi orang yang sama sekali sudah memasang tembok kebencian. Maka aku segera keluar dari "arena".
Ya, Tuhan, aku benar-benar putus asa atas pemahaman itu. Tamatlah riwayat itu. Jangan kembalikan aku pada mereka, Tuhan. Jauhkan aku dari amarah, dan biarkan aku menangis sepanjang jalan pulang.
adalah 24 Juli.
Ini seperti ketika bapakku meninggal dunia.
Ambil saja semuanya.
Jangan nyawaku.
Sudah kehilangan antusiasme. Sudah kehabisan asa mengenai pemahaman. Sebab, pemahaman ternyata tidak penting, dan kejengkelan-kebencian menjadi ujung tombaknya.
Aku sudah membuktikan, tidaklah mudah memahami gabungan dua-tiga kata atau frasa. Aku bukanlah jenis orang suka memfitnah. Prinsipku, mending diam daripada memfitnah.
Mendatangi
Aku menyanggupi permintaan datang ke sebuah tempat sekaligus, kupikir, bisa menjelaskan ketidakjelasan informasi dan fakta. Aku bukanlah tipe pengecut karena aku sadar posisiku.
Sebelumnya, aku sama sekali tidak memiliki uang untuk membeli bensin eceran. Berapa harga bensin eceran? Rp. 8.000,00. Tidak ada uang segitu? Sumpah demi Pencipta yang menyaksikan hidupku!
Tidak ada orang yang percaya bahwa aku sama sekali tidak memiliki uang. Ketika aku jujur, tetap saja tidak seorang pun percaya. Hanya istriku yang mengenal aku, ternyata.
Seorang kawan menransfer Rp.50.000,00. Tapi, terpotong biaya administrasi, aku tidak bisa mencairkan transferan itu. Maaf, Bro.
Pagi itu, pkl. 08.00-an, aku sudah sampai di tempat. Baru bisa bertemu pkl.09.00-an. Sebentar berbincang soal...
Berapa Lamakah...
Pertanyaan termudah, berapa lamakah, ternyata tidak terjawab dengan semestinya. Jawabannya melenceng ke mana-mana, sampai ke urusan iuran segala. Luar biasa.
Mereka sudah memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi) tetapi tidak mampu menjawab "berapa lamakah SIM jadi". Yang mereka jawab adalah proses pembuatan SIM, proses pembuatan KTP, proses menggali lubang kubur, dan lain-lain. Sama sekali tidak menjawab "waktu" melalui "berapa lamakah".
Sudah gagal paham (gagal memahami pertanyaan atau frasa), masih juga kecewa padaku. Gila! Sumpah mati, benar-benar gila! Mereka kompak membenci aku!
Jujur, aku menangis, dan itulah tangisan setelah bapakku meninggal dunia pada 11 Maret 2016. Aku tidak mampu marah karena, kupikir, sangat percuma memarahi orang yang sama sekali sudah memasang tembok kebencian. Maka aku segera keluar dari "arena".
Ya, Tuhan, aku benar-benar putus asa atas pemahaman itu. Tamatlah riwayat itu. Jangan kembalikan aku pada mereka, Tuhan. Jauhkan aku dari amarah, dan biarkan aku menangis sepanjang jalan pulang.
Sabtu, 22 Juli 2017
Sabtu, 22 Juli 2017 : Ada Apa?
Ada yang tidak perlu
aku pikirkan lagi. Benar-benar tidak perlu. Entah siapa yang memerlukan siapa–aku
ataukah mereka–untuk berkembang pesat, khususnya dalam penulisan gagasan,
kritik, konsep, dan seterusnya.
Eh, ada apa ini, kok kelihatannya
parah total dan sama sekali tidak bisa dibenahi?
Baiklah, aku buka
sedikit.
***
Pertama, gagal paham.
Komunikasi verbal
melalui tulisan ternyata masih saja sukar dipahami alias gagal paham. Contoh nyatanya
: waktu.
“Berapa lamakah proses penyelesaiannya secara benar-normal-wajar-reguler?” tanya
sebagian statusku.
Frasa “berapa lamakah” ternyata gagal
dipahami sebagai pertanyaan mengenai “waktu”.
Misalnya, “berapa lama proses
penyelesaian urusan pemasangan PLN sampai petugasnya datang?” Atau, “berapa
lama sertifikat IMB jadi secara normal-biasa-lumrah?”
Kata tanya “berapa”
berkaitan dengan “jumlah”. Kata “lamakah” berkaitan dengan “waktu”. Sertifikat
IMB bisa jadi, biasanya, berkisar 1 sampai 1,5 bulan (30-45 hari). Mengurus
perpanjangan SIM, 1 hari jadi. Dan seterusnya.
***
***
Kedua, salah paham.
“Kemarin saya sudah jelaskan kami
sudah berusaha…” jawab seseorang (11/7).
“Di daerah lain pake ujian…” bisik
seorang lainnya (11/7).
“Teman-teman semua pada menunggu
proses…” bisik seorang lainnya lagi (22/7).
Coba aku kembalikan pertanyaanku. “Berapa lamakah proses penyelesaiannya
secara benar-normal-wajar-reguler?”
“Berapa lamakah…”
Tiga orang menjawab:
1. Berusaha.
1. Berusaha.
2. Ujian.
3. Menunggu.
Tiga jawaban berintikan “proses”
(berusaha, ujian, dan menunggu). Proses bisa menjadi jawaban apabila pertanyaanku adalah "mengapa" (mengapa lama begitu?) atau "bagaimana" (bagaimana bisa lama begitu?). Padahal pertanyaanku cuma “waktu” (berapa lamakah…).
Misalnya lagi.
“Berapa lamakah sumurnya jadi (sejak
galian pertama) dalam waktu normal, Bapak-bapak?”
“Saya sudah berusaha sekuat tenaga,”
jawab bapak ke-1.
“Di tempat lain tanahnya berbatu,”
jawab bapak ke-2.
“Sedang menunggu airnya keluar,” jawab
bapak ke-3.
Bisakah dibayangkan betapa bingungnya
aku?
Misalnya, ya, itu, SIM (Surat Izin Mengemudi). Masing-masing pasti memiliki, baik SIM A, B, atau C. "Berapa lamakah prosesnya?" Tentunya tidak relevan ketika dijawab dengan, "Tergantung mesin cetak kartunya, atau kesehatan petugasnya."
Artinya, untuk menjawab "waktu", pasti berdasarkan "apa yang pernah dialami" dalam rentang tanggal/kalender sekian hari atau bulan, bukannya membayangkan prosesnya yang begini-begitu. Hal sepele (berapa lamakah) ini pun ternyata gagal dipahami.
Misalnya, ya, itu, SIM (Surat Izin Mengemudi). Masing-masing pasti memiliki, baik SIM A, B, atau C. "Berapa lamakah prosesnya?" Tentunya tidak relevan ketika dijawab dengan, "Tergantung mesin cetak kartunya, atau kesehatan petugasnya."
Artinya, untuk menjawab "waktu", pasti berdasarkan "apa yang pernah dialami" dalam rentang tanggal/kalender sekian hari atau bulan, bukannya membayangkan prosesnya yang begini-begitu. Hal sepele (berapa lamakah) ini pun ternyata gagal dipahami.
***
Ketiga, selesai komunikasi.
Dampak pertanyaanku adalah selesai
komunikasi antara aku dan mereka. Ketiganya tidak sudi berkomunikasi lagi
denganku. Masing-masing berbekal gagal paham dan salah paham.
Bisakah dibayangkan, betapa tambah bingungnya aku?
Bisakah dibayangkan, betapa tambah bingungnya aku?
***
Keempat, tidak kupikirkan lagi.
Aku benar-benar berhenti memikirkan
tahap dalam sebagian perjalanan mereka berkarya, khususnya jika memasuki tahap
menuliskan pemikiran mereka. Apakah kelak mereka kelak akan mahir menyampaikan
gagasan, kritik, wacana, atau saran melalui tulisan yang bagus, semua itu
terserah mereka sendiri.
Bahkan salah seorang pernah berharap
aku membantunya membuat tulisan, tentunya, gagal total setelah ucapan. Padahal
beberapa hari sebelumnya aku membantunya selama lebih 8 jam dalam 3 hari untuk
suatu lomba. Aku, yang berusia jauh lebih tua, datang ke rumahnya. Hasil gagal
paham dan salah paham adalah “selamat tinggal”. Alangkah mulia hidupnya.
Sementara orang-orang lainnya juga
begitu. Padahal, sepintas aku melihat mereka ingin bisa mahir menulis. Mereka
juga rajin membaca, yang terlihat melalui koleksi bahan bacaan. Tingkat
pendidikan mereka juga tinggi lho.
***
Nah, daripada mati dalam kebingungan,
aku sudahi saja berpikir untuk mereka. Aku benar-benar jera. Luar biasa jeranya
aku!
Betapa tidak jera alias kapok. Satu
kalimat bahkan satu frasa saja sudah gagal dipahami, bagaimana kalau satu karya
tulisan berjumlah enam halaman, ya? Jangan-jangan bisa terjadi keributan massal.
Itu baru sebatas membaca atau memahami
kata, frasa, dan kalimat. Bagaimana kalau selanjutnya mereka membuat tulisan,
ya? Dengan tulisan yang susah dipahami, apakah kelak tidak malah menambah
keributan missal?
Ya, semoga tabah dan ikhlas saja. Aku
sudah anggap selesailah segalanya.
*******
Panggung Renung Balikpapan, 23 Juli
2017
Kamis, 13 Juli 2017
Disiplin dalam Proses Tulis-Menulis
Sebagian orang
hebat mengatakan bahwa salah satu kunci kesuksesan atau keberhasilan adalah
disiplin. Disiplin dalam belajar. Disiplin dalam berlalu lintas. Disiplin dalam
bekerja. Disiplin menambah ilmu pengetahuan. Disiplin mengamati perkembangan
zaman. Disiplin mengembangkan diri. Dan lain-lain, termasuk dalam proses
tulis-menulis.
Disiplin tidak
mudah jika kata “disiplin” terjebak dalam pemahaman makna yang sempit
seakan-akan disiplin itu kaku, statis, dan monoton, yang secara keseluruhan
memperlihatkan suatu kegiatan yang sangat mengekang kebebasan. Kalau disiplin
dikonotasikan dengan kaku, statis, dan monoton, ya, selamat bersusah-kesah
melulu. Lho mengapa begitu?
Begini.
Tulis-menulis, gambar-menggambar, nyanyi-menyanyi, mancing-memancing, dan
kegiatan lainnya merupakan sebuah pilihan. Setiap orang memiliki kebebasan
untuk memilih, termasuk memilih suatu kegiatan, bukan?
Kebebasan berkaitan
erat dengan kesenangan sebab semua orang ingin bebas, dan senang sekali kalau
bisa bebas. Kegiatan yang menyenangkan, kata orang, adalah kegemaran atau hobi.
Setiap orang memiliki hobi, bukan?
Seseorang yang
memiliki hobi atau kegiatan yang menyenangkan sekaligus membebaskan dirinya untuk
mengaktualisasikan kemampuan kemanusiaannya (kreativitas), tidak jarang, itulah
yang akan dilakukannya secara terus-menerus (kontinyu), walaupun dengan suatu
keterbatasan tertentu, semisal alat atau media. Oleh sebab senang dan bebas,
tidak jarang pula, justru menghasilkan sesuatu, minimal keriangan dalam
dirinya.
Oh iya, tadi ada
kata “terus-menerus”. Terus-menerus tidak terlepas dari suatu kedisiplinan. Dalam
tulis-menulis juga membutuhkan kedisiplinan itu. Disiplin dalam proses.
Disiplin dalam pencarian informasi. Disiplin dalam gagasan. Ujungnya, disiplin
dalam produksi (hasil). Oleh sebab tulis-menulis merupakan hobi, semua bentuk
kedisiplinan itu seringkali tidak terpikirkan, atau tidak menjadi bebas. Bukankah
suatu kesenangan selalu dilakukan tanpa terasa adanya beban?
Hobi dan disiplin
dalam waktu bersamaan dan berkelanjutan adalah keniscayaan untuk menghasilkan
suatu karya tulis-menulis yang baik. Baik di sini bukan saja tulisan sesuai
dengan kaidah tulis-menulis melainkan pula sebuah tulisan yang memiliki suatu
dampak tertentu, khususnya bagi pembaca tulisan. Dan, hobi tulis-menulis ini
pun bukan berarti karena memang profesinya, misalnya panitera, jurnalis,
sekretaris, dan seterusnya.
Ketika
tulis-menulis merupakan sebuah pilihan hobi, kesadaran terhadap diri sendiri
sangat diperlukan. Sadar bahwa dirinya menyukai; sadar bahwa dirinya ingin
semakin berkembang; sadar bahwa dirinya suka berlatih; sadar bahwa disiplin
pribadi akan membawanya ke suatu tahap yang disebut berhasil (sukses).
Keberhasilan suatu
kegiatan tulis-menulis adalah produk (tulisan) itu sendiri. Keberhasilan pada
tahap ini sudah cukup bagus. Agar bisa bagus dan semakin bagus, tentu saja,
harus tekun berlatih atau berproses. Ketekunan ini, oleh sebab kesadaran atas
hobi bahkan dilandasi rasa cinta atas pilihan, niscaya kesuksesan akan diraih
pada suatu waktu, dan waktu-waktu lainnya.
Contoh orang-orang
yang berhasil, yaitu Mochtar Lubis, Arswendo Atmowiloto, Seno Gumira Ajidarma,
dan lain-lain, yang memang dilatarbelakangi oleh profesi sebagai jurnalis.
Kedisiplinan karena profesi alias tuntutan pekerjaan, dan karena memang mereka
menyukai.
Contoh lainya, yang bukan karena profesi jurnalis, yaitu Saut Situmorang, Puthut E.A., Eka Kurniawan, Raditya Dika, dan lain-lain, bahkan seorang Denny Siregar. Kedisplinan dalam proses tulis-menulis dilakukan karena kesenangan atas pilihan (hobi). Mereka tidak terpaksa melakukan kedisiplinan tetapi menyukai pilihan tulis-menulis itu.
Contoh lainya, yang bukan karena profesi jurnalis, yaitu Saut Situmorang, Puthut E.A., Eka Kurniawan, Raditya Dika, dan lain-lain, bahkan seorang Denny Siregar. Kedisplinan dalam proses tulis-menulis dilakukan karena kesenangan atas pilihan (hobi). Mereka tidak terpaksa melakukan kedisiplinan tetapi menyukai pilihan tulis-menulis itu.
Oleh karena hobi
yang disadari dan dinikmati sebagai suatu kebebasan, kedisiplinan bukan lagi
sesuatu yang kaku, statis, atau monoton, melainkan bagian dari proses itu
sendiri. Kedisiplinan untuk berproduksi pun dilakukan dengan semangat
riang-gembira. Tidak heran jika kemudian mereka selalu menghasilkan
tulisan-tulisan yang bermutu, dan nama mereka pun terkenal pada suatu waktu.
*******
Panggung Renung
Balikpapan, 2017
Ambisi Besar yang Menggetarkan
Saya sering bertemu
dua-tiga orang muda. Mereka berambisi besar untuk lancar menulis bahkan hebat. Hebat
dalam arti tulisan itu berdampak dahsyat. Mereka pun berambisi menjadi terkenal
melalui tulisan. Ketika sedang bercakap dengan mereka, tampak betapa
menggebunya ambisi itu.
Aduhai, saya malah
gemetar!
Betapa tidak
gemetar. Saya sama sekali tidak pernah berambisi menjadi penulis, apalagi
terkenal, dan tulisan saya berdampak dahsyat. Saya menulis karena saya ingin menyampaikan
pemikiran saya ketika saya sering merasa kurang puas atau lengkap menyampaikan
pemikiran secara lisan dan gambar.
Sedangkan dua-tiga
orang muda itu, maaf, memahami kata dan kalimat saja belum lancar. Membaca
buku, aduhai, maaf, entah apa yang bisa dipahami. Ambisi besar mereka menjadi
penulis hebat dengan tulisan berdampak dahsyat, aduhai, masih perlu waktu panjang
sekali. Apalagi ketiadaan pembimbing, mitra diskusi-belajar, lingkungan yang
kondusif, dan seterusnya.
Itu yang membuat
saya gemetar. Saya tidak pernah berambisi apa-apa untuk semacam itu. Hanya
kesadaran diri untuk bisa menyampaikan pemikiran saya. Sebab, saya bukanlah
seorang yang fasih berbicara. Saya bukanlah seorang yang lihai menggambar
(bahasa gambar yang mudah dipahami oleh siapa saja). Saya memerlukan media lain
untuk berkomunikasi. Ya, tulisan menjadi pilihan saya.
Pilihan yang satu
ini saya tekuni tanpa guru atau pembimbing secara khusus dan terus-menerus.
Saya hanya mengandalkan telinga dan mata ketika berada di dekat orang-orang
yang sedang duduk manis menulis dan dibimbing oleh senior atau guru menulis
mereka.
Kebiasaan ini
berlaku nyaris saban hari, khususnya ketika sedang bersinggungan dengan suatu
hajatan, dan saya sedang bertugas menggambar kartun. Kegiatan bersama yang
berbeda itu kami lakukan dengan bersenda gurau di tempat duduk masing-masing,
atau apa saja yang menyenangkan, dan kesemuanya dalam batasan waktu (deadline) tugas masing-masing.
Kebiasaan yang
nyaris saban hari? Ya. Saya pun merekam apa saja yang mereka lakukan, baik
suatu kesalahan maupun suatu pujian. Kalau hajatan berlangsung satu minggu, ya,
satu minggu saya bersama mereka. Kalau satu bulan, ya, satu bulan saya bersama
mereka. Tugas saya hanya menggambar, dan tidak pernah saya gagal melaksanakan
tugas saya.
Tapi bagaimana
dengan menulis?
Saya berlatih
menulis, khususnya esai atau opini, pada saat saya sudah melaksanakan tugas
(membuat ilustrasi), dan orang-orang sudah pulas bersama mimpi entah apa. Komputer
(di sekretariat milik kampus) sedang menganggur tapi saya kurang suka main
suatu permainan (game). Saya mau
menulis sesuatu yang lucu, iseng, santai, dan menyenangkan bagi saya tetapi bagaimana
sesuai dengan kaidah tulis-menulis yang saya dengar dari para senior.
Tidak selesai satu
waktu, saya lanjutkan pada waktu yang lain. Tentu saja saya pun masih
menggunakan tulisan manual di buku tulis untuk menuangkan gagasan agar tulisan
dijital bisa lebih lancar. Pada waktu komputer sedang menganggur, saya
mengambil kesempatan itu.
Bumi Bulat Bundar, kalau tidak keliru, adalah salah satu judul
tulisan iseng saya. Masa itu belum heboh faham “bumi gepeng-datar”, meskipun
ketika saya pernah mendengar suatu perandaian “bumi kotak-kotak” dari obrolan
iseng seorang mentor seni rupa.
Dalam tulisan iseng
sebagai awal belajar menulis otodidak itu saya menyebut pula kapal, dan tiang
layar. Tulisan tersebut selesai, saya cetak, dan saya letakkan di meja.
“Tulisan apa ini?!” komentar seorang senior dengan nada tidak suka.
Saya tidak kecewa
atau mendadak “gantung kata”. Tahun-tahun sebelumnya, ketika baru masa
pelatihan jurnalistik, saya menulis judul berita, kalau tidak keliru, Kisah Sedih Sang Pemilik Warung. Serta-merta mendapat tertawaan ramai. Saya
tidak terhina sama sekali lantas “gantung diri”.
Masa-masa belajar
menulis esai atau opini saya lalui dengan tanggapan kurang menyenangkan dari
orang-orang sekitar saya. Tidak seorang senior atau mentor pun sudi membantu
membaiki atau membimbing saya, baik dari judul, alinea pembuka, isi, akhir
tulisan, tata bahasa, dan seterusnya!
Mengapa bisa
begitu? Karena saya seorang ilustrator, dan kartunis-karikaturis di media
kampus saya. Bukan seorang jurnalis bersenjata tulis-menulis dan foto-memfoto.
Tugas saya bukanlah di bagian tulis-menulis.
Tapi saya jenis
orang bandel dalam belajar. Saya terus menulis hal-hal iseng dengan panduan
Majalah Humor. Kalau sedang ingin
serius, panduan saya adalah Opini
Harian Kompas. Saya terus berlatih,
selain tekun mendengar pengajaran tulis-menulis bagi rekan-rekan saya.
Selama masa proses
belajar menulis otodidak itu saya sama sekali tidak pernah bercita-cita menjadi
penulis, apalagi terkenal, dan tulisan berdampak dahsyat. Saya tidak memiliki
ambisi apa-apa dalam tulis-menulis. Sementara dalam bidang ilustrasi atau
kartun pun begitu. Saya hanya ingin memaksimalkan kemampuan saya, meskipun
tetap gagal maksimal!
Saya tidak
mengerti, bagaimana dua-tiga orang muda yang pernah saya jumpai itu malah
berambisi untuk begitu dahsyatnya. Bukan persoalan ambisi itu, melainkan
“bagaimana”. Kata “bagaimana” berkaitan dengan cara atau prosesnya (praktik
atau olah-kelola).
Proses atau cara
itu berkaitan dengan, 1. pembimbing (mentor) yang memadai, 2. lingkungan yang
kondusif, 3. tahap-tahap evaluasi yang cukup obyektif, dan 4. kesenangan (anggap
sedang iseng atau bermain) dalam kesadaran atas pilihan.
Keempat hal ini,
bagi saya dan pengalaman saya, lumayan berpengaruh dalam proses. Saya tidak perlu menjelaskannya lagi. Bisa
pula dikatakan bahwa pada masa proses tulis-menulis sebenarnya saya justru
sedang terjerumus dalam situasi yang kondusif.
Dalam situasi
kondusif itu serta-merta saya mengalami suatu pendisiplinan tanpa saya sadari,
bahkan, mungkin, juga tanpa disadari oleh para senior dan rekan seangkatan
saya. Ketidaksadaran ini disebabkan oleh ketiadaniatan atau tanpa ambisi apa
pun untuk “menjadi”. Semua itu saya lakukan dengan riang-gembira.
*******
Panggung Renung Balikpapan,
2017
Minggu, 09 Juli 2017
Ideal dan Tidak Ideal --- Sedikit Pengalaman Mendampingi Sebuah Tim Peserta Sayembara Arsitektur
Selesai atau tidak,
berkas, yaitu kelengkapan administrasi, konsep maupun rancangan (desain), dikumpulkan pada batas akhir waktu lomba arsitektur.
Seorang anggota tim peserta merasa tidak
puas terhadap hasil akhir karya tim mereka, baik konsep (untuk penyajian)
maupun desain.
Ketidakpuasan itu
karena, dalam benak seorang oknum arsitek, kategori
"selesai" adalah suatu karya arsitektural yang tersaji secara ideal,
baik konsep maupun desain. Ideal, dalam benaknya, adalah "sempurna".
Sepakat atau tidak, tidak ada satu pun hasil karya yang sempurna. Perasaan puas karena merasa hasil karya sempurna merupakan perasaan situasional alias sesaat. Pada saat tertentu, kesempurnaan terasa nyata. Tetapi, pada saat sekian waktu selanjutnya, “kesempurnaan” itu bisa menjadi “kurang sempurna” karena perkembangan pengetahuan, wawasan, dan pengalamannya.
Sepakat atau tidak, tidak ada satu pun hasil karya yang sempurna. Perasaan puas karena merasa hasil karya sempurna merupakan perasaan situasional alias sesaat. Pada saat tertentu, kesempurnaan terasa nyata. Tetapi, pada saat sekian waktu selanjutnya, “kesempurnaan” itu bisa menjadi “kurang sempurna” karena perkembangan pengetahuan, wawasan, dan pengalamannya.
Ideal dan sempurna merupakan sebuah khayalan
belaka, jika merunut pada kapasitas siapa terhadap kapasitas siapa lainnya, dan
ideal dalam arti sebenarnya. Sebab, dalam sebuah tim, kriteria
"ideal" dan "sempurna" tidaklah sama bagi setiap anggota
tim. Kriteria tersebut ternyata dipengaruhi oleh latar belakang pemahaman dan pengalaman
masing-masing anggota.
Seorang anggota menilai suatu karya
arsitektural yang ideal atau sempurna adalah apabila "begini"
sebagaimana karya-karya pemenang suatu arena pertarungan karya. Seorang lainnya
menilai, ideal atau sempurna apabila "begitu" karena, selain dari
karya para pemenang, juga dari pemahaman seni yang pernah dipelajarinya.
Kedua anggota tim, sebenarnya, sedang
terjebak dalam benak alias khayalan masing-masing, yang "begini" dan
yang "begitu" sejak
semula. Lalu dalam proses pelaksanaan berkarya, terjadi
benturan (konflik) antara "begini" dan "begitu".
Dampak antara khayalan dan proses itu
adalah pada wujud hasil akhir (penyelesaian) karya tim. Hasil akhirnya adalah
"tidak ideal" atau "tidak sempurna" menurut khayalan setiap
anggota.
Kriteria ideal
seharusnya dimulai sejak awal, bukan menjelang akhir proses. Ideal untuk sebuah
tim adalah kapasitas setiap anggota. Lalu, setiap anggota bersepakat dalam satu
tujuan (visi); apakah tujuannya untuk tim ataukah, sebenarnya, untuk seorang
saja.
Dalam proses awal
ini, pencarian informasi (referensi atau literatur) menjadi sangat penting. Setiap
anggota berkewajiban menyepakati batasan-batasan tertentu berdasarkan informasi
yang telah disepakati. Waktu untuk proses awal ini cukup 1 minggu saja.
Kalau sudah saling
memahami dan bersepakat, tahap selanjutnya adalah berbagi tugas. Tugas paling
awal adalah membuat konsep secara garis besar (global), bukan parsial (per
bagian) apalagi perancangan (desain).
Kalau sudah
mendapatkan konsep secara global, bisa berlanjut pada pematangan konsep, dan
memulai perancangan. Setiap anggota harus bisa melakukan tugasnya
masing-masing, dan pada waktu tertentu memberi diri berada dalam satu ruang
bersama agar konsep dan rancangan (desain) bisa relevan.
Mengenai proses itu pun berkaitan dengan waktu.
Apabila batas akhir lomba adalah dua bulan kemudian, paling tidak, dua minggu
sebelum batas akhir sudah selesai. Sebab, waktu dua minggu merupakan proses
pematangan antara berkas administrasi, konsep dan rancangan sebelum dikirim ke
panitia perlombaan.
Memang, suatu pertarungan karya
arsitektural sangat berbeda dengan sebuah pertandingan olahraga, semisal bola
voli. Seorang pebola voli yang ideal adalah anu, selain kriteria kemampuan
teknis maupun kesehatan fisik. Tim bola voli yang ideal dapat pula terlihat
melalui kerjasama pada saat bertanding.
Kerjasama dalam suatu tim juga mengutamakan "kompromi". Kompromi berkaitan dengan mental (bagaimana menghargai kapasitas rekan dalam tim) sehingga masing-masing pemain tetap leluasa melaksanakan tugas dalam pertandingan.
Kerjasama dalam suatu tim juga mengutamakan "kompromi". Kompromi berkaitan dengan mental (bagaimana menghargai kapasitas rekan dalam tim) sehingga masing-masing pemain tetap leluasa melaksanakan tugas dalam pertandingan.
Tanpa kompromi, kekeliruan kecil seorang
rekan bisa berdampak psikologis bagi rekan lainnya karena rekan lainnya
"menuntut" bahwa rekannya tidak melakukan kekeliruan.
"Menuntut" adalah suatu beban mental yang, sebenarnya, sangat tidak
perlu karena cenderung berdampak kurang baik pada kapasitas rekan lainnya.
Dengan kata lain, "kompromi" pun
merupakan bagian dalam suatu kriteria kerjasama yang ideal. Suatu konflik
antaranggota terjadi justru karena kurang menyadari aspek kompromi. Kompromi
bukanlah suatu "pembiaran", melainkan upaya untuk mengantisipasi
"kekurangan" dalam kapasitas anggota (rekan) dalam tim.
Akan tetapi, apa pun perbedaan itu,
kriteria "ideal-sempurna" dalam suatu pertarungan karya seni terapan
(seni bangunan/arsitektur) dan sebuah pertandingan olahraga selalu berujung
pada hasil : menang atau kalah. Kalau dalam sebuah pertandingan olahraga dapat
terlihat bagaimana proses, dan peraihan angka secara jelas hingga akhirnya
menang atau kalah, tentunya berbeda dengan suatu pertarungan karya seni terapan
yang sangat ditentukan oleh kapasitas dewan juri.
Oleh sebab itu, ideal-sempurna pada sebuah
hasil karya arsitektural dalam suatu pertarungan agar bisa meraih kemenangan,
sangat dipengaruhi pula oleh kapasitas dewan juri, selain kriteria-kriteria
penilaian. Kalau sudah sampai pada tahap penilaian, hal termudah untuk
dipikirkan adalah nasib atau takdir bagi para tim peserta suatu pertarungan
karya arsitektural karena segala daya-upaya dan dana telah dicurahkan oleh
masing-masing tim peserta sampai pada hasil karya beserta tuntutan kelengkapan administrasinya.
Nasib atau takdir tidak bisa juga
berdasarkan kriteria ideal-sempurna menurut siapa. Ya, "apa boleh
buat", adalah tanggapan atau komentar selanjutnya.
Dan, satu-satunya
cara paling ideal dan aman-nyaman untuk suatu upaya mencapai hasil akhir yang
ideal-sempurna menurut masing-masing anggota adalah tidak perlu menjadi tim.
Jadilah peserta perorangan karena kriteria ideal-sempurna bisa sepenuhnya
dikerjakan oleh seorang peserta, baik proses awal maupun hasil akhirnya.
Dengan menjadi
peserta perorangan, segala kriteria ideal-sempurna bisa diupayakan sendiri.
Hasilnya kelak, berupa pengumuman pemenang, adalah nasib atau takdir. Puas atau
tidak puas, paling tidak, diri sendiri sudah berupaya memaksimalkan kapasitas
diri.
*******
Panggung Renung
Balikpapan, 2017
Kamis, 06 Juli 2017
Mencoba Suatu Kondisi Tim Peserta Sayembara Arsitektur
Mencoba suatu kondisi kerja tim peserta sayembara arsitektur, meski secara nama tidak menjadi bagian mereka, tentunya, berbeda dengan kondisi lainnya ketika secara individual (sendirian) menjadi peserta lomba menulis esai, cerpen, puisi, atau merancang gambar kaus oblong, kartun-karikatur, atau pula tim bola voli SMP.
Suatu waktu kelak aku akan menjadi peserta sayembara atau lomba merancang suatu bangunan (arsitektur) juga. Sekarang belajar dulu. Ya, belajar memang tidak terbatas pada status pendidikan sebagai pelajar atau mahasiswa, melainkan ketika sudah terjun dalam dunia profesional.
Setiap sayembara, lomba atau pertarungan karya, bagiku, merupakan sebuah ujian non-formal. Sementara setifikat, piagam penghargaan, atau piala adalah penanda atas suatu hasil ujian saja.
Aku orang kampung pelosok. Aku sudah melompat laut. Aku sudah pergi ke sana-sini. Ujian hidup sudah biasa. Mencoba masuk dalam suatu ujian hidup berlabel "lomba", sudah bukan satu-dua kali kuhadapi. Hanya perlu persiapan (belajar) lagi jika hendak mencoba turun ke arena pertarungan karya.
Untuk menghadapi sebuah ujian, tentunya, belajar menjadi kunci awal. Belajar dengan cara mencari referensi, definisi, substansi, dan seterusnya. Belajar, dan belajar. Ya, selagi pikiran masih normal alias belum pikun, stroke, atau mati.
Menghadapi ujian melalui suatu sayembara atau lomba juga merupakan suatu ajang uji nyali. Nyali berkaitan dengan kemampuan (kapasitas) berpikir, kesempatan sekaligus kesiapan mental menghadapi kemungkinan terbaik ataupun terburuk, dan, bisa ditambah, harga diri. Harga diri? Aku anggap harga diri sangat tidak penting, entah bagi orang lain. Kemampuan berpikir berkait pada pemanfaatan pengetahuan, pemahaman terhadap suatu topik, dan lain-lain. Dan, kemungkinan-kemungkinan yang menyublim ke arah entah.
Terakhir, menang-kalah, anggap saja nasib atau takdir. Tidak perlu repot-repot. Aku sudah sering ikut pertarungan karya (lomba atau sayembara), sudah biasa kalah dan belum terbiasa menang. Sudah nasibku begitu.
Hal inilah yang kusampaikan kepada kawan-kawan yang tergabung dalam tim peserta sayembara arsitektur. Mereka belum terbiasa mengikuti suatu pertarungan karya, dan, baguslah, sudah berkenan untuk mencoba bertarung.
Ah, nulis apa, sih, aku ini?!
Minggu, 02 Juli 2017
Arif er Rahman di Rumah Sakit dan Saya Keluar dari Pertapaan
Lebaran 1438 H atau
2017 M adalah awal saya keluar dari “pertapaan”. Ada niatan untuk kembali
mengunjungi beberapa orang yang pernah saya kenal dalam masa keaktifan saya
berkesenian (tulis-menulis) sebelum 18 Oktober 2014. Salah seorang di antaranya
adalah Arif er Rahman–seorang redaktur tetap di Harian Tribun Kaltim.
Kalau pada lebaran
tahun sebelumnya saya hanya mengirimkan pesan singkat (SMS) sebagai ganti atas
ketidakhadiran saya, lebaran kali ini saya sengaja tidak mengirimkan SMS karena
saya berniat hadir di rumahnya.
Di Fb saya memang menghapus pertemanan dengan Arif karena saya mau fokus berkarya saja setelah lelah menghadapi kenyataan sampai 18 Oktober 2014 itu (baca juga Sengaja Menghapus Pertemanan di Media Sosial). SMS terakhir (masih saya simpan) dengan Arif adalah ketika saya menang lomba esai 2016 karena, ternyata, Arif anggota dewan juri, termasuk Sofie.
"Tulisan Gus Noy paling menonjol dan sangat esai. Selamat," katanya pada 10 November 2016, pukul 13.54 WITA, meski ketika lomba aku tidak mencantumkan nama dan simbol-simbol tertentu sebagai penanda siapa penulisnya.
Lebaran hari ke-3, ketika itu saya mulai keluar, yaitu ke rumah Alfian Syah di Manggar. Di sana saya dan Alfian berniat mengunjungi Arif. Jam berapanya, Alfian berjanji akan mengabari. Ternyata tidak ada kabar.
Ya, sudah. Saya
tidak bisa-biasa melanggar janji dengan orang lain. Mending tidak berjanji
daripada akhirnya dilanggar/ingkari.
“Bang, bang arif kena stroke. Sekarang lagi
di rawat di rskd. Ini aku mau jenguk dia,” tulis Alfian di kotan pesan Fb
pada 1 Juli 2017 pukul 11.52 WITA.
Aduh!
“Keadaan koma bang. Nda ke rskd kah bang? Aku
mau ke sana ini.”
Saya segera
menyiapkan diri untuk menjenguk Arif di RS Kanujoso Djatiwibowo. Pukul 12.15
saya langsung berangkat dengan tidak membawa ponsel. Saya pikir, nanti bisa
langsung saya tanya ke bagian informasi di rumah sakit.
Memasuki gedung
baru yang di lantai dua-nya Arif terbaring, saya sempat bertemu Agus Sudiarsa, Nina
(istrinya Agus Sudiarsa) dan Dewi (istrinya Wisnu Lubis). Saya langsung
menanyakan kamar rawat Arif pada Agus Sudiarsa. “Ada di Ruang Teratai Lantai
Dua, Bang,” jawab Agus Sudiarsa.
Sebelum beranjak ke
lantai dua, saya bersalaman dengan Nina dan Dewi. Mereka pangling karena penampilan saya berubah. Rambut pendek, dan badan
kurus. Ya, terakhir ketemu mereka pada 2014 dengan rambut gondrong dan badan
gempal.
Keluar dari lift
lantai dua saya bertemu Lukman Hakim dan entah siapa lagi. Saya tidak sempat
berjabatan untuk mengucapkan “Mohon Maaf Lahir dan Batin” karena fokus saya
menjenguk Arif. Saya pikir, nanti saja dulu, setelah menemui Arif, barulah saya
akan menemui mereka.
Di pintu Ruang
Teratai saya melihat Mbak Ning, istrinya Arif. Di dekat situ terlihat Cita
sedang duduk di lantai dengan tiga orang kawan, entah siapa. Saya mengucapkan
salam dan “Mohon Maaf Lahir dan Batin” dengan menyebutkan nama saya karena
penampilan saya berubah setelah sempat berlebaran ke rumah mereka pada 2013 (lebaran 2014 saya sedang berada di Kupang, NTT, dan hanya bisa mengucapkan via SMS). Lalu
saya segera ke ruang Arif.
Arif tergeletak.
Masih dalam kondisi tidak sadarkan diri. Peralatan medis berada di muka dan
lengannya. Saya tidak bisa mengucapkan apa-apa selain tertegun. Hanya doa
mengalir dalam hati saya.
Sekian menit
kemudian saya keluar, dan menemui Mbak Ning, Cita, dan lain-lain. Saya pun
menyapa Cita, bersalaman, dan mengucapkan “Mohon Maaf Lahir dan Batin”. Cita
sangat pangling sebab ngobrol
terakhir dengan Cita dalam acara IAI pada 2013.
Lalu saya beranjak
sejenak untuk menemui Lukman Hakim. Rupanya, Lukman Hakim sudah tidak terlihat.
Ya, sudah, saya kembali bersama Cita, ngobrol lagi.
Lebih satu jam
berselang, Alfian pun datang. Dan seterusnya, sampai dua jam lebih saya berada
di rumah sakit.
*******
Panggung Renung
Balikpapan, 2 Juli 2017
Langganan:
Postingan (Atom)