Kamis, 31 Agustus 2017

Menanggapi Sebuah Tantangan Serius

Semula saya ragu untuk menanggapi “tantangan serius” melalui Sayembara Penulisan Cerita Anak se-Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara 2017 yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur pada Mei-Agustus 2017. “Tantangan” itu saya baca di beranda media sosial Amien Wangsitalaja dengan tulisan “sila” pada 26 Mei 2017.

Yang paling menggoda adalah nilai hadiahnya. Juara I, Rp. 12.000.000,00. Juara II, Rp. 10.000.000,00. Juara III, Rp. 8.000.000,00. Juara IV, Rp. 6.000.000,00. Juara V, Rp. 4.000.000,00. Juara VI-XV, @Rp. 1.000.000,00. Bisa juara I, alangkah sedapnya!

Untuk lomba menulis di Kaltim, saya pernah mencobanya. Satu kali pada 2016 atau tahun lalu. Lomba Menulis Esai se-Kaltim & Kaltara. Kebetulan saya meraih peringkat I, dan diganjar hadiah berupa uang Rp.3.000.000,00.

Saya pikir, dengan modal percaya diri akibat raihan lomba esai tahun lalu, saya bisa mencoba optimis untuk ikut sayembara kali ini. Tetapi sayembara kali ini bukanlah esai, atau cerpen yang biasa saya buat, melainkan cerita anak. Terlebih ketika saya membaca lagi isi pengumuman sayembara tersebut, percaya diri dan optimisme berangsur menjadi keraguan pada diri saya.

Mengapa saya ragu?

Pertama, saya sama sekali belum pernah membuat sebuah cerita anak. Kalau saya pernah membuat cerpen semacam dunia anak-anak berjudul “Anak Ayam” (2002), sebenarnya tidaklah saya sebutkan kisaran umur dan pendidikannya. Itu pun bermula dari kisah seorang kawan, yang kemudian saya olah sesuai dengan versi saya.

Kedua, batasan (kriteria) dalam sayembara atau lomba umumnya. Pada “Ketentuan Umum” dalam sayembara tersebut tertera “Bacaan ditujukan pada pembaca berusia 10-12 tahun” (poin ke-2), dan “Isi bacaan memiliki kekuatan dan pesan tentang sikap hidup dalam keluarga dan lingkungan sekitar” (poin ke-4).

Saya menghitung umur 10-12 tahun itu adalah anak-anak yang berpendidikan Kelas IV s.d. Kelas VI SD. Saya tidak tahu, pada umumnya anak-anak seusia itu menyukai cerita apa. Pada usia itu saya tidak suka membaca tulisan tetapi gambar (komik) dengan sedikit tulisan.

Ketiga, batasan secara khusus. Pada “Ketentuan Khusus” tertera “Tema : lanskap kehidupan anak-anak Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara (pedesaan atau perkotaan)” (poin ke-1).

Saya tidak terlalu sering bergaul dengan anak-anak di Kalimantan Timur, tepatnya Balikpapan. Latar masa kecil saya jauh dari Kalimantan, yaitu Bangka atau tepatnya Kampung Sri Pemandang Atas. Sementara lingkungan saya di Balikpapan sangat berbeda dengan Sungailiat. Ditambah, perbedaan budaya dan zaman yang kontras.

Keempat, batasan secara khusus berikutnya. Pada poin ke-3 tertera “Jumlah halaman isi 30-40 lembar halaman (tidak termasuk halaman perancis)”, dan poin ke-5 tertera “Spasi 1,5”. Sementara mengenai ukuran huruf dan kertas, saya anggap, standart saja.

30-40 lembar dengan spasi 1,5, bagi saya, bukanlah sedikit seperti cerpen “Anak Ayam”. Dengan latar tempat, waktu, budaya, dan usia saja sudah cukup membuat saya ragu untuk menanggapi “tantangan serius” ini, malah dikhususkan lagi “30-40 lembar dengan spasi 1,5”.

Nah, ketika membaca pengumuman sayembara dengan segala batasan (kriteria atau ketentuan), saya belum tertarik untuk menanggapi pajangan Amien Wangsitalaja mengenai sayembara tersebut sejak 26 Mei. Saya justru ragu, apakah saya mampu menanggapi “tantangan serius” tersebut sehingga sampai akhir Juli (2 bulan) saya belum menyelesaikan satu cerita pun.  

Di luar “tantangan” itu, saya pun sedang menyiapkan diri untuk suatu pekerjaan di bidang arsitektur di luar Kalimantan karena krisis ekonomi masih sangat terasa di wilayah Kaltim. Tentu saja karena sesuai dengan latar saya sebagai arsitek dengan pengalaman di meja kerja dan langsung terjun di lokasi (lapangan). Pekerjaan saya, sudah pasti, selalu menyuguhkan “tantangan” baru.

Bagi saya, proyek atau obyek baru selalu memiliki keunikan atau “tantangan” baru, baik mengenai tempat, kondisi tempat, aturan, permintaan, kriteria, maupun bekerja sama dengan orang atau suatu perusahaan yang baru. Saya pun masih terfokus pada bidang saya sendiri.

Dengan segala pertimbangan, keraguan saya semakin meyakinkan untuk saya sebut “pantas” diragukan. Atau, bagaimana, ya, bahasa yang tepat untuk mengungkapkan suatu keraguan yang benar?

Tetapi, dalam bidang dan rencana pekerjaan saya, ternyata terjadi persoalan administratif sampai mendekati akhir Juli. Saya belum juga berangkat ke luar Kalimantan.

Masa-masa mengambang itu saya siasati dengan mengikuti ajang kurasi karya, dan lomba menulis apa saja yang saya minati. Dua puisi lolos kurasi sepucuk buku antologi bersama yang diselenggarakan oleh sebuah dewan kesenian, dan satu puisi saya tulis lalu kirim ke sebuah perhelatan akbar yang akan diumumkan menjelang pertengahan Agustus.

Bagi saya, eksistensi dalam berkarya, khususnya puisi tingkat umum di luar Balikpapan, masih sangat penting, walaupun tidak memberi hadiah berupa uang. Sebab, saya masih merasa belum leluasa menulis puisi. Disamping itu, kalau bisa lolos kurasi dan tergabung dalam sepucuk buku antologi bersama, paling tidak, nama dan karya saya sudah sampai dan abadi di daerah lain.

Berikutnya lomba puisi dari sebuah perhelatan akbar yang saya lihat pengumannya pada 12 Juli dengan batas akhir 11 Agustus itu, selain bernilai eksistensi sekaligus “gengsi”, juga berhadiah uang. Juara I, Rp. 3.000.000,00. Juara II, Rp. 2.000.000,00. Juara III, Rp. 1.000.000,00. Sedangkan 47 karya nominasi akan tergabung dalam sepucuk buku antologi bersama. Kalau bisa masuk nominasi saja, suatu tahap yang luar biasa untuk saya dalam perhelatan akbar itu.

Sampai awal Agustus saya masih belum mendapat kabar mengenai penyelesaian akhir atas persoalan administratif di bidang saya. Bagi saya, situasi itu sangatlah mengganggu rencana saya karena “mengambang”. Tentu saja sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh sebab situasi yang tidak pasti sedang saya alami, mau-tidak mau, saya harus menyiasati keseharian dan waktu-waktu saya lagi. Selain menunggu hal lain yang “mungkin” terjadi, saya pun mencoba menanggapi “tantangan serius” dari Kantor Bahasa Provinsi Kaltim itu.

Awalnya dengan menulis garis besar gagasan ceritanya. Itu pun masih saya perkirakan cerita yang datar-datar dan untuk satu naskah saja. Ya, sekadar menanggapi “tantangan serius”, sambil menunggu “kemungkinan” dari hasil sebuah lomba puisi, dan persiapan kegiatan 17-an.

Agustus sangat erat kaitannya dengan kegiatan 17 Agustusan. Agustus 2017 suasana Indonesia masih panas mengenai Pancasila. Pada sebagian poin ke-3 dalam “Ketentuan Umum” sayembara tersebut juga tertera “mempertimbangkan keberagaman Indonesia, ramah lingkungan…”.

Kebetulan tempat tinggal saya di Balikpapan, khususnya lingkungan sekitar RT kami, bertetangga dengan beragam SARA, bahkan ada tiga rumah ibadah yang berbeda, yaitu Masjid Baburrahman, Gereja Toraja, dan Pura Giri Jaya Natha. Maka, calon naskah cerita anak saya beri judul “Zaki dan Tomas Ikut Lomba 17 Agustusan”.

Kebetulan juga keluarga kami pernah berlangganan Kompas. Sebagian edisi lamanya masih tersimpan di gudang keluarga yang juga bersebelahan langsung dengan meja tulis saya. Lalu saya mencari koran Kompas lama yang memuat cerita anak. Tentu saja bisa saya pergunakan untuk memberi pemahaman pada saya sendiri mengenai cerita anak dalam contoh yang nyata.

Berikutnya, mau-tidak mau, saya juga mencari contohnya melalui internet. Salah satunya adalah Majalah Bobo. Dan, saya langsung ‘berlangganan’ konten majalah anak-anak versi daring (online) itu.

Melalui internet saya juga mencari kelompok anak usia 10-12 tahun dan bacaan yang sesuai dengan kelompok itu. Sebab, batasan usia dalam sayembara tersebut adalah 10-12 tahun. Patokan angka usia berpengaruh pada cerita anak yang bagaimana atau seperti apakah yang sesuai. Sayangnya saya belum menemukannya.

Saya pun teringat pada sebuah buku koleksi saya, yang berkaitan dengan cerita anak. Saya mencari buku itu dalam peti plastik yang berisi buku-buku saya. Ya, ada. Buku Serba-Serbi Cerita Anak-Anak yang ditulis oleh Dra. Sugihastuti, M.S. (1996. Yogyakarta: Pustaka Pelajar), dan sekitar awal 2000 saya beli di Social Agency Yogyakarta seharga Rp.4.000,00.

Untuk sementara waktu saya berhenti menuliskan kelanjutan naskah. Saya membaca contoh-contoh cerita anak, dan buku teori mengenai cerita anak. Kalau contoh-contoh cerita anak tidak menyebutkan secara spesifik mengenai kelompok anak usia 10-12 tahun, saya pikir, barangkali ada dalam buku teori karya Sugihastuti.

Dalam tulisan Bacaan Sarana Mengasuh Anak (hal.23) Sugihastuti menulis, “Bagi yang berumur 10-12 tahun, disediakan serangkaian cerita tentang penjelajahan antariksa, cerita detektif, seri lima sekawan, seri petualang, dan lain-lain.” Nah ini dia!   

Selain menyebutkan kelompok usia beserta kisaran bacaan yang cocok, saya menemukan contoh “seri lima sekawan”. Seri Lima Sekawan bukanlah bacaan yang asing bagi saya. Sewaktu masih kanak-kanak dan tinggal di Bangka, karya Enid Blyton itu sering saya lihat di perpustakaan sekolah, meski saya tidak tertarik membacanya karena saya penikmat komik superhero.   

Saya teringat lagi, di rak buku keluarga Balikpapan saya pernah melihat buku Lima Sekawan. Saya pun segera mencarinya. Saya menemukan 3 buku. Sungguh suatu kebetulan yang beruntun, bukan?

Lagi-lagi, untuk sementara saya membaca buku-buku dan contoh-contoh cerita anak sebelum saya melanjutkan calon naskah cerita anak. Sesekali saya mencoba melanjutkan sambil menunggu hasil lomba puisi sampai pertengahan Agustus.

Dari membaca beberapa buku dan contoh cerita anak dengan beberapa petualangannya, saya malah mendapat gagasan lain untuk naskah saya. Tetapi saya pikir, sayang sekali, kalau saya harus menggantinya. Maka, saya siapkan judul lainnya, yaitu “Berlibur di Kebun”.

“Berlibur di Kebun” ini, disamping mengenai suasana kebun dan kami pun memiliki kebun yang saya namakan “Kebun Karya” (daerah Kilo 4) sekaligus saya kaitkan dengan latar daerah saya (Bangka), juga “berlibur” karena krisis ekonomi yang sedang melanda Kaltim secara umum.

Di sela-sela pembacaan buku dan contoh cerita anak, saya pun ikut lomba menulis artikel yang diselenggarakan oleh sebuah media daring. Lomba dimulai 29 Juli dan batas akhirnya 10 Agustus. Saya selesaikan dua naskah, lalu saya kirimkan. Beres. Saya lanjutkan lagi penulisan cerita anak.  

Setelah merasa cukup untuk menyudahi pembacaan buku dan contoh, saya mulai melanjutkan naskah “Zaki dan Tomas Ikut Lomba 17 Agustusan”, dan harus bisa saya selesaikan sebelum melanjutkan penulisan naskah kedua, “Berlibur di Kebun”. Satu hal yang memicu saya untuk segera merampungkan naskah pertama adalah keterlibatan saya dalam kegiatan 17-an di RT kami.

Menjelang pertengahan Agustus, tepatnya 14 Agustus, puisi saya masuk nomine (10 besar alias nomor 7) dalam sebuah perhelatan akbar berkelas nasional tadi. Saya satu-satunya dari Balikpapan, bahkan Kaltim. Tentu saja saya bangga. Perhelatan akbar tadi, biasanya, diikuti oleh para penyiar ternama tingkat nasional karena nilai hadiahnya sangat menggiurkan.  

Pada 14 Agustus juga ada pengumuman dari Kompasiana mengenai akan adanya kompetisi flashblogging dalam rangka 17-an dengan waktu penulisan selama 3 jam (17.00-20.00). Belum ada temanya karena tema akan disampaikan tepat 17 Agustus pukul 17.00. Yang menggoda saya adalah nilai hadiahnya, Rp.1.000.000,00 untuk 17 pemenang.

Meski fokus agak bias, saya bersikeras untuk mengikuti kompetisi tadi, dan mengikuti sayembara dengan dua naskah. Kepala terasa pecah karena waktu terus melaju, dua naskah cerita anak masih jauh dari akhir proses.    

17 Agustus pukul 17.00 WIB atau 18.00 WITA saya ikut berkompetisi flasblogging bertema “sudah Berbuat Apa untuk Indonesia”, meskipun saya tidak bisa mengikuti kegiatan 17-an di RT kami karena saya tidak mau mengalami kelelahan yang bisa berisiko gagal ikut kompetisi di Kompasiana. Saya pikir, toh 20 Agustus, dan 27 Agustus masih ada lomba di RT, dan saya bisa terlibat.

Selesai mengirimkan naskah kompetisi di Kompasiana tadi, saya langsung fokus untuk merampungkan dua naskah sayembara. Fokus sepenuhnya. Tidak lupa, saya berdebar-debar. Mampukah saya menulis satu cerita anak sebanyak 30-40 lembar, bahkan dua naskah?

Pada malam hari saya membuka posel (pos surat elektronik) saya di Yahoo. Saya kaget. Ternyata pukul 12.00 saya diundang oleh Humas Pemkot untuk menghadiri suatu acara di Perpustakaan Daerah Balikpapan. Undangan itu dikirimkan oleh perpusda pada 14 Agustus.

Ya, sudahlah. Besoknya saya ke perpusda, dan ngobrol dengan seorang kepala bidang di sana. Saya minta maaf karena baru membaca undangan pada malam hari.

22 Agustus saya baru bisa merampungkan naskah “Zaki dan Tomas Ikut Lomba 17 Agustusan” dengan jumlah 40 halaman. Sedikit saya koreksi, lalu saya lanjutkan dengan naskah kedua, “Berlibur di Kebun”.

Saya memfokuskan diri pada sayembara tersebut tanpa keraguan mengenai jadi-tidaknya mengirim dua naskah. Tetapi fokus itu agak terusik oleh harapan saya pada hasil kompetisi flashblogging. Saya menghitung, sekitar 100-an naskah ikut berkompetisi, dan hasilnya akan diumumkan 7 hari kemudian atau, anggap saja, 24 Agustus. Sebagian judulnya saya baca, dan semakin mengusik fokus saya.

Saya mulai meragukan naskah kompetisi saya sendiri karena, menurut saya, kurang bergengsi dibandingkan dengan naskah peserta lainnya. Ujung-ujungnya, ya, saya relakan saja apabila tidak masuk 17 naskah yang menang, dan berhak atas Rp.1.000.000,00. Paling tidak, saya masih memiliki satu harapan di lomba menulis artikel sebuah media daring yang hasilnya akan diumumkan setelah 14 hari atau sekitar 31 Agustus, dan harapan jauh pada sayembara tersebut.

24 Agustus saya membuka Kompasiana. Tidak ada pengumuman mengenai hasilnya. Ya, sudah, saya benar-benar pasrah. Terserahlah apa pun hasilnya karena saya sudah pesimis gara-gara membandingkan dengan naskah para peserta. Ternyata pengumuman hasilnya pada 27 Agustus.

Judul beritanya sangat menggetarkan, “Inilah Para Jawara yang Menaklukkan #Kompasiana 17an !” Kemudian ada cuplikan kalimat, “dari 99 artikel yang berpartisipasi, berikut kami umumkan 17 artikel yang paling berhasil menggetarkan sanubari admin sehingga layak mendapat gelar juara:“ Karya dan nama saya berada di nomor 1.

Tentunya saya senang sekali, meski berdebar-debar karena naskah cerita anak sama sekali masih jauh dari selesai. Di peringkat 17 tertera nama seorang penulis yang saya kenal dari buku puisinya.  

Dengan adanya pengumuman hasil kompetisi itu saya terpacu untuk merampungkan naskah cerita anak, meskipun hadiah kompetisi akan ditransfer setelah 45 hari kerja. Ya, sudahlah, saya tinggal menunggu transferannya pada Oktober. Yang jelas sedang harus saya selesaikan adalah naskah cerita anak.

31 Agustus (cap pos) dini hari naskah “Berlibur di Kebun” selesai dengan tokoh utama bernama Oji. Oji adalah tokoh yang sering saya pakai untuk karya-karya saya sejak 2001 dalam cerpen “Orang Kaya Baru”. Siang harinya saya cetak, kirim lewat kantor pos, dan menghabiskan biaya Rp.250.000,00. Berikutnya naskah saya kirim via surel.

Akhirnya saya serahkan pada takdir atau nasib. Saya sudah berusaha melakukan apa yang saya mampu. Mengenai hasilnya nanti, bukanlah wewenang saya. Ya, sebagaimana umumnya setiap lomba atau kompetisi tulis-menulis, keputusan berada di dewan juri.   

Demikian kronologi saya menanggapi "tantangan serius" dari sayembara menulis cerita anak-anak. Saya mengungkapkan semua ini dalam rangka kejujuran atas realitas diri saya sendiri, dan sekadar merekam sebagian perjalanan kegiatan tulis-menulis saya.   

*******


Panggung Renung Balikpapan, 1 September 2017, pas Idul Adha 1438 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar