Senin, 14 Agustus 2017

Puisiku "Selembar Daun Sahang Mencari Serambut Akar"*

dengan selembar daun sahang --- bukan taijab saijab merapin cerungkup --- kebun belakang rumah bubung panjang sepintu sedulang aku menyeberang selat

aku sekadar pengelana
sejenak singgah hanya menanya
demikian kugemakan dada

di sang bumi ruwa jurai tidaklah kupinta liukan sembah dan sigeh pengunten di lamban baginda sebab jabat baginda seketika jadi jembatan tanyaku menggema tidak sempat menyapa nuwu anjung mahan dan masih banyak atap berselimut kepulan aroma sahang cengkeh 

di klutum jati lepau aku bersila bersama baginda berkain tapis dan sirih pinang ditengahi secangkir robusta hasil kebun baginda dan sepiring engkak selimpok geguduh hangat tanpa perlu mengerti isi panggakh lapang lom bilik kebik tebelayakh sekhudu dapokh nasihat cambai urai ti usung dilom adat pusako

dengan selembar daun sahang hendak kucari akar hayat batangnya telah merambat menjangkau kebun belakang rumah bubung panjang butirannya memutih --- menghitam di pelataran baginda -- sampai pantai permai tegar melawan hantam badai moneter

apalah selembar daun tanpa mendedah setiap serat urat sebab padanya tertulis risalah berlembar-lembar hendak baginda kisahkan selagi aku sejenak bersila dalam dampak robusta geguduh

tiadalah gajah tanpa gading
tiadalah gading tanpa retak
demikian baginda membuka paham 

pada mula baginda berdiri memegang payung jurai emas di anjak lambung semilir semerbak harum butir-butir sahang sedang dipanggang matahari bersepoi aroma cengkeh kopi robusta menyebar ke bukit barisan selatan dan way kambas berarak awan membedaki gunung pesagi

lembar-lembar abad adalah warahan tentang perziarahan dari tambo dan dalung di kenali batu brak sukau pada sekala brak berbuay tumi berbelasa kepampang di belalau mengalir ke segala way sebelum sriwijaya melumat laut samudera raya sampai kelak terpesona emas dan damar berpatok palas pasemah batu bedil dengan tolang pohwang dalam cadel naga

selembar daun sahang kubolak-balik
adakah yang terlewatkan pada uratnya
demikian seruput robusta menyimak baginda

empat umpu pagaruyung dan putri bulan memenangkan sekerumong membongkar tanah belalau sekala brak mengibarkan panji paksi pak berempat kebuwayan seketika sisa buay tumi berai ke utara selatan hingga pesisir krui berbuay pidada bandar laai way sindi langsung tersapu deru derap lemia ralang pantang dan lima punggawa

belasa kepampang ditebang jadi pepadun untuk saibatin raja-raja paksi pak beraksara had mengelupas kaganga para puyang berabad-abad terlipat-lipat syahdan banten mengendus semerbak harum sahang di pelabuhan sebagai jalan raya nusantara juga ziarah siar kalbu

semerbak harum sahang tidak luput dari kapal-kapal berhidung mancung putih arung laut samudera berkarung gulden beremah salju diganti hangat sahang menjadi panas cengkeraman kuku-kuku singa semakin sengit perebutan pertarungan

hangatnya sahang panasnya pertarungan menggelegarkan krakatau 10.000 kali bom atom hiroshima nagasaki menggetarkan lingkaran 4.600 kilometer menggelapkan wajah bumi menggampar wajah bulan --- putri bulan tidak lagi menggemaskan  

luluh lantak berdandan ziarah kolonisten ke bagelen gedong tataan  sukadana kota agung mengayakan rupa-rupa pada wajah-wajah sang bumi ruwa jurai dengan ruang-ruang berporsi-porsi sampai terangkat tekhapang badik payan candung membegal kapal-kapal hidung mancung putih menancap tonggak merah putih bersayap garuda

baginda menghela sesak ziarah menarik kesegaran melanjutkan perziarahan dengan pancaran hijau coklat biru putih  kuning melalui serat urat selembar daun sahang di persilaanku terpampang wajah-wajah pesawaran metro pringsewu tanggamus batanghari tulangbawang dari semenanjung selatan bertunas-tunas beton pada 15 halamannya bertugu radin intan menara siger adipura pengantin beriring cangget dalam kalender-kalender meski setiap menara adalah gading dan tiada gading tiada retak

dengan serat urat selembar daun sahang syahdan baginda membentang wajah-wajah pukauan dari purawiwitan bawang bakung pugung raharjo tulang bawang wan abdul rahman karanganyar bumi kedaton gita persada tanjung bintang menara siger batu tegi terjun ke putri malu curup tujuh sinar tiga way lalaan lembah pelangi tujuh linggapura gangsa kota batu turun ke wana melinting batu brak enggal mengalir ke ranau way belerang way jepara menuju labuhan maringgai tanjung tuha pasir putih kilauan tanjung setia sari ringgung kalianda klara mutun gigi hiu mandiri walur duta wisata kuala kambas embe merak belantung wartawan menyeberang ke pahawang tanjung putus tegal maitem condong laguna dodo sebuku kubur balak lok lunik mengkudu sekepel tangkil batu naga krakatau berliuk pula riang bendana

sungguhlah pukau sangatlah silau
tiada halau seluruh jangkau pantau
demikian penuh dalam pandangku

di klutum jati aku terpaku suguhan kisah baginda meski masihlah tersimpan keelokan garis-garis samar peta baru sepenjuru mata angin dari sisa urat selembar daun sahang

*******
Panggung Renung Balikpapan, 2017

*) Puisi ini masuk nominasi (no.7 atau 10 besar) dalam Lomba Cipta Puisi Krakatau Award 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar