Selasa, 30 April 2019

Seorang Oknum Pegiat Literasi Hanya Mau Gratisan


Suatu waktu aku melihat  foto-foto yang dipajang oleh seorang kawan dalam sebuah kelompok literasi. Beberapa orang memamerkan buku yang mereka pegang.

Lantas aku menanggapinya. “Kapan bukumu nyusul?” tulisku.

Ia menjawab, sebentar lagi. Selanjutnya ia minta buku-buku karya tunggalku.

Aku pun menjawab, ada  tujuh buku yang bisa kuberikan. Akan tetapi, aku meminta ia menanggung ongkos kirimnya (ongkir) karena aku tidak memiliki uang, dan posisinya jauh di luar pulau. Kalau aku kaya, pasti kukirimkan secara cuma-cuma tanpa minta ongkir.

Jawabnya, “Kami pikir-pikir dulu, deh.”

***

Memang beginilah kenyataan hidup. Aku bukanlah karyawan. Aku tidak memiliki pendapatan bulanan yang tetap. Aku jarang sekali mendapat penghasilan yang sesuai dengan kapasitasku.

Meski dengan segala keterbatasan, termasuk ketidakmampuan membayar tenaga mumpuni, aku berjuang untuk mendapat uang agar karya-karyaku menjadi abadi dalam buku. Uang seberapa rupiah kuusahakan agar ada bagian untuk menjadi buku.

Kalau mau berhitung untung-rugi, dengan tujuh buku yang kubanderol sekitar Rp40.000,00 per buku, seharusnya aku bisa mendapat Rp280.000,00. Namun, untuk tujuan literasi, kurelakan saja kerugianku itu.

Dari Rp280.000,00 ditambah dengan ongkir, yang kira-kira totalnya Rp350.000,00, apa yang bisa kujadikan contoh mengenai kemandirian pencipta/kreator dengan karya/kreasinya?

***

Salah satu alasan ketidakaktifanku dalam geliat literasi di Balikpapan adalah menjadi donator buku. Jangan serta-merta menghakimu bahwa aku pelit. Sekali lagi, aku tidak memiliki uang, bahkan bisa tekor habis-habisan jika harus mendonasi buku-bukuku. Aku tekor, siapa yang peduli, hah?!

Ah, sudahlah. Aku memang tidak perlu merepotkan diri lantas merugi habis-habisan. Lebih baik aku kembali berkarya. Terserah apa kata orang, karena, toh, orang hanya mudah berkata-kata tanpa benar-benar menyaksikan upayaku berkarya dalam segala keterbatasanku.

*******   
Pinggir Panggung Renung, 30 April 2019

Sabtu, 27 April 2019

Tidak Ada yang Gratis dalam Profesionalisme

Apa profesi Anda? Berapa jam Anda benar-benar melaksanakan profesi Anda? Apakah Anda mendapat upah dari profesi Anda? Apakah Anda menikmati profesi dan upah Anda?

Menurutku, setiap orang memiliki alasan masing-masing untuk berprofesi atau melaksanakan pekerjaan. Tidak perlu munafik jika upah, gaji, tunjangan, honor, atau kompensasi menjadi penting. Terlebih, harga barang dan jasa selalu meningkat, meski sekian persen saja.

Arti Kamus
Kebetulan di rumah ada beberapa kamus bahasa Inggris-Indonesia. Aku menggunakan kamus yang baru kutemukan di rka buku keluarga. Salim’s Ninth Collegiate English-Indonesian Dictionary karangan Drs. Peter Salim, M. A., yang diterbitkan oleh Modern English Press, Jakarta, 2000, dan terdapat pada hlm. 1155.

Profesi (Profession) adalah pekerjaan; jabatan yang membutuhkan pendidikan khusus.

Profesional (Professional) adalah 1. Berkenaan dengan jabatan atau profesi; 2. Ahli; bayaran.

Profesionalisme (Professionalism) adalah ciri-ciri, semangat, atau metode profesional.

Pekerjaanku
Kebetulan aku memiliki usaha penerbitan buku. Buku-buku kuterbitkan adalah karya-karyaku sendiri, sebelum kuterbitkan buku novelnya Alfiansyah (2019).

Yang kukerjaan terhadap buku-bukuku ialah :
1. Menulis, baik fiksi maupun non-fiksi.
Biasanya, kalau menulis merupakan pekerjaan, maka profesiku adalah penulis. Seorang penulis akan menerima upah dari hak ciptanya, yang dikenal dengan istilah “royalti”. Namun aku tidak merasa sebagai penulis.

2. Menggambar, baik sampul, isi (kartun), maupun ilustrasi isi.
Biasanya, orang yang bekerja di bidang ini disebut pelukis, desainer grafis, atau ilustrator. Masing-masing menerima upah sesuai dengan kesepakatan. Sementara, untuk dua buku kumpulan kartunku, biasanya, aku disebut kartunis, dan di situ ada “royalti”.

3. Mengumpulkan, memilah, dan memilih karya.
Biasanya, orang yang melakukan pekerjaan ini disebut penyunting (editor). Seorang penyunting menerima upah yang sesuai dengan kesepakatan.

4. Memeriksa aksara dan menyesuaikan kata.
Biasanya, orang yang melakukan pekerjaan ini disebut penyunting (editor) atau pemeriksa aksara.

5. Menyusun, dan menata dengan gambar.
Biasanya, orang yang melakukan pekerjaan ini disebut penata artistik (layouter).

6. Mengurus International Serial Book Number (ISBN) ke Perpustakaan Nasional RI.
Biasanya, orang yang melakukan pekerjaan ini disebut redaktur atau administrator penerbitan. ada upah untuk seorang administrator.

7. Mengurus pencetakan
Biasanya, orang yang melakukan pekerjaan ini disebut administrator. Ada upah tersendiri untuk administrator.

8. Membiayai sendiri atau mencari donatur
Biasanya, orang yang melakukan pekerjaan ini disebut pemilik penerbitan (penerbit). Penerbit mendapat upah melalui terbitan yang terjual, dan sponsor jika beriklan.

Pekerjaanku yang Sesungguhnya
Untuk mencapai tataran tertentu, paling tidak, seseorang memiliki kemampuan khusus, berkaitan dengan bidang masing-masing. Penulis, ilustrator, desainer grafis, penata artistik, editor, pemeriksa aksara, dan seterusnya.

Dari kedelapan pekerjaan di atas, apakah pekerjaanku sesungguhnya, atau yang paling tepat?

Berikutnya, berapa rupiah yang sepatutnya kuterima dengan pekerjaan itu?

Apakah Anda bisa membayangkan pula, bagaimana aku melakukan pekerjaan-pekerjaan itu?

Investasi Hidup
Aku menginvestasikan hidupku dengan apa saja yang kukerjakan, dari tahap belajar, berlatih, berlomba, dan seterusnya. Kesemuanya tidak bisa kukelola dalam satu minggu, satu bulan, atau satu tahun.

Bertahun-tahun aku menggambar. Bertahun-tahun aku membaca. Bertahun-tahun aku menulis. Bertahun-tahun aku mengikuti perlombaan. Bertahun-tahun… Ya, waktu yang panjang untuk kemudian menyatu dalam bentuk sebuah buku.

Apakah semua itu gratis?

Menggambar saja aku harus mengikuti bimbingan belajar menggambar di Bandung, meskipun aku merasa memiliki bakat menggambar. Belum lagi menulis yang diam-diam kulakukan sejak zaman mahasiswa, bukan?

Bisakah Anda menghitung, berapa rupiah yang telah kuinvestasikan untuk semua itu? Apakah Anda berani memasukkan hal-hal, misalnya konsumsi, transportasi, akomodasi, dan seterusnya?

Berhitung
Apa? Anda minta gratisan untuk apa yang telah kuinvestasikan selama puluhan tahun?

Ya, lebih sepuluh tahun aku menginvestasikan hidupku untuk mengolah dan mengelola kemampuan. Aku masih terus menggambar. Aku masih terus menulis. Aku masih terus belajar, mencari referensi, dan seterusnya. Waktu, pikiran, tenaga, bahkan dana  telah kuinvestasikan untuk meningkatkan kemampuanku.

Sekarang aku sudah berumah tangga atau memiliki keluarga. Dalam kehidupan berumah tangga, ada kebutuhan sehari-hari. Tidak ada yang gratis untuk semua itu, apalagi biaya hidup di Balikpapan tergolong tinggi.

Sekarang aku sudah mematok harga, khususnya jasa. Dengan definisi kata “profesi”, “profesional”, dan “profesionalisme”, dan istilah “investasi hidup”, aku “wajib” mengingatkan Anda mengenai “sebuah harga”. Bukankah Anda pun selalu menuntut “sebuah harga” untuk diri Anda sendiri?  

Sementara aku belum pernah mendapat subsidi dari pemerintah, entah kebutuhan hidup ataupun dana pembinaan. Bahkan, meski belasan buku berisi karya tunggalku sudah terdapat di perpustakaan daerah, tetap saja aku tidak pernah mendapat apa-apa, minimal “penghargaan” yang sepadan.

Jadi, marilah kita berhitung bersama-sama. Akan tetapi, terlalu naif, picik, atau sempit jika Anda menuduh aku mencari untung. Kalau hanya mencari untung, lebih baik aku berdagang sembako saja!

*******
Pinggir Panggung Renung, 27/4/2019

Pasca-Pilpres 2019


Menikmati waktu dengan bermain kata-kata di media sosial memang mengasyikkan. Kebetulan ada uang yang terselip dalam sebuah amplop merah di laci. Lumayan. Tidak lupa, tentunya, secangkir kopi hitam menemaniku menulis santai.

Begini. Ada sengketa suara sejak hitung cepat (Quick Count) muncul. Karena kalah dalam Pilpres 2019, 02 tidak menerima hasil hitung cepat dari lembaga-lembaga survei itu. Lucunya, mereka tidak mempersoalkan hitug cepat untuk Pileg 2019.

Lucunya lagi, pada Pilgub 2017 mereka menerima hitung cepat, dan merayakan kemenangan. Paling lucu, pasca-Pilpres 2019 mereka bersikukuh pada hasil hitung cepat di internal mereka.

Ah, begitulah kalau awalnya sudah terpampang kekalahan. Apalagi sebelum pencoblosan 17 April, mereka sudah berkoar-koar soal menteri-menteri seakan mereka sudah menang.

Sesungguhnya mereka tidak pernah bekerja di lembaga survei. Sesungguhnya mereka tidak pernah benar-benar memahami pekerjaan lembaga survei seperti apa dengan metodelogi yang bagaimana. Hanya kemenangan yang mereka tuntut, meskipun kekalahan tidak bisa dinafikkan begitu saja.

Siang yang sangat gerah. Aku harus berhati-hati dalam berkomentar di medsos. Kemarin istrinya Andre Taulany terkena masalah gara-gara menyebut “sinting” pada Prabowo yang bersujud dan mengklaim kemenangan.

Eh, tapi aku bukan artis atau tokoh masyarakat (public figure). Oh, lebih aman, ya? Memang enak menjadi “bukan siapa-siapa”. 

Siang yang gerah ternyata akan muncul hujan. Ya, ada rintik mengetik di atas seng di atasku. Sementara mendung tidak merata terlihat di atas bukit Gunung Malang. Masih tersisa biru yang lapang.

Aku maish berselancar untuk bermain kata-kata tentang hasil hitung cepat itu. “Jokowi menang lagi. Prabowo kalah lagi”. Itu saja yang kukomentari di kolom komentar media sosial, misalnya Kompas, Detik, CNN, Tirto, Kumparan, dan lain-lain.

Tidak lupa kusematkan gambar yang kuolah lagi dari internet. Lucu. Seru. Menjengkelkan. Ah, bodo amat!

Ada kenikmatan tersendiri melihat komentar para pendukung Prabowo yang marah-marah. Kupermainkan lagi. Pokoknya, benar-benar menyenangkan ketika Jokowi menang lagi secara hitung cepat.  

Azan Azar berkumandang. Mendung mengepung langit pas di atas rumah. Udara sudah sejuk, bahkan agak basah. Entah hujan sudah di mana.

Kopiku menuju endapannya. Sebaiknya kuhabiskan saja, dan menyudahi tulisan ini.

*******
Pinggir Panggung Renung, 22/4/2019

Senin, 15 April 2019

Iri-Dengki


Iri-dengki adalah salah satu sebab, mengapa orang suka memfitnah kawan/rekannya sendiri. Dan, hal semacam ini, sebenarnya, lumrah dan jamak.

Aku terbiasa hidup dalam tekanan fitnah orang. Dengan bekal kemampuanku dalam menggambar dan menulis, fitnah semakin bertubi-tubi menyerangku.

Ada yang menstempel aku “egois” karena tidak mau mengajarkan perihal menggambar atau menulis. Padahal, rumahku terbuka dan pengajaran itu gratis bagi siapa pun yang serius untuk belajar. Dan, kalau bersungguh-sungguh, toh, hasilnya kelak adalah untuk mereka sendiri.

Mungkin karena aku sudah menarik diri dari pergaulan atau kumpul-kumpul di luar rumah. Padahal, lima tahun aku telah memberi diri, termasuk biaya transportasi, toh, tidak seorang pun yang serius untuk belajar.

Mereka tidak akan pernah mengerti ketika aku harus meninggalkan kampung halaman untuk belajar. Mereka tidak pernah mengerti ketika aku harus pindah selama empat bulan untuk mendalami gambar-menggambar, dan selama tiga jam menggambar setiap hari. Mereka tidak akan pernah mengerti ketika harus belajar menggunakan mata-telinga untuk belajar dari pembelajaran tulis-menulis mantan rekan-rekanku di pers mahasiswa.

Ya, mereka tidak akan pernah mengerti keseriusanku dalam pembelajaran itu. Yang mereka mengerti, bagaimana iri-dengki dihidupkan dan dibesar-besarkan untuk membenciku karena aku sudah menarik diri dari kegiatan di luar rumah.

Iri-dengki kian meninggi ketika aku menghasilkan buku-buku tunggalku. Ironi. Miris. Aku berpikir dan berproduksi karena memang itulah yang bisa kulakukan. Sementara mereka justru semakin iri-dengki, dan menyebarkan fitnah yang lebih parah daripada lepra/kusta.

Namun beginilah risiko atau konsekuensi hidup. Aku sudah memahaminya.

*******
 Pinggir Panggung Renung, 15/4/2019  

Minggu, 14 April 2019

Cerpen-cerpen Bertema "Cinta"


Hanya cerpen lama. Semua hanya cinta. Namun “tabungan” karya tidak bisa kubiarkan. Harus menjadi bukuku sendiri.

Aku tidak bermimpi yang serba muluk; “menjadi penulis”. Aku hanya melaksanakan hobi (kegemaran). Cinta adalah bagian dalam sejarah hidup manusia, tetapi menuliskannya dalam bentuk fiksi, tentu saja, cukup menyenangkan bagiku.

Buku berisi 13 cerpen ini masih dalam tahap rencana. Naskahnya sudah ada. Tinggal penyuntingan isi, dan ilustrasinya.


Ilustrasi sampul kubuat pada 14 April 2019. Cat poster di kertas linen. Sungguh-sungguh menyenangkan!

Semoga bisa terbit.

*******
 Pinggir Panggung Renung, 15/4/2019 

Jumat, 12 April 2019

Orang Terkenal

“Eh, Bro, itu si Anu sedang melihat-lihat buku!”
“Eh, Sis, itu si Anu sedang membeli kerupuk!”
“Eh, Gaes, itu si Anu sedang ngambek dekat bak sampah!”

Nyamankah menjadi orang terkenal? Nyamankah ketika berada di manapun, orang-orang di sana mengenal siapa kita, bahkan mengerumuni kita?

Aku tidak akan merasa nyaman kalau selalu menjadi bagian dari perhatian orang bahkan banyak orang. Mengundurkan diri dari segala kegiatan kesenian di Balikpapan pun merupakan bagian dari upaya keluar dari perhatian orang.

Aku tidak mau terkenal atau menjadi terkenal/pesohor/selebritas di Balikpapan. Kemunculanku di BTV hanya untuk menjawab “undangan” Lovie Gustian sebagai upaya mempertanggungjawabkan penerbitanku terhadap buku novel “Setiap Malam adalah Sepi” (2019) karya Alfiansyah.

Aku bisa membantu atau mengajari sedikit mengenai tulis-menulis, tetapi di rumah. Alfian cukup sering datang untuk belajar tulis-menulis atau hal-hal yang terkait dengan dunia tulis-menulis. Naskah buku novelnya pun kubantu dalam hal penyelarasan penokohan dan alur cerita. Ya, sedikit saja, sih.

Selain Alfian dalam hal tulis-menulis, siapa lagi? Tidak seorang pun. Dan, semakin menyembunyikan diri di rumah, semakin hilang namaku dalam perbincangan para pemerhati tulis-menulis. Namun, justru aku lebih leluasa berkarya.

Hal yang tidak berbeda ketika aku berada di kampung halamanku sendiri, Sungailiat. Almarhum bapakku bukanlah orang “asing” bagi sebagian kalangan. Sebagian PNS angkatan tua juga mengenal siapa bapakku karena pernah menjadi murid, khususnya di  STM Sungailiat. Ibu angkatku dan beberapa saudara pernah mengingatkanku, bahwa bapakku orang dikenal di Sungailiat.

Akan tetapi, karena aku dulu jarang mudik (belasna tahun di Jogja), tidak seorang pun mengenalku lagi, kecuali kawan kampung (Sri Pemandang Atas). Begitu bebasnya aku berkelana, bahkan seorang diri berjalan kaki saja menyusuri beberapa pantai pada 2006.

Keleluasaan, kemerdekaan, atau kebebasan merupakan hal terpenting bagiku, baik untuk berkarya maupun bepergian. Sebagai orang tidak terkenal, aku harus mengolah dan mengelola diriku lebih baik atau mendalam lagi. Selama ini cukup berhasil, yaitu buku-bukuku terbit dengan jumlah dan dana secukupnya.

Kurasa itu saja yang bisa kusampaikan di sini.

*******
 Pinggir Panggung Renung, 13/4/2019  

Kamis, 11 April 2019

Setiap Kemarin adalah Usang


Ada rintik mengetik di atap seng. Kopi hitamku masih panas, meski seekor ayam jantan tetangga belakang rumah sudah berteriak di antara dengung mesin pembangkit listrik dari Guung Malang.

Pkl. 03.32 WITA. Jumat, 12 April 2019. Sebentar lagi, 17 April, pencoblosan Pilpres dan Pileg 2019. Aku belum mengurus kartu pemilih tetap di Kebun Karya.

Oh iya, aku belum ke Kebun Karya lagi. Rencana pergi ke sana batal pada Rabu, 10 April lalu, sepulang dari studio Balikpapan TV (BTV) di Gedung Biru Kaltim Post Kilometer 4, karena berangkat-pulang dibonceng Alfian.

Acara di BTV, waktu itu, adalah Gelar Wicara (Talk Show) Ngopi (Ngobrol Pintar) Pkl. 11.00 s.d. 12.00 bertema “Novel Setiap Malam adalah Sepi ”. Novel karya Alfiansyah yang diterbitkan oleh Penerbit Abadi Karya (penerbitanku).




Dok. Vrendy 

Aku sudah “keluar kandang”, dan kusadari ketika hendak terlibat dalam penerbitan buku novel itu. Memang, pada malam pelucuran buku itu, yakni Sabtu malam, 6 April, aku gagal menemukan tempatnya.

Untuk mendampingi Alfian di BTV pun karena aku diteleponnya pada Senin, 8 April. Kupikir, saatnya muncul dan mengaktualisasikan penerbitanku. Kebetulan aku masih memiliki tujuh buku karyaku untuk dokumen/arsip/koleksi karya di BTV.

Ketujuh buku tersebut adalah kumpulan gombal Gombalmukelo (2016), kumpulan puisi Napak Tilas (2016), Waktu Terhenti di Kursi Rotan (2018), Membaca Bukumu di Atas Kakus (2018), kumpulan cerpen Kota Terhilang (2018), Seseorang Mencuri Mata Saya (2018), dan kumpulan artikel utama di Kompasiana “Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia” (2018).    
   
Ya, sudahlah. Aku mau mencari hari yang tepat untuk ke Kebun Karya lagi. Selain soal kartu pemilih itu, juga aku harus mengisi pulsa listrik, memperbaiki pintu, mengambil peralatan tukangku, dan membersihkan ilalang yang berada di jalan masuknya.

Mungkin itu saja yang bisa kutulis. Kopi hitamku sudah menunggu seruputan. Sementara rintik mulai ramai mengetik di atap seng, dan beberapa ayam jantan bersahut-sahutan untuk memanggil subuh.

*******
Pinggir Panggung Renung, 12/4/2019