Kamis, 31 Agustus 2017

Menanggapi Sebuah Tantangan Serius

Semula saya ragu untuk menanggapi “tantangan serius” melalui Sayembara Penulisan Cerita Anak se-Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara 2017 yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Kalimantan Timur pada Mei-Agustus 2017. “Tantangan” itu saya baca di beranda media sosial Amien Wangsitalaja dengan tulisan “sila” pada 26 Mei 2017.

Yang paling menggoda adalah nilai hadiahnya. Juara I, Rp. 12.000.000,00. Juara II, Rp. 10.000.000,00. Juara III, Rp. 8.000.000,00. Juara IV, Rp. 6.000.000,00. Juara V, Rp. 4.000.000,00. Juara VI-XV, @Rp. 1.000.000,00. Bisa juara I, alangkah sedapnya!

Untuk lomba menulis di Kaltim, saya pernah mencobanya. Satu kali pada 2016 atau tahun lalu. Lomba Menulis Esai se-Kaltim & Kaltara. Kebetulan saya meraih peringkat I, dan diganjar hadiah berupa uang Rp.3.000.000,00.

Saya pikir, dengan modal percaya diri akibat raihan lomba esai tahun lalu, saya bisa mencoba optimis untuk ikut sayembara kali ini. Tetapi sayembara kali ini bukanlah esai, atau cerpen yang biasa saya buat, melainkan cerita anak. Terlebih ketika saya membaca lagi isi pengumuman sayembara tersebut, percaya diri dan optimisme berangsur menjadi keraguan pada diri saya.

Mengapa saya ragu?

Pertama, saya sama sekali belum pernah membuat sebuah cerita anak. Kalau saya pernah membuat cerpen semacam dunia anak-anak berjudul “Anak Ayam” (2002), sebenarnya tidaklah saya sebutkan kisaran umur dan pendidikannya. Itu pun bermula dari kisah seorang kawan, yang kemudian saya olah sesuai dengan versi saya.

Kedua, batasan (kriteria) dalam sayembara atau lomba umumnya. Pada “Ketentuan Umum” dalam sayembara tersebut tertera “Bacaan ditujukan pada pembaca berusia 10-12 tahun” (poin ke-2), dan “Isi bacaan memiliki kekuatan dan pesan tentang sikap hidup dalam keluarga dan lingkungan sekitar” (poin ke-4).

Saya menghitung umur 10-12 tahun itu adalah anak-anak yang berpendidikan Kelas IV s.d. Kelas VI SD. Saya tidak tahu, pada umumnya anak-anak seusia itu menyukai cerita apa. Pada usia itu saya tidak suka membaca tulisan tetapi gambar (komik) dengan sedikit tulisan.

Ketiga, batasan secara khusus. Pada “Ketentuan Khusus” tertera “Tema : lanskap kehidupan anak-anak Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara (pedesaan atau perkotaan)” (poin ke-1).

Saya tidak terlalu sering bergaul dengan anak-anak di Kalimantan Timur, tepatnya Balikpapan. Latar masa kecil saya jauh dari Kalimantan, yaitu Bangka atau tepatnya Kampung Sri Pemandang Atas. Sementara lingkungan saya di Balikpapan sangat berbeda dengan Sungailiat. Ditambah, perbedaan budaya dan zaman yang kontras.

Keempat, batasan secara khusus berikutnya. Pada poin ke-3 tertera “Jumlah halaman isi 30-40 lembar halaman (tidak termasuk halaman perancis)”, dan poin ke-5 tertera “Spasi 1,5”. Sementara mengenai ukuran huruf dan kertas, saya anggap, standart saja.

30-40 lembar dengan spasi 1,5, bagi saya, bukanlah sedikit seperti cerpen “Anak Ayam”. Dengan latar tempat, waktu, budaya, dan usia saja sudah cukup membuat saya ragu untuk menanggapi “tantangan serius” ini, malah dikhususkan lagi “30-40 lembar dengan spasi 1,5”.

Nah, ketika membaca pengumuman sayembara dengan segala batasan (kriteria atau ketentuan), saya belum tertarik untuk menanggapi pajangan Amien Wangsitalaja mengenai sayembara tersebut sejak 26 Mei. Saya justru ragu, apakah saya mampu menanggapi “tantangan serius” tersebut sehingga sampai akhir Juli (2 bulan) saya belum menyelesaikan satu cerita pun.  

Di luar “tantangan” itu, saya pun sedang menyiapkan diri untuk suatu pekerjaan di bidang arsitektur di luar Kalimantan karena krisis ekonomi masih sangat terasa di wilayah Kaltim. Tentu saja karena sesuai dengan latar saya sebagai arsitek dengan pengalaman di meja kerja dan langsung terjun di lokasi (lapangan). Pekerjaan saya, sudah pasti, selalu menyuguhkan “tantangan” baru.

Bagi saya, proyek atau obyek baru selalu memiliki keunikan atau “tantangan” baru, baik mengenai tempat, kondisi tempat, aturan, permintaan, kriteria, maupun bekerja sama dengan orang atau suatu perusahaan yang baru. Saya pun masih terfokus pada bidang saya sendiri.

Dengan segala pertimbangan, keraguan saya semakin meyakinkan untuk saya sebut “pantas” diragukan. Atau, bagaimana, ya, bahasa yang tepat untuk mengungkapkan suatu keraguan yang benar?

Tetapi, dalam bidang dan rencana pekerjaan saya, ternyata terjadi persoalan administratif sampai mendekati akhir Juli. Saya belum juga berangkat ke luar Kalimantan.

Masa-masa mengambang itu saya siasati dengan mengikuti ajang kurasi karya, dan lomba menulis apa saja yang saya minati. Dua puisi lolos kurasi sepucuk buku antologi bersama yang diselenggarakan oleh sebuah dewan kesenian, dan satu puisi saya tulis lalu kirim ke sebuah perhelatan akbar yang akan diumumkan menjelang pertengahan Agustus.

Bagi saya, eksistensi dalam berkarya, khususnya puisi tingkat umum di luar Balikpapan, masih sangat penting, walaupun tidak memberi hadiah berupa uang. Sebab, saya masih merasa belum leluasa menulis puisi. Disamping itu, kalau bisa lolos kurasi dan tergabung dalam sepucuk buku antologi bersama, paling tidak, nama dan karya saya sudah sampai dan abadi di daerah lain.

Berikutnya lomba puisi dari sebuah perhelatan akbar yang saya lihat pengumannya pada 12 Juli dengan batas akhir 11 Agustus itu, selain bernilai eksistensi sekaligus “gengsi”, juga berhadiah uang. Juara I, Rp. 3.000.000,00. Juara II, Rp. 2.000.000,00. Juara III, Rp. 1.000.000,00. Sedangkan 47 karya nominasi akan tergabung dalam sepucuk buku antologi bersama. Kalau bisa masuk nominasi saja, suatu tahap yang luar biasa untuk saya dalam perhelatan akbar itu.

Sampai awal Agustus saya masih belum mendapat kabar mengenai penyelesaian akhir atas persoalan administratif di bidang saya. Bagi saya, situasi itu sangatlah mengganggu rencana saya karena “mengambang”. Tentu saja sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh sebab situasi yang tidak pasti sedang saya alami, mau-tidak mau, saya harus menyiasati keseharian dan waktu-waktu saya lagi. Selain menunggu hal lain yang “mungkin” terjadi, saya pun mencoba menanggapi “tantangan serius” dari Kantor Bahasa Provinsi Kaltim itu.

Awalnya dengan menulis garis besar gagasan ceritanya. Itu pun masih saya perkirakan cerita yang datar-datar dan untuk satu naskah saja. Ya, sekadar menanggapi “tantangan serius”, sambil menunggu “kemungkinan” dari hasil sebuah lomba puisi, dan persiapan kegiatan 17-an.

Agustus sangat erat kaitannya dengan kegiatan 17 Agustusan. Agustus 2017 suasana Indonesia masih panas mengenai Pancasila. Pada sebagian poin ke-3 dalam “Ketentuan Umum” sayembara tersebut juga tertera “mempertimbangkan keberagaman Indonesia, ramah lingkungan…”.

Kebetulan tempat tinggal saya di Balikpapan, khususnya lingkungan sekitar RT kami, bertetangga dengan beragam SARA, bahkan ada tiga rumah ibadah yang berbeda, yaitu Masjid Baburrahman, Gereja Toraja, dan Pura Giri Jaya Natha. Maka, calon naskah cerita anak saya beri judul “Zaki dan Tomas Ikut Lomba 17 Agustusan”.

Kebetulan juga keluarga kami pernah berlangganan Kompas. Sebagian edisi lamanya masih tersimpan di gudang keluarga yang juga bersebelahan langsung dengan meja tulis saya. Lalu saya mencari koran Kompas lama yang memuat cerita anak. Tentu saja bisa saya pergunakan untuk memberi pemahaman pada saya sendiri mengenai cerita anak dalam contoh yang nyata.

Berikutnya, mau-tidak mau, saya juga mencari contohnya melalui internet. Salah satunya adalah Majalah Bobo. Dan, saya langsung ‘berlangganan’ konten majalah anak-anak versi daring (online) itu.

Melalui internet saya juga mencari kelompok anak usia 10-12 tahun dan bacaan yang sesuai dengan kelompok itu. Sebab, batasan usia dalam sayembara tersebut adalah 10-12 tahun. Patokan angka usia berpengaruh pada cerita anak yang bagaimana atau seperti apakah yang sesuai. Sayangnya saya belum menemukannya.

Saya pun teringat pada sebuah buku koleksi saya, yang berkaitan dengan cerita anak. Saya mencari buku itu dalam peti plastik yang berisi buku-buku saya. Ya, ada. Buku Serba-Serbi Cerita Anak-Anak yang ditulis oleh Dra. Sugihastuti, M.S. (1996. Yogyakarta: Pustaka Pelajar), dan sekitar awal 2000 saya beli di Social Agency Yogyakarta seharga Rp.4.000,00.

Untuk sementara waktu saya berhenti menuliskan kelanjutan naskah. Saya membaca contoh-contoh cerita anak, dan buku teori mengenai cerita anak. Kalau contoh-contoh cerita anak tidak menyebutkan secara spesifik mengenai kelompok anak usia 10-12 tahun, saya pikir, barangkali ada dalam buku teori karya Sugihastuti.

Dalam tulisan Bacaan Sarana Mengasuh Anak (hal.23) Sugihastuti menulis, “Bagi yang berumur 10-12 tahun, disediakan serangkaian cerita tentang penjelajahan antariksa, cerita detektif, seri lima sekawan, seri petualang, dan lain-lain.” Nah ini dia!   

Selain menyebutkan kelompok usia beserta kisaran bacaan yang cocok, saya menemukan contoh “seri lima sekawan”. Seri Lima Sekawan bukanlah bacaan yang asing bagi saya. Sewaktu masih kanak-kanak dan tinggal di Bangka, karya Enid Blyton itu sering saya lihat di perpustakaan sekolah, meski saya tidak tertarik membacanya karena saya penikmat komik superhero.   

Saya teringat lagi, di rak buku keluarga Balikpapan saya pernah melihat buku Lima Sekawan. Saya pun segera mencarinya. Saya menemukan 3 buku. Sungguh suatu kebetulan yang beruntun, bukan?

Lagi-lagi, untuk sementara saya membaca buku-buku dan contoh-contoh cerita anak sebelum saya melanjutkan calon naskah cerita anak. Sesekali saya mencoba melanjutkan sambil menunggu hasil lomba puisi sampai pertengahan Agustus.

Dari membaca beberapa buku dan contoh cerita anak dengan beberapa petualangannya, saya malah mendapat gagasan lain untuk naskah saya. Tetapi saya pikir, sayang sekali, kalau saya harus menggantinya. Maka, saya siapkan judul lainnya, yaitu “Berlibur di Kebun”.

“Berlibur di Kebun” ini, disamping mengenai suasana kebun dan kami pun memiliki kebun yang saya namakan “Kebun Karya” (daerah Kilo 4) sekaligus saya kaitkan dengan latar daerah saya (Bangka), juga “berlibur” karena krisis ekonomi yang sedang melanda Kaltim secara umum.

Di sela-sela pembacaan buku dan contoh cerita anak, saya pun ikut lomba menulis artikel yang diselenggarakan oleh sebuah media daring. Lomba dimulai 29 Juli dan batas akhirnya 10 Agustus. Saya selesaikan dua naskah, lalu saya kirimkan. Beres. Saya lanjutkan lagi penulisan cerita anak.  

Setelah merasa cukup untuk menyudahi pembacaan buku dan contoh, saya mulai melanjutkan naskah “Zaki dan Tomas Ikut Lomba 17 Agustusan”, dan harus bisa saya selesaikan sebelum melanjutkan penulisan naskah kedua, “Berlibur di Kebun”. Satu hal yang memicu saya untuk segera merampungkan naskah pertama adalah keterlibatan saya dalam kegiatan 17-an di RT kami.

Menjelang pertengahan Agustus, tepatnya 14 Agustus, puisi saya masuk nomine (10 besar alias nomor 7) dalam sebuah perhelatan akbar berkelas nasional tadi. Saya satu-satunya dari Balikpapan, bahkan Kaltim. Tentu saja saya bangga. Perhelatan akbar tadi, biasanya, diikuti oleh para penyiar ternama tingkat nasional karena nilai hadiahnya sangat menggiurkan.  

Pada 14 Agustus juga ada pengumuman dari Kompasiana mengenai akan adanya kompetisi flashblogging dalam rangka 17-an dengan waktu penulisan selama 3 jam (17.00-20.00). Belum ada temanya karena tema akan disampaikan tepat 17 Agustus pukul 17.00. Yang menggoda saya adalah nilai hadiahnya, Rp.1.000.000,00 untuk 17 pemenang.

Meski fokus agak bias, saya bersikeras untuk mengikuti kompetisi tadi, dan mengikuti sayembara dengan dua naskah. Kepala terasa pecah karena waktu terus melaju, dua naskah cerita anak masih jauh dari akhir proses.    

17 Agustus pukul 17.00 WIB atau 18.00 WITA saya ikut berkompetisi flasblogging bertema “sudah Berbuat Apa untuk Indonesia”, meskipun saya tidak bisa mengikuti kegiatan 17-an di RT kami karena saya tidak mau mengalami kelelahan yang bisa berisiko gagal ikut kompetisi di Kompasiana. Saya pikir, toh 20 Agustus, dan 27 Agustus masih ada lomba di RT, dan saya bisa terlibat.

Selesai mengirimkan naskah kompetisi di Kompasiana tadi, saya langsung fokus untuk merampungkan dua naskah sayembara. Fokus sepenuhnya. Tidak lupa, saya berdebar-debar. Mampukah saya menulis satu cerita anak sebanyak 30-40 lembar, bahkan dua naskah?

Pada malam hari saya membuka posel (pos surat elektronik) saya di Yahoo. Saya kaget. Ternyata pukul 12.00 saya diundang oleh Humas Pemkot untuk menghadiri suatu acara di Perpustakaan Daerah Balikpapan. Undangan itu dikirimkan oleh perpusda pada 14 Agustus.

Ya, sudahlah. Besoknya saya ke perpusda, dan ngobrol dengan seorang kepala bidang di sana. Saya minta maaf karena baru membaca undangan pada malam hari.

22 Agustus saya baru bisa merampungkan naskah “Zaki dan Tomas Ikut Lomba 17 Agustusan” dengan jumlah 40 halaman. Sedikit saya koreksi, lalu saya lanjutkan dengan naskah kedua, “Berlibur di Kebun”.

Saya memfokuskan diri pada sayembara tersebut tanpa keraguan mengenai jadi-tidaknya mengirim dua naskah. Tetapi fokus itu agak terusik oleh harapan saya pada hasil kompetisi flashblogging. Saya menghitung, sekitar 100-an naskah ikut berkompetisi, dan hasilnya akan diumumkan 7 hari kemudian atau, anggap saja, 24 Agustus. Sebagian judulnya saya baca, dan semakin mengusik fokus saya.

Saya mulai meragukan naskah kompetisi saya sendiri karena, menurut saya, kurang bergengsi dibandingkan dengan naskah peserta lainnya. Ujung-ujungnya, ya, saya relakan saja apabila tidak masuk 17 naskah yang menang, dan berhak atas Rp.1.000.000,00. Paling tidak, saya masih memiliki satu harapan di lomba menulis artikel sebuah media daring yang hasilnya akan diumumkan setelah 14 hari atau sekitar 31 Agustus, dan harapan jauh pada sayembara tersebut.

24 Agustus saya membuka Kompasiana. Tidak ada pengumuman mengenai hasilnya. Ya, sudah, saya benar-benar pasrah. Terserahlah apa pun hasilnya karena saya sudah pesimis gara-gara membandingkan dengan naskah para peserta. Ternyata pengumuman hasilnya pada 27 Agustus.

Judul beritanya sangat menggetarkan, “Inilah Para Jawara yang Menaklukkan #Kompasiana 17an !” Kemudian ada cuplikan kalimat, “dari 99 artikel yang berpartisipasi, berikut kami umumkan 17 artikel yang paling berhasil menggetarkan sanubari admin sehingga layak mendapat gelar juara:“ Karya dan nama saya berada di nomor 1.

Tentunya saya senang sekali, meski berdebar-debar karena naskah cerita anak sama sekali masih jauh dari selesai. Di peringkat 17 tertera nama seorang penulis yang saya kenal dari buku puisinya.  

Dengan adanya pengumuman hasil kompetisi itu saya terpacu untuk merampungkan naskah cerita anak, meskipun hadiah kompetisi akan ditransfer setelah 45 hari kerja. Ya, sudahlah, saya tinggal menunggu transferannya pada Oktober. Yang jelas sedang harus saya selesaikan adalah naskah cerita anak.

31 Agustus (cap pos) dini hari naskah “Berlibur di Kebun” selesai dengan tokoh utama bernama Oji. Oji adalah tokoh yang sering saya pakai untuk karya-karya saya sejak 2001 dalam cerpen “Orang Kaya Baru”. Siang harinya saya cetak, kirim lewat kantor pos, dan menghabiskan biaya Rp.250.000,00. Berikutnya naskah saya kirim via surel.

Akhirnya saya serahkan pada takdir atau nasib. Saya sudah berusaha melakukan apa yang saya mampu. Mengenai hasilnya nanti, bukanlah wewenang saya. Ya, sebagaimana umumnya setiap lomba atau kompetisi tulis-menulis, keputusan berada di dewan juri.   

Demikian kronologi saya menanggapi "tantangan serius" dari sayembara menulis cerita anak-anak. Saya mengungkapkan semua ini dalam rangka kejujuran atas realitas diri saya sendiri, dan sekadar merekam sebagian perjalanan kegiatan tulis-menulis saya.   

*******


Panggung Renung Balikpapan, 1 September 2017, pas Idul Adha 1438 H.

Minggu, 27 Agustus 2017

Menulis dalam Waktu Cepat

Saya mau berbangga diri sebentar atas sebuah pencapaian yang baru satu kali dalam hidup saya. Tulisan Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia meraih peringkat I dalam kompetisi tulisan yang diselenggarakan oleh Kompasiana pada 17 Agustus 2017. Judul berita dari Kompasiana pada 27 Agustus pun tidak tanggung-tanggung, Inilah Para Jawara yang Menaklukkan Kompasiana17an. (http://www.kompasiana.com/kompasiana/599f4a871ceeef5590198ba2/inilah-para-jawara-yang-menaklukkan-kompasiana17an)

Saya sama sekali tidak menyangka jika saya mampu meraih peringkat I tersebut. Pertama, belum ada tema kompetisi pada saat pengumuman akan adanya even itu ditayangkan pada 14 Agustus (http://www.kompasiana.com/kompasiana/598d5fb5835be77fba2d73b2/kumpul-semua-mari-kita-lomba-17-an-di-kompasiana). Dikatakan pula, “Tema akan diberitahukan menjelang pukul 17.00 WIB di tanggal 17 Agustus 2017.”

Kedua, hanya diberi waktu 3 jam. Dalam pengumuman itu tertulis, “Periode flashblogging: 17 Agustus 2017, pukul 17.00 - 20.00 WIB.”

Tema belum ada, dan waktu penggarapan hanya 3 jam. Saya berusaha menebak apa temanya. Tetapi dengan even yang terkait Hari Kemerdekaan atau 17 Agustusan, saya duga, tema tidaklah terlepas dari suasana 17 Agustusan. Tidak mungkin even 17 Agustusan malah bertema ucapan terima kasih kepada ibu, yang biasanya pas untuk even 22 Desember (Hari Ibu).

Ketiga, ada lomba-lomba sebelumnya, yang cukup menguras pikiran saya. Beberapa hari sebelumnya saya pun mengikuti kompetisi sejenis di Geotimes.Co.Id, yaitu Lomba Menulis Artikel bertema Merawat Kemerdekaan Kita, yang dimulai pada 29 Juli sampai 10 Agustus 2017 tetapi diperpanjang sampai 17 Agustus (https://geotimes.co.id/event/past-event/lomba-menulis-kemerdekaan/). Artikel, tentunya, sudah jadi pada 10 Agustus. Meskipun batas waktu diperpanjang 1 minggu, saya tidak perlu repot menambah atau memperbaiki.

Saya nekat mengikuti lomba itu karena hadiahnya sangat menggoda, yaitu dari Rp.1.000.000,00 s.d. Rp.5.000.000,00. Saya tergoda pada Rp.5.000.000,00. Wajar, ‘kan?

Sebelumnya lagi adalah Lomba Cipta Puisi Nasional dalam rangka Krakatau Award 2017. Hadiahnya berkisar antara Rp.1.000.000,00 s.d. Rp.3.000.000,00. Pengumuman mengenai penyelenggaraan lomba saya lihat pada pertengahan Juli 2017. Batas akhir waktu penyerahannya adalah 11 Agustus.

Pada lomba Krakatau Award itu, jujur saja, saya mengincar juara I. Gila juga, sih, karena dalam berpuisi saya masih belum mantap. Tapi, ya, saya berharap pada keberuntungan saja. Lalu puisi saya kirim pada 31 Juli 2017 tanpa saya memikirkan lagi waktu yang tersisa selama 11 hari.

Dan satu lagi yang tidak kalah dahsyatnya adalah Lomba Penulisan Cerita Anak se-Kaltim dan Kaltara 2017, yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kaltim. Saya baru menulis sedikit, padahal saya berencana mengirim 2 naskah. Saya mengincar hadiah pertama, yaitu Rp.12.000.000,00. Lainnya, ya, tetap menjadi incaran saya karena minimal sekian juta rupiah. Oleh sebab itu saya paksakan diri saya untuk bisa membuat 2 cerita anak.
  
Di luar semua lomba, saya pun sedang berada dalam masa transisi menuju sebuah pekerjaan di Jawa. Masa transisi itu adalah menunggu Surat Keterangan Ahli (SKA) Arsitek tingkat Madya. Kalau SKA itu jadi dna sampai di tangan saya, dua-tiga hari kemudian saya harus berangkat ke sana. Kondisi ini menimbulkan suasana pikiran dan perasaan saya tidak menentu karena sampai 27 Agustus ini sama sekali tidak ada kabar penyelesaiannya sejak saya ajukan pada 19 Mei 2017.

Ada lagi, seperti biasa, setiap 17 Agustusan saya terlibat dalam kegiatan di RT kami. Di RT kami saya termasuk pengurus. Keterlibatan saya merupakan kewajiban setelah kesadaran diri sebagai warga RT yang menerima untuk dijadikan pengurus.

Jujur saja, saya pun membutuhkan uang untuk biaya hidup. Masa transisi yang sempat saya sebutkan merupakan upaya untuk memenuhi pembiayaan atas kebutuhan hidup. Saya seorang kepala rumah tangga, bukan lagi bujangan yang bisa seenaknya hidup antara makan dan tidak makan.  

Semua hal berkecamuk dalam diri saya. Saya yakin, rambut saya pun semakin rontok akibat situasi nyata dan pergulatan gagasan saya untuk mengikuti semua lomba dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Saya harus tenang. Saya harus tetap berada dalam fokus saya melakukan apa yang menjadi tujuan-tujuan saya.

Pada 14 Agustus saya membaca kabar bahwa puisi saya menjadi nominator ke-7 di Katulistiwa Award. Satu sisi, menjadi nomine merupakan suatu keberhasilan (prestasi) tersendiri, mengingat lomba itu diikuti oleh banyak penyair hebat. Sisi lainnya, saya gagal meraih hadiah antara Rp.1.000.000,00 s.d. Rp.3.000.000,00.

Ya, sudahlah. Cukuplah saya ambil sisi positifnya, yaitu nomine dalam ajang bergengsi tingkal nasional. Lalu saya menekuni apa yang harus saya lakukan, baik dalam kegiatan RT maupun menyelesaikan cerita anak yang sedang berproses pada naskah berjudul “Berlibur di Kebun”, disamping menunggu pengumuman hasil kompetisi di Kompasiana.

Nah, keempat, pada 17 Agustus 2017, pukul 18.00 WITA atau 17.00 WIB (Kompasiana menggunakan wilayah waktu WIB), di Kompasiana muncullah tema Sudah Berbuat Apa untuk Indonesia?. Tema itu terdapat dalam artikel even-nya Ambil Ancang-ancang, dan Inilah Tema Flashblogging #Kompasiana17an! (http://www.kompasiana.com/kompasiana/599565e604e331298f0f1a24/ambil-ancang-ancang-dan-inilah-tema-flashblogging-kompasiana17an).

Langsung saya buatkan naskahnya. Naskah lomba tercepat yang pernah saya buat, ya, Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia (http://www.kompasiana.com/gusnoy/belum-banyak-berbuat-apa-untuk-indonesia_59958564c9e1d635c8452f22). Maaf saja, fokus saya adalah hadiah kompetisi, yaitu Rp.1.000.000,00. Itu pun untuk 17 pemenang. Masuk dalam kategori 17, biarpun di peringkat 17, tetap sama nilai hadiahnya.

Sebenarnya, semula saya bingung, apakah saya akan menulis sebuah kritis terhadap situasi terkini supaya terlihat bahwa saya kritis ataukah apa lainnya yang kelihatan bermutu agar saya tidak malu sendiri jika tulisan saya dibaca oleh sekian banyak orang. Tetapi, ah, saya tidak menghiraukan “apa kata orang”. Saya mau menulis apa yang saya alami dan renungi sajalah. Terserah jika dinilai bagaimana oleh pembaca. Yang penting, semoga naskah saya bisa masuk di antara 17 naskah pemenang.

Pada 27 Agustus, sekitar pukul 20.00 WITA, saya membuka Kompasiana, dan menemukan berita mengenai hasil kompetisi, Inilah Para Jawara yang Menaklukkan #Kompasiana17an ! Naskah saya terhitung dalam naskah para jawara, bahkan berada pada peringkat I. Puji Tuhan!

Sungguh, di luar perkiraan jika menjadi jawara I. Apalagi tertulis, “Tim Kompasiana sangat tersentuh dengan daya juang peserta (baca: kepanikan), kisah pencapaian, curhatan, harapan, dan segala bentuk hadiah untuk Indonesia dari pribadi-pribadi yang tulus ikhlas. Karenanya, dari 99 artikel yang berpartisipasi, berikut kami umumkan 17 artikel yang paling berhasil menggetarkan sanubari admin.”

Itulah sebabnya pada alinea pembuka saya katakan, “Saya mau berbangga diri sebentar atas sebuah pencapaian yang baru satu kali dalam hidup saya.” Hal ini mengingatkan saya pada hasil Lomba Menulis Esai se-Kaltim & Kaltara 2016, yang saya pajang dengan judul Euforia Sang Juara I, Naifkah? (http://jps-indonesia.blogspot.co.id/2017/05/euforia-sang-juara-i-naifkah.html). Berbangga diri untuk suatu prestasi, wajar, ‘kan?

*******

Panggung Renung Balikpapan, 27 Agustus 2017

Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia *

Secara pribadi-perorangan, sungguh saya meminta maaf kepada Indonesia, saya belum banyak berbuat apa yang benar-benar berguna untuk Indonesia yang genap berusia 72 tahun ini. Jelas tidak perlu dibandingkan dengan pebulutangkis, atau juara tingkat dunia, yang bisa secara perorangan mengharumkan nama Indonesia.

Saya pun tidak bisa mengaku-aku (mengklaim) secara pribadi-perorangan bahwa apa yang telah saya perbuat merupakan sesuatu yang sangat berguna untuk Indonesia. Misalnya, dulu atau hingga kini, ikut pawai, upacara bendera, baris-berbaris, aktif dalam kepanitian, dan seterusnya dalam rangka peringatan dan perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia. Semua itu merupakan suatu kerja tim, bukanlah perorangan (individual) alias peran mutlak “seseorang”.

Kalaupun saya secara pribadi boleh sedikit berbangga diri untuk Indonesia, ya, mungkin tidaklah seberapa luar biasa bagi orang-orang yang telah berbuat banyak untuk kemajuan dan kibaran nama Indonesia. Misalnya, satu artikel saya mengenai arsitektur kolonial yang kemudian objeknya termonumentasi menjadi museum di Bangka Barat, dan mendapat apresiasi (berupa ucapan) dari Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia Ahmad Djuhara. Sedikit bangga saja karena keputusan menjadi wujud monumental merupakan kewenangan pihak terkait.

Misal lainnya, artikel-artikel mengenai HAKI, sastra di Kalimantan Timur, dan lain-lain. Atau, mungkin, karya sastra yang saya buat dengan ketekunan mengangkat lokalitas sekaligus ketat dalam tata bahasa Indonesia. Kesemuanya, saya sadari, hanyalah “sedikit berbangga diri”. Barangkali semua itu bersifat semu bagi khalayak Indonesia.

Saya selalu berusaha menyadari diri saya dalam lingkup realitas Indonesia yang sedang merayakan Ulang Tahun ke-72 ini, bahkan pasti kesadaran paling hakiki secara pribadi untuk ulang tahun selanjutnya. Sesekali saya membaca lagi buku “Manusia Indonesia”-nya Mochtar Lubis (2001. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia) dari naskah pidatonya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 6 April 1977.

Dalam Kata Pengantar buku itu Jacob Oetama menulis, “Dalam isi buku, dapatlah disumpulkan yang dimaksudkan oleh Mochtar Lubis sebagai menusia Indonesia, manusia Indonesia seperti yang distereotipkan.” Ada enam sifat disebut dan dipaparkan, yaitu 1. Munafik atau hipokrit; 2. Enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya; 3. Bersikap dan berperilaku feodal; 4. Percaya takhyul; 5. Artistik, berbakat seni; 6. Lemah watak atau karakternya.

Buku itu sungguh cukup menjadi bagian dalam penyadaran diri saya sendiri. Dengan kesadaran diri tingkat mikro-internal pribadi, saya bisa melihat dinamika Indonesia secara mawas diri. Secara mawas diri yang bagaimana?

Begini misalnya. Dalam hal mengkritisi situasi sosial-politik. Sebagai mantan aktivis pers mahasisa, kepekaan sosial berlandaskan kecerdasan sosial menjadi salah satu modal penting dalam upaya mengkritisi situasi dan perjalanan hidup Indonesia, baik skala lokal-regional maupun nasional. Apa yang disampaikan oleh pelbagai media tidaklah patut saya serta-mertakan sebagai suatu kebenaran mutlak (harga mati). Pemvonisan atau penghakiman bisa terjadi, bahkan justru memalukan-memilukan diri sendiri, apabila saya tidak memberi peluang kepada kemungkinan yang terbaik pada suatu situasi selanjutnya.

Misalnya lagi, keaktifan saya dalam kegiatan sosial, baik di sekitar rumah (RT), profesi (pergaulan sesama arsitek), dan hobi (pergaulan dengan para seniman), selalu saya kelola dengan perenungan dan kesadaran sebagai individu dan makhluk sosial dalam tatanan pergaulan Indonesia. Saya memang memilih untuk tidak terlibat dalam politik praktis (simpatisan ataupun kader suatu partai) tetapi belum tentu orang lain memilih sikap seperti saya. 

Satu-satunya pertanyaan dalam pergumulan saya setelah “menyendiri”, apakah saya benar-benar sudah berbuat hal-hal yang berguna bagi semua kegiatan sosial itu. Jangan sampai saya “hanya merasa”, justru orang lain yang benar-benar sudah berbuat apa-apa yang berguna bagi semua.

Tidak sedikit orang terdekat saya menyarankan, jangan terlalu sering memaksa diri menjadi sempurna (perfeksionis) dan ideal (idealis). Sebab, alasan mereka, belum tentu saya sendiri sudah sempurna dan ideal dalam berpikir-bersikap, baik sendiri maupun bersama orang lain. Begitu pula dalam hidup bersama sebagai warga RT, penduduk Kaltim, dan warga negara, yang masih menyisakan satu hal lagi untuk benar-benar saya pahami dan hayati, yaitu kompromi. Kompromi, kata mereka, adalah memberi peluang kepada kemungkinan, bahkan pembelajaran bagi diri sendiri pula.

Saran tersebut secara nyata saya wujudkan ketika sering menjadi bagian dalam kepanitiaan 17 Agustusan di wilayah RT kami, termasuk mengurusi pengelolaan anggaran. Setiap rupiah yang masuk dan keluar harus saya kelola dan catat. Tidak lupa, semua nota belanja saya kumpulkan, dan lampirkan secara lengkap dalam laporan pertanggungjawaban yang bisa dibaca atau dievaluasi oleh warga atau ketua RT selanjutnya. Saya harus berkompromi ketika ada satu-dua warga yang mengkritisi isi laporan itu karena ada kemungkinan justru saya sendiri yang teledor atau kurang teliti.  
Saran juga berlaku dalam kegiatan bersama di RT kami yang berlatar aneka SARA itu. Setiap anggota memiliki kelebihan-kekurangan, termasuk diri saya, yang belum tentu telah berbuat hal-hal yang sempurna-ideal bagi sesama anggota. Bukanlah kesempurnaan-idealisme saya yang utama, melainkan kebersamaan mewujudkan hingga menyukseskan kegiatan itu.

Kalaupun saya “merasa” sempurna, atau menurut beberapa rekan saya telah berbuat “sempurna-ideal”, justru bisa “batal” apabila saya tergelincir dalam “penghakiman” terhadap rekan lainnya. Atau juga ketika menyaksikan situasi perayaan 17 Agustusan, saya masih berpeluang dalam “ketergelinciran” yang cenderung “menggugurkan” nilai-nilai yang semula saya anggap diri saya “sempurna-ideal”.

Ya, saya selalu mengikutkan kata “kompromi” untuk suatu proses, baik proses menjadi diri sendiri maupun menjadi warga negara Indonesia secara bersama. Dalam proses tidaklah semuanya sempurna-ideal, apalagi ketika berada dalam kebersamaan. Kekurangan, keteledoran, kecerobohan, perbaikan, dan seterusnya menjadi bagian penting dalam kata “kompromi”.

Demikian pula untuk lingkup luas bernama Indonesia. Keaktifan saya dalam kegiatan RT, mungkin,  sudah bagus sebagai wujud kesadaran makhluk sosial yang tetap “membumi” dalam suatu wilayah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ya, mungkin. Mungkin ini versi saya pribadi, yang sama sekali tidak mendapat rekomendasi apalagi apresiasi dari ketua RT kami.

Oleh sebab itu, seperti yang tertulis pada awal tadi, dan sekali lagi, sungguh saya meminta maaf kepada Indonesia, saya belum banyak berbuat apa yang benar-benar berguna untuk Indonesia yang genap berusia 72 tahun ini. Saya akan terus berusaha berbuat apa pun semampu saya sekaligus berguna untuk Indonesia.

Dan, dengan kesadaran diri sepenuhnya saya mengucapkan selamat sekaligus salut kepada setiap warga negara Indonesia yang telah terbukti mampu mewujudkan perbuatan apa pun yang berguna bagi Indonesia raya. Saya pun selalu optimis untuk kemajuan Indonesia yang dikelola oleh orang-orang yang masih beritikad baik dalam visi bersama berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Selamat Ulang Tahun ke-72, Indonesia kita tercinta!


*******

*) Peringkat 1 Kompetisi Menulis 17 Agustusan (Flashblogging #Kompasiana17an) di Kompasiana. Kompetisi ini berdurasi 3 jam saja (17.00-20.00) dengan tema mendadak (pukul 17.00 baru muncul temanya).

=============================================
Inilah Para Jawara yang Menaklukkan #Kompasiana17an !
27 Agustus 2017   13:20 Diperbarui: 27 Agustus 2017   13:24  234  2 5

Jadi bagaimana, Bung dan Nona? Masih ingatkah sensasi gemetarnya seluruh tubuh ini ketika bergerilya mengikuti lomba #Kompasiana17an?

Terima kasih telah bersedia mengetik artikel dalam tempo sesingkat-singkatnya. Kita mungkin belum bisa menyamai keteguhan hati Sayuti Melik, mesin ketik pinjamannya, dan suasana menjelang proklamasi yang demikian mencekam. Tetapi toh semangat peserta lomba kali ini tidak kalah hebatnya. Tim Kompasiana sangat tersentuh dengan daya juang peserta (baca: kepanikan), kisah pencapaian, curhatan, harapan, dan segala bentuk hadiah untuk Indonesia dari pribadi-pribadi yang tulus ikhlas.

Karenanya, dari 99 artikel yang berpartisipasi, berikut kami umumkan 17 artikel yang paling berhasil menggetarkan sanubari admin sehingga layak mendapat gelar juara:
3. Berbagi Hati di Pelosok Negeri oleh Wahyu Pramudya
6. Aku Hanyalah Seorang Guru oleh Thurneysen Simanjuntak
15. Memilih Energi Matahari sebagai Solusi oleh Edi Winarno AS
17. Bicara Soal Integritas oleh Pringadi Abdi Surya

Ya, selamat untuk para pemenang. Ambil sepedanya, sana....

Enggak ding. Semua pemenang di atas, masing-masing berhak untuk mendapatkan uang tunai senilai Rp 1 juta. Seperti biasa, hadiah akan tiba dengan selamat di rekening Anda setelah 45 hari kerja. Mohon sabar, ini ujian. Tetaplah menjunjung semangat 45 selama 45 hari kerja!

Konfirmasikan kemenangan Anda dengan mengirim data diri ke kompasiana@kompasian.com dengan subjek: Pemenang Flashblogging #Kompasiana17an, dengan menyertakan:

Nama lengkap
Alamat
URL Kompasiana
Nomor HP aktif
Scan/foto KTP
Scan/foto NPWP
Scan/foto halaman depan buku tabungan

Pemenang Instagramnya mana, kakak?

Selain flashblogging, Tim Kompasiana juga mengapresiasi ekspresi kemerdekaan anak muda yang tercermin dari foto dan video di Instagram yang berkwalitet. Teknik penyuntingan video rekan-rekan muda ini pun ciamik punya, padahal semua pesertanya masih sangat muda! Tiba-tiba terkenang ketika admin di umur segitu. Boro-boro edit video, sukses bikin presentasi pakai animasi gerak-gerak aja sudah jingkrak-jingkrak.

Dan inilah 8 pemenang kompetisi Instagram #Kompasiana17an:

Selamat kepada para pemenang! Masing-masing mendapat hadiah Rp 500.000, lumayan buat jajan.
Nah, hadiahnya akan dikirim ke rekening teman-teman ya. Terlebih dahulu, silakan konfirmasikan kemenangan kamu ke email kompasiana@kompasiana.com dengan subjek: Pemenang Instagram #Kompasiana17an, dengan menyertakan:

Nama lengkap
Alamat rumah
Nomor HP aktif
Alamat email
Foto/scan kartu pelajar
Foto halaman depan buku tabungan

Proses pencairan dananya juga membutuhkan 45 hari kerja terhitung sejak kamu mengumpulkan data. Jika ada pertanyaan mengenai cara pencairan dana ini silakan kontak kami di kompasiana@kompasiana.com atau melalui pesan Instagram @kompasianacom.

Buat teman-teman pelajar yang belum menang, jangan berkecil hati ya! Sesungguhnya foto dan video yang masuk ke Instagram Kompasiana banyak sekali, tetapi banyak juga yang luput mengikuti syarat dan ketentuan Kompasiana untuk menyebutkan (mention) minimal 3 orang teman. Coba lagi lain kali ya! Niscaya, kekalahan ini adalah awal menjadi pribadi muda yang lebih teliti demi Indonesia yang lebih tertib! Tsah....

Akhirnya, Kompasiana mengucapkan terima kasih kepada Kompasianer dan orang muda yang ikut memeriahkan #Kompasiana17an (membungkuk dalam-dalam). Semoga hati kita pun terus meriah demi mewarnai perjalanan bangsa ini. Sampai jumpa di perjuangan selanjutnya dan tetaplah menginspirasi!

(WID)

Sumber : http://www.kompasiana.com/kompasiana/599f4a871ceeef5590198ba2/inilah-para-jawara-yang-menaklukkan-kompasiana17an

=========================================
Ambil Ancang-ancang, dan Inilah Tema Flashblogging #Kompasiana17an!
17 Agustus 2017 09:46:14 0

Cek satoe, doea, satoe....

Wahai Boeng dan Nona! Sudahkah kalian melemaskan jadi? Sudahkah kalian membingkar koleksi foto dan mengumpulkan memori untuk kemudian dituangkan dalam sebuah mahakarya nan abadi, dahsyat, fenomenal, dan menyentuh khalayak ramai laksana pidato yang berkobar-kobar di Pelataran Lapangan Ikada, yang setiap diksinya tajam menggetarkan sanubari insan yang terdegil sekali pun!

Ehem (minum dulu). Selamat datang pada lomba lomba flashblogging Kompasiana spesial HUT ke-72 RI! Seperti yang kami jelaskan sebelumnya, pada tanggal 17 Agustus ini kami mengundang semua Kompasianer, tanpa kecuali, untuk mengikuti lomba flashblogging yang akan berlangsung selama tiga jam saja, yakni pada pukul 17.00 - 20.00 WIB. Dan tema rahasia yang menjadi pemersatu kita kali ini adalah:

Sudah Berbuat Apa untuk Indonesia?

Syarat dan ketentuan:
Lomba dapat diikuti oleh siapa saja (tidak terbatas usia, jenis kelamin, agama, suku, ras, dan preferensi politik), asal sudah mendaftar di Kompasiana
Tulsian orisinal dan tidak sedang dilombakan di tempat lain
Tulisan tidak melanggar Tata tertib Kompasiana
Panjang tulisan tidak lebih dari 1000 kata

Mekanisme

Tema lomba: Sudah Berbuat Apa untuk Indonesia
Tulisan berupa pengalaman atau opini
Boleh mengirimkan lebih dari 1 tulisan
Lomba dimulai pada tanggal ini, 17 Agustus 2017, tepat pukul 17.00 dan selesai 20.00 WIB
Peserta menggunakan tombol "Mulai Tulis" yang ada pada halaman event ini atau menulis seperti biasa
Pastikan Anda menyertakan label Kompasiana17an pada setiap artikel

Tersedia Rp 17 juta untuk 17 pemenang
Pemenang diumumkan setelah 7 hari kerja

Buatlah artikel semenarik mungkin, Boeng dan Nona. Pasalnya oara pahlawan yang telah gugur mendahului kita akan bangga anak-anaknya mencipta banyak karya!

Selamat berkompetisi, selamat berjuang, jangan panik dan tetap ceria!

(WID)

Sumber : http://event.kompasiana.com/kompasiana/599565e604e331298f0f1a24/ambil-ancang-ancang-dan-inilah-tema-flashblogging-kompasiana17an

=====================================
Pengumuman I untuk Even Kompetisinya :

Koempoel Semoea, Boeng & Nona ! Kita Lomba 17-an di Kompasiana!
14 Agustus 2017   17:11 Diperbarui: 14 Agustus 2017   19:33  

Sebentar lagi rakyat Indonesia akan menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-72. Setiap sudut Indonesia akan diwarnai kemeriahan menyambut perayaan hari kemerdekaan. Dan kali ini, kami mengundang Kompasianer untuk turut memeriahkan HUT RI dengan mengikuti kompetisi flashblogging dan Instagram.

Biar terasa seperti lomba balap karung yang garis start dan finish-nya pendek (kalau jauh, namanya maraton), maka kali ini kompetisinya hanya akan berlangsung hanya dalam waktu satu hari. Flashblogging akan diadakan tepat pada tanggal 17 Agustus 2017, dimulai pukul 17.00 hingga 20.00 WIB. Dan temanya pun kejutan, baru akan diumumkan pada 10 menit menjelang pukul 17.00 WIB.

Sementara, kompetisi Instagram akan berlangsung seharian pada tanggal 17 Agustus 2017, mulai pukul 00.00 - 23.59 WIB.

Kira-kira gimana nih, lombanya? Yah, bolehlah dikasih bocoran sedikit biar tambah deg-degan:

FLASSHBLOGGING
Ketentuan:
Artikel ditulis di Kompasiana, bersifat orisinal, tidak lebih dari 1500 kata, dan tidak melanggar Tata Tertib Kompasiana.
Tulisan dibuat melalui fitur khusus flashbologging (silakan klik tombol Nulis pada laman khusus lomba dan menyertakan label #Kompasiana17an
Periode flashblogging: 17 Agustus 2017, pukul 17.00 - 20.00 WIB
Tema akan diberitahukan menjelang pukul 17.00 WIB di tanggal 17 Agustus 2017
Hadiah: Rp 17.000.000 untuk 17 orang pemenang

INSTAGRAM COMPETITION
Uhuk. Mohon maaf buat yang tak lagi berseragam sekolah. Karena ini kompetisi buat teman-teman kita yang bersekolah di SMP & SMA (atau sederajat). Nah kalau yang ini, temanya sudah ada, nih: "Ekspresi Kemerdekaan Anak Muda". Tinggal ambil ancang-ancang untuk ikut kompetisinya di tanggal 17 Agustus 2017.

Kamu bisa ikutan dengan menggunggah karya kamu (foto atau video) di Instagram. Buat sekreatif mungkin ya! Syarat dan ketentuannya langsung melipir ke Instagram Kompasiana ya rakyatque....



Kami toenggoe partisipasimoe, pejoeang karja!

(BOY/WID)





Kamis, 17 Agustus 2017

Undangan dari Walikota Balikpapan M. Rizal Effendi, S.E.


Saya tidak hadir karena baru buka posel sayagusnoy@yahoo.com pada 17 Agustus malam. Undangan sampai di posel pada 15 Agustus.

Ya, sesekali mendapat undangan bertanda tangan walikota begini sebagai suatu apresiasi, yang entah apa itu.

Selasa, 15 Agustus 2017

Membuat Puisi itu Mudah dan Susah

Membuat puisi itu mudah kalau hanya untuk dinikmati sendiri, lalu dibacakan pada acara-acara pentas baca puisi. Membuat puisi itu mudah kalau hanya berdasarkan suasana hati, apalagi ketika sakit hati.

Lebih lagi ketika pemahaman puisi sekadar tarian kata-kata dalam baris dan bait dengan kaidah-kaidah umum melalui rima, dan diksi-diksi penuh “keindahan”. Ya, biasanya begitulah yang terbaca pada sebagian puisi.

Paling mudah berpuisi adalah ketika suasana hati sangat mendukung, misalnya jatuh cinta, patah hati, kecewa, cemburu, marah, dan segala yang bersumber dari gelora suasana hati (emosional). Dalam suasana tersebut puisi bisa tercipta dalam jumlah berlimpah ruah.

Tetapi tidaklah demikian ketika membuat puisi untuk suatu pertarungan. Dalam suatu pertarungan karya, tema tertentu sangat terasa batasannya. Ditambah mengenai suatu daerah yang jauh, yang sama sekali belum pernah dikunjungi, apalagi diikuti oleh para penyair berkaliber nasional, dan semua melalui tahap penjurian.

Puisi, dalam suatu pertarungan bertema tertentu, bukanlah sekadar sebuah kata-kata curahan isi hati. Puisi bermutu, kata para penyair hebat, harus melalui tahap riset (pencarian data), kerangka karangan, dan kontempelasi (perenungan). Sebab, puisi adalah suatu karya serius, jika memang dimaksudkan untuk mutu serius.

Itulah sebabnya puisi merupakan hak cipta yang tergabung dalam Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), bukannya Hak Atas Kekayaan Emosional (HAKE) yang memang tidak ada dalam undang-undang.

Mengikuti pertarungan puisi bertema tertentu yang diselenggarakan oleh suatu komunitas atau lembaga kesenian yang mumpuni sangatlah penting untuk menguji kemampuan menciptakan puisi. Pertarungan merupakan ujian non-formal, dan kreativitas menjadi pertaruhan yang serius.

Semakin sering mengikuti pertarungan, semakin bisa mengenal nama-nama penyair yang petarung itu. Penyair-penyair yang petarung handal selalu mengelola kemahiran dan wawasan karena dalam pertarungan pula nama mereka dipertaruhkan di hadapan banyak orang, meskipun melalui pengumuman hasilnya di media sosial.

*******
Panggung Renung Balikpapan, 2017

Senin, 14 Agustus 2017

Puisiku "Selembar Daun Sahang Mencari Serambut Akar"*

dengan selembar daun sahang --- bukan taijab saijab merapin cerungkup --- kebun belakang rumah bubung panjang sepintu sedulang aku menyeberang selat

aku sekadar pengelana
sejenak singgah hanya menanya
demikian kugemakan dada

di sang bumi ruwa jurai tidaklah kupinta liukan sembah dan sigeh pengunten di lamban baginda sebab jabat baginda seketika jadi jembatan tanyaku menggema tidak sempat menyapa nuwu anjung mahan dan masih banyak atap berselimut kepulan aroma sahang cengkeh 

di klutum jati lepau aku bersila bersama baginda berkain tapis dan sirih pinang ditengahi secangkir robusta hasil kebun baginda dan sepiring engkak selimpok geguduh hangat tanpa perlu mengerti isi panggakh lapang lom bilik kebik tebelayakh sekhudu dapokh nasihat cambai urai ti usung dilom adat pusako

dengan selembar daun sahang hendak kucari akar hayat batangnya telah merambat menjangkau kebun belakang rumah bubung panjang butirannya memutih --- menghitam di pelataran baginda -- sampai pantai permai tegar melawan hantam badai moneter

apalah selembar daun tanpa mendedah setiap serat urat sebab padanya tertulis risalah berlembar-lembar hendak baginda kisahkan selagi aku sejenak bersila dalam dampak robusta geguduh

tiadalah gajah tanpa gading
tiadalah gading tanpa retak
demikian baginda membuka paham 

pada mula baginda berdiri memegang payung jurai emas di anjak lambung semilir semerbak harum butir-butir sahang sedang dipanggang matahari bersepoi aroma cengkeh kopi robusta menyebar ke bukit barisan selatan dan way kambas berarak awan membedaki gunung pesagi

lembar-lembar abad adalah warahan tentang perziarahan dari tambo dan dalung di kenali batu brak sukau pada sekala brak berbuay tumi berbelasa kepampang di belalau mengalir ke segala way sebelum sriwijaya melumat laut samudera raya sampai kelak terpesona emas dan damar berpatok palas pasemah batu bedil dengan tolang pohwang dalam cadel naga

selembar daun sahang kubolak-balik
adakah yang terlewatkan pada uratnya
demikian seruput robusta menyimak baginda

empat umpu pagaruyung dan putri bulan memenangkan sekerumong membongkar tanah belalau sekala brak mengibarkan panji paksi pak berempat kebuwayan seketika sisa buay tumi berai ke utara selatan hingga pesisir krui berbuay pidada bandar laai way sindi langsung tersapu deru derap lemia ralang pantang dan lima punggawa

belasa kepampang ditebang jadi pepadun untuk saibatin raja-raja paksi pak beraksara had mengelupas kaganga para puyang berabad-abad terlipat-lipat syahdan banten mengendus semerbak harum sahang di pelabuhan sebagai jalan raya nusantara juga ziarah siar kalbu

semerbak harum sahang tidak luput dari kapal-kapal berhidung mancung putih arung laut samudera berkarung gulden beremah salju diganti hangat sahang menjadi panas cengkeraman kuku-kuku singa semakin sengit perebutan pertarungan

hangatnya sahang panasnya pertarungan menggelegarkan krakatau 10.000 kali bom atom hiroshima nagasaki menggetarkan lingkaran 4.600 kilometer menggelapkan wajah bumi menggampar wajah bulan --- putri bulan tidak lagi menggemaskan  

luluh lantak berdandan ziarah kolonisten ke bagelen gedong tataan  sukadana kota agung mengayakan rupa-rupa pada wajah-wajah sang bumi ruwa jurai dengan ruang-ruang berporsi-porsi sampai terangkat tekhapang badik payan candung membegal kapal-kapal hidung mancung putih menancap tonggak merah putih bersayap garuda

baginda menghela sesak ziarah menarik kesegaran melanjutkan perziarahan dengan pancaran hijau coklat biru putih  kuning melalui serat urat selembar daun sahang di persilaanku terpampang wajah-wajah pesawaran metro pringsewu tanggamus batanghari tulangbawang dari semenanjung selatan bertunas-tunas beton pada 15 halamannya bertugu radin intan menara siger adipura pengantin beriring cangget dalam kalender-kalender meski setiap menara adalah gading dan tiada gading tiada retak

dengan serat urat selembar daun sahang syahdan baginda membentang wajah-wajah pukauan dari purawiwitan bawang bakung pugung raharjo tulang bawang wan abdul rahman karanganyar bumi kedaton gita persada tanjung bintang menara siger batu tegi terjun ke putri malu curup tujuh sinar tiga way lalaan lembah pelangi tujuh linggapura gangsa kota batu turun ke wana melinting batu brak enggal mengalir ke ranau way belerang way jepara menuju labuhan maringgai tanjung tuha pasir putih kilauan tanjung setia sari ringgung kalianda klara mutun gigi hiu mandiri walur duta wisata kuala kambas embe merak belantung wartawan menyeberang ke pahawang tanjung putus tegal maitem condong laguna dodo sebuku kubur balak lok lunik mengkudu sekepel tangkil batu naga krakatau berliuk pula riang bendana

sungguhlah pukau sangatlah silau
tiada halau seluruh jangkau pantau
demikian penuh dalam pandangku

di klutum jati aku terpaku suguhan kisah baginda meski masihlah tersimpan keelokan garis-garis samar peta baru sepenjuru mata angin dari sisa urat selembar daun sahang

*******
Panggung Renung Balikpapan, 2017

*) Puisi ini masuk nominasi (no.7 atau 10 besar) dalam Lomba Cipta Puisi Krakatau Award 2017

Puisiku Masuk Nomine dalam Lomba Cipta Puisi Krakatau Award 2017

Puisiku "Selembar Daun Sahang Mencari Serambut Akar" hanya mampu menembus posisi nominator dalam Lomba Cipta Puisi Krakatau Award 2017.  Posisinya pada nomor 7.

Walau begitu aku cukup senang karena lomba cipta puisi kali ini terbilang akbar dalam sejarah lomba cipta puisi nasional karena menyuguhkan hadiah sangat menggiurkan bagi banyak penyair. Juara I mendapat Rp.3.000.000,00, Juara II mendapat Rp.2.000.000,00, dan Juara III mendapat Rp.1.000.000,00. Masing-masing juara ditambah tiket+akomodasi dari Jakarta ke Lampung.

Tidak tanggung-tanggung, peserta berjumlah 366 orang dari seluruh Indonesia. Berada pada nomor urut 7 alias 10 besar, dan tergabung dalam buku antologinya, sudah senanglah aku. Sejarah bagiku sendiri, selain puisi tersebut merupakan puisi terpanjang yang pernah kubuat.

*******

Baca :
1. http://inilampung.com/puisi-hikayat-buang-tondjam-juara-pertama-krakatau-award-2017/
2. https://www.teraslampung.com/ini-47-judul-puisi-nomine-pemenang-lomba-cipta-puisi-krakatau-award-2017/

*******

Dari status Fb Udo Z. Karzi, 14 Agustus 2017:

SELAMAT, SELAMAT kepada Rahmad SalehAlex R. NainggolanRahmat Sudirman, dan 47 nominasi yang berjaya dalam Krakatau Award 2017.
https://www.teraslampung.com/rahmad-saleh-menangi-lomba-ci…/
Berikut Pemenang dan Nominasi Krakatau Award 2017 selengkapnya:
Juara I: Hikayat Buang Tondjam” karya Rahmad Saleh (Bandar Lampung)
Juara II: Pantai Mutun karya Alexander Robert Nainggolan (Tangerang, Banten)
Juara III: Ihwal Secangkir Negeri karya Rahmat Sudirman (Kalianda, Lampung Selatan)
47 karya puisi Nominasi:
1. Hikayat di Tulang Bawang, Muhammad Daffa (Banjar Baru)
2. Lampung Sang Bumi Ruwa Jurai, Benekditus Agung (Yogyakarta)
3. Cuaca Jernih dan Kawan Berdatangan, Joko Setyo Nugroho (Lampung Timur)
4. Senja di Teluk, I Nyoman Sukaya (Bali)
5. Yang Kuingat Hanya Lampung si Jelita, Drs. Ahmad Anuf Chafiddi (Surabaya)
6. Sekura di Mataku, Neni Yulianti (Kota Cirebon)
7. Selembar Daun Sahang Mencari Serambut Akar, Agustinus Wahjono (Balikpapan)
8. Bakauheni, Kaki Krakatau, dan Seribu Kenangan Tentangmu, CHR Eti Hemawati (Semarang)
9. Mengepal Kenang, Bambang Widiatmoko (Bekasi)
10. Dalam Ketinggian Musim Krakatau, Budi Saputra (Padang)
11. Di Tanjung Bintang Saat Senyum dan Rindu Menjadi Sekeras Batu, Rusdi (Kebumen)
12. Kampung Halaman, Kata Pelengkap Sajak, Marsten L. Tarigan (Searang)
13. Kenang-kenang di Pulau Pisang: Yang Lampau Yang Sekarang, Prahayanti Ainia (Depok)
14. Berkelana ke Negeri Lampung, Arif Hukmi (Bombana, Sulawesi Tenggara)
15. Nak (Sagata yang Gagal Tercipta), M. Insyafani (Way Kanan)
16. Lelaki Sekura, Riduan Hamsyah (Banten)
17. Ziarah Sunyi: Kepada Dayang Rindu, Adam Yudhistira (Muara Enim, Sumsel)
18. Kapa yang Berlari dari Laut, Yana Risdiana (Bandung)
19. Kaldera Tua: Ketika Aku Jatuh, Elok Teja Suminar (Bandar Lampung)
20. Mozaik Lampung, Zakiyah Azzahra (Abung Selatan)
21. Sigeh Penguten, Robi Akbar (Bandar Lampung)
22. Di Pelabuhan Bakauheni Sayang Impian-Harapan Mengalir Tiada Henti, Akhmad Sekhu (Tegal)
23. Sekura Kamak, Vebri Yana (Lampung Barat)
24. Sebelas Gajah di Puncak Pesagi, Djuhardi Basri (Kotabumi)
25. Tamasya Keluarga dan Sedikit Catatan Lampung dalam Protret Pembangunan, Nanang R. Supriyatin (Jakarta)
26. S(u)atu Waktu – Tersesat di Bandar Ulun, Alek Brawijaya (Muba, Sumsel)
27. Di Pugung Raharjo, Dadang Ari Murtono (Mojokerto, Jawa Tiur)
28. Sejuta Rindu untuk Lampung, Thamrin Effendi (Kotabumi)
29. Mutiara-Mutiara di Tanah Lampung, Nurlaela Isnawati (Kebumen)
30. Di Teluk Kiluan Aku Bersaksi, Nurul Muslimin (Yogyakarta)
31. Diorama Gerbang Andalas, Sami’an (Jember)
32. Malam di Selat Sunda, Syarifuddin Arifin (Padang)
33. Surat untuk Bakauheni, Seruni Tri Padmini (Solo)
34. Pulau Kubur, M Ibrahim MH (Yogyakarta)
35. Way Linti dan Upacara Pengantin Lampung, Heru Mulyadi (Banjarnegara)
36. Pada Kain Tapismu Tumbuh Pohon Hayat, Wayan Jengki Sunarta (Bali)
37. Janin Batu, Endang Supriadi (Depok)
38. Tahiyatul Lampung, Ahmad Musabbih (Tegal)
39. Kidung Pulau Sebuku, Nuwail (Sumenep)
40. Gelombang Kejut, Edi Supranoto (Banyumas)
41. Tamasya Sebatang Roh di Kedalaman Rahim Lampung, Ahmad Ijazi Hasbullah (Pekanbaru)
42. Nama-nama Benda dalam Searah Percakapan Makan Malam, Fina Lanahdiana (Kendal)
43. Ketika Perahu dan Pantai Jadi Satu, Ikal Hidayat Noor (Tuban)
44. Narasi Sebiji Kopi, Anton Kurniawan (Lampung Utara)
45. Di Teluk Kiluan dan Isyarat-isyarat yang Samar, Budhi Setyawan (Bekasi)
46. Persaksian Tanah Tanjung—tanah lampung, Khalili (Madura)
47. Belantara Gagah Rajabasa, Abizar Purama (Gresik)
Bandar Lampung, 14 Agustus 2017

Dewan Juri
Ari Pahala Hutabarat
Isbedy Stiawan ZS
Syaiful Irba Tanpaka