Semula saya ragu
untuk menanggapi “tantangan serius” melalui Sayembara Penulisan Cerita Anak se-Kalimantan
Timur dan Kalimantan Utara 2017 yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi
Kalimantan Timur pada Mei-Agustus 2017. “Tantangan” itu saya baca di beranda
media sosial Amien Wangsitalaja dengan tulisan “sila” pada 26 Mei 2017.
Yang paling
menggoda adalah nilai hadiahnya. Juara I, Rp. 12.000.000,00. Juara II, Rp. 10.000.000,00.
Juara III, Rp. 8.000.000,00. Juara IV, Rp. 6.000.000,00. Juara V, Rp. 4.000.000,00.
Juara VI-XV, @Rp. 1.000.000,00. Bisa juara I, alangkah sedapnya!
Untuk lomba menulis
di Kaltim, saya pernah mencobanya. Satu kali pada 2016 atau tahun lalu. Lomba
Menulis Esai se-Kaltim & Kaltara. Kebetulan saya meraih peringkat I, dan
diganjar hadiah berupa uang Rp.3.000.000,00.
Saya pikir, dengan
modal percaya diri akibat raihan lomba esai tahun lalu, saya bisa mencoba optimis
untuk ikut sayembara kali ini. Tetapi sayembara kali ini bukanlah esai, atau
cerpen yang biasa saya buat, melainkan cerita anak. Terlebih ketika saya
membaca lagi isi pengumuman sayembara tersebut, percaya diri dan optimisme
berangsur menjadi keraguan pada diri saya.
Mengapa saya ragu?
Pertama, saya sama sekali belum pernah membuat sebuah cerita anak. Kalau saya
pernah membuat cerpen semacam dunia anak-anak berjudul “Anak Ayam” (2002),
sebenarnya tidaklah saya sebutkan kisaran umur dan pendidikannya. Itu pun
bermula dari kisah seorang kawan, yang kemudian saya olah sesuai dengan versi
saya.
Kedua, batasan (kriteria) dalam sayembara atau lomba umumnya. Pada “Ketentuan
Umum” dalam sayembara tersebut tertera “Bacaan ditujukan pada pembaca berusia
10-12 tahun” (poin ke-2), dan “Isi bacaan memiliki kekuatan dan pesan tentang
sikap hidup dalam keluarga dan lingkungan sekitar” (poin ke-4).
Saya menghitung
umur 10-12 tahun itu adalah anak-anak yang berpendidikan Kelas IV s.d. Kelas VI
SD. Saya tidak tahu, pada umumnya anak-anak seusia itu menyukai cerita apa.
Pada usia itu saya tidak suka membaca tulisan tetapi gambar (komik) dengan
sedikit tulisan.
Ketiga, batasan secara khusus. Pada “Ketentuan Khusus” tertera “Tema : lanskap
kehidupan anak-anak Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara (pedesaan atau
perkotaan)” (poin ke-1).
Saya tidak terlalu
sering bergaul dengan anak-anak di Kalimantan Timur, tepatnya Balikpapan. Latar
masa kecil saya jauh dari Kalimantan, yaitu Bangka atau tepatnya Kampung Sri
Pemandang Atas. Sementara lingkungan saya di Balikpapan sangat berbeda dengan
Sungailiat. Ditambah, perbedaan budaya dan zaman yang kontras.
Keempat, batasan secara khusus berikutnya. Pada poin ke-3 tertera “Jumlah
halaman isi 30-40 lembar halaman (tidak termasuk halaman perancis)”, dan poin
ke-5 tertera “Spasi 1,5”. Sementara mengenai ukuran huruf dan kertas, saya
anggap, standart saja.
30-40 lembar dengan
spasi 1,5, bagi saya, bukanlah sedikit seperti cerpen “Anak Ayam”. Dengan latar
tempat, waktu, budaya, dan usia saja sudah cukup membuat saya ragu untuk menanggapi
“tantangan serius” ini, malah dikhususkan lagi “30-40 lembar dengan spasi 1,5”.
Nah, ketika membaca
pengumuman sayembara dengan segala batasan (kriteria atau ketentuan), saya
belum tertarik untuk menanggapi pajangan Amien Wangsitalaja mengenai sayembara
tersebut sejak 26 Mei. Saya justru ragu, apakah saya mampu menanggapi “tantangan
serius” tersebut sehingga sampai akhir Juli (2 bulan) saya belum menyelesaikan
satu cerita pun.
Di luar “tantangan”
itu, saya pun sedang menyiapkan diri untuk suatu pekerjaan di bidang arsitektur
di luar Kalimantan karena krisis ekonomi masih sangat terasa di wilayah Kaltim.
Tentu saja karena sesuai dengan latar saya sebagai arsitek dengan pengalaman di
meja kerja dan langsung terjun di lokasi (lapangan). Pekerjaan saya, sudah
pasti, selalu menyuguhkan “tantangan” baru.
Bagi saya, proyek
atau obyek baru selalu memiliki keunikan atau “tantangan” baru, baik mengenai
tempat, kondisi tempat, aturan, permintaan, kriteria, maupun bekerja sama
dengan orang atau suatu perusahaan yang baru. Saya pun masih terfokus pada
bidang saya sendiri.
Dengan segala
pertimbangan, keraguan saya semakin meyakinkan untuk saya sebut “pantas”
diragukan. Atau, bagaimana, ya, bahasa yang tepat untuk mengungkapkan suatu
keraguan yang benar?
Tetapi, dalam
bidang dan rencana pekerjaan saya, ternyata terjadi persoalan administratif sampai
mendekati akhir Juli. Saya belum juga berangkat ke luar Kalimantan.
Masa-masa
mengambang itu saya siasati dengan mengikuti ajang kurasi karya, dan lomba
menulis apa saja yang saya minati. Dua puisi lolos kurasi sepucuk buku antologi
bersama yang diselenggarakan oleh sebuah dewan kesenian, dan satu puisi saya
tulis lalu kirim ke sebuah perhelatan akbar yang akan diumumkan menjelang
pertengahan Agustus.
Bagi saya,
eksistensi dalam berkarya, khususnya puisi tingkat umum di luar Balikpapan,
masih sangat penting, walaupun tidak memberi hadiah berupa uang. Sebab, saya
masih merasa belum leluasa menulis puisi. Disamping itu, kalau bisa lolos
kurasi dan tergabung dalam sepucuk buku antologi bersama, paling tidak, nama
dan karya saya sudah sampai dan abadi di daerah lain.
Berikutnya lomba
puisi dari sebuah perhelatan akbar yang saya lihat pengumannya pada 12 Juli
dengan batas akhir 11 Agustus itu, selain bernilai eksistensi sekaligus “gengsi”,
juga berhadiah uang. Juara I, Rp. 3.000.000,00. Juara II, Rp. 2.000.000,00. Juara
III, Rp. 1.000.000,00. Sedangkan 47 karya nominasi akan tergabung dalam sepucuk
buku antologi bersama. Kalau bisa masuk nominasi saja, suatu tahap yang luar
biasa untuk saya dalam perhelatan akbar itu.
Sampai awal Agustus
saya masih belum mendapat kabar mengenai penyelesaian akhir atas persoalan
administratif di bidang saya. Bagi saya, situasi itu sangatlah mengganggu
rencana saya karena “mengambang”. Tentu saja sangat berpengaruh dalam kehidupan
sehari-hari.
Oleh sebab situasi
yang tidak pasti sedang saya alami, mau-tidak mau, saya harus menyiasati keseharian
dan waktu-waktu saya lagi. Selain menunggu hal lain yang “mungkin” terjadi, saya
pun mencoba menanggapi “tantangan serius” dari Kantor Bahasa Provinsi Kaltim
itu.
Awalnya dengan
menulis garis besar gagasan ceritanya. Itu pun masih saya perkirakan cerita
yang datar-datar dan untuk satu naskah saja. Ya, sekadar menanggapi “tantangan
serius”, sambil menunggu “kemungkinan” dari hasil sebuah lomba puisi, dan
persiapan kegiatan 17-an.
Agustus sangat erat
kaitannya dengan kegiatan 17 Agustusan. Agustus 2017 suasana Indonesia masih
panas mengenai Pancasila. Pada sebagian poin ke-3 dalam “Ketentuan Umum”
sayembara tersebut juga tertera “mempertimbangkan keberagaman Indonesia, ramah
lingkungan…”.
Kebetulan tempat
tinggal saya di Balikpapan, khususnya lingkungan sekitar RT kami, bertetangga
dengan beragam SARA, bahkan ada tiga rumah ibadah yang berbeda, yaitu Masjid
Baburrahman, Gereja Toraja, dan Pura Giri Jaya Natha. Maka, calon naskah cerita
anak saya beri judul “Zaki dan Tomas Ikut Lomba 17 Agustusan”.
Kebetulan juga
keluarga kami pernah berlangganan Kompas.
Sebagian edisi lamanya masih tersimpan di gudang keluarga yang juga bersebelahan
langsung dengan meja tulis saya. Lalu saya mencari koran Kompas lama yang memuat cerita anak. Tentu saja bisa saya
pergunakan untuk memberi pemahaman pada saya sendiri mengenai cerita anak dalam
contoh yang nyata.
Berikutnya,
mau-tidak mau, saya juga mencari contohnya melalui internet. Salah satunya
adalah Majalah Bobo. Dan, saya
langsung ‘berlangganan’ konten majalah anak-anak versi daring (online) itu.
Melalui internet
saya juga mencari kelompok anak usia 10-12 tahun dan bacaan yang sesuai dengan
kelompok itu. Sebab, batasan usia dalam sayembara tersebut adalah 10-12 tahun.
Patokan angka usia berpengaruh pada cerita anak yang bagaimana atau seperti apakah
yang sesuai. Sayangnya saya belum menemukannya.
Saya pun teringat
pada sebuah buku koleksi saya, yang berkaitan dengan cerita anak. Saya mencari
buku itu dalam peti plastik yang berisi buku-buku saya. Ya, ada. Buku Serba-Serbi Cerita Anak-Anak yang
ditulis oleh Dra. Sugihastuti, M.S. (1996. Yogyakarta: Pustaka Pelajar), dan sekitar
awal 2000 saya beli di Social Agency Yogyakarta seharga Rp.4.000,00.
Untuk sementara
waktu saya berhenti menuliskan kelanjutan naskah. Saya membaca contoh-contoh
cerita anak, dan buku teori mengenai cerita anak. Kalau contoh-contoh cerita anak tidak
menyebutkan secara spesifik mengenai kelompok anak usia 10-12 tahun, saya
pikir, barangkali ada dalam buku teori karya Sugihastuti.
Dalam tulisan Bacaan Sarana Mengasuh Anak (hal.23) Sugihastuti
menulis, “Bagi yang berumur 10-12 tahun, disediakan serangkaian cerita tentang
penjelajahan antariksa, cerita detektif, seri lima sekawan, seri petualang, dan
lain-lain.” Nah ini dia!
Selain menyebutkan
kelompok usia beserta kisaran bacaan yang cocok, saya menemukan contoh “seri
lima sekawan”. Seri Lima Sekawan bukanlah bacaan yang asing bagi saya. Sewaktu
masih kanak-kanak dan tinggal di Bangka, karya Enid Blyton itu sering saya
lihat di perpustakaan sekolah, meski saya tidak tertarik membacanya karena saya
penikmat komik superhero.
Saya teringat lagi,
di rak buku keluarga Balikpapan saya pernah melihat buku Lima Sekawan. Saya pun segera mencarinya. Saya menemukan 3 buku.
Sungguh suatu kebetulan yang beruntun, bukan?
Lagi-lagi, untuk
sementara saya membaca buku-buku dan contoh-contoh cerita anak sebelum saya
melanjutkan calon naskah cerita anak. Sesekali saya mencoba melanjutkan sambil
menunggu hasil lomba puisi sampai pertengahan Agustus.
Dari membaca
beberapa buku dan contoh cerita anak dengan beberapa petualangannya, saya malah
mendapat gagasan lain untuk naskah saya. Tetapi saya pikir, sayang sekali,
kalau saya harus menggantinya. Maka, saya siapkan judul lainnya, yaitu “Berlibur
di Kebun”.
“Berlibur di Kebun”
ini, disamping mengenai suasana kebun dan kami pun memiliki kebun yang saya
namakan “Kebun Karya” (daerah Kilo 4) sekaligus saya kaitkan dengan latar
daerah saya (Bangka), juga “berlibur” karena krisis ekonomi yang sedang melanda
Kaltim secara umum.
Di sela-sela pembacaan
buku dan contoh cerita anak, saya pun ikut lomba menulis artikel yang
diselenggarakan oleh sebuah media daring. Lomba dimulai 29 Juli dan batas
akhirnya 10 Agustus. Saya selesaikan dua naskah, lalu saya kirimkan. Beres.
Saya lanjutkan lagi penulisan cerita anak.
Setelah merasa cukup
untuk menyudahi pembacaan buku dan contoh, saya mulai melanjutkan naskah “Zaki
dan Tomas Ikut Lomba 17 Agustusan”, dan harus bisa saya selesaikan sebelum
melanjutkan penulisan naskah kedua, “Berlibur di Kebun”. Satu hal yang memicu
saya untuk segera merampungkan naskah pertama adalah keterlibatan saya dalam
kegiatan 17-an di RT kami.
Menjelang
pertengahan Agustus, tepatnya 14 Agustus, puisi saya masuk nomine (10 besar
alias nomor 7) dalam sebuah perhelatan akbar berkelas nasional tadi. Saya
satu-satunya dari Balikpapan, bahkan Kaltim. Tentu saja saya bangga. Perhelatan
akbar tadi, biasanya, diikuti oleh para penyiar ternama tingkat nasional karena
nilai hadiahnya sangat menggiurkan.
Pada 14 Agustus
juga ada pengumuman dari Kompasiana
mengenai akan adanya kompetisi flashblogging
dalam rangka 17-an dengan waktu penulisan selama 3 jam (17.00-20.00). Belum ada
temanya karena tema akan disampaikan tepat 17 Agustus pukul 17.00. Yang
menggoda saya adalah nilai hadiahnya, Rp.1.000.000,00 untuk 17 pemenang.
Meski fokus agak bias,
saya bersikeras untuk mengikuti kompetisi tadi, dan mengikuti sayembara dengan
dua naskah. Kepala terasa pecah karena waktu terus melaju, dua naskah cerita anak
masih jauh dari akhir proses.
17 Agustus pukul
17.00 WIB atau 18.00 WITA saya ikut berkompetisi flasblogging bertema “sudah Berbuat Apa untuk Indonesia”, meskipun
saya tidak bisa mengikuti kegiatan 17-an di RT kami karena saya tidak mau
mengalami kelelahan yang bisa berisiko gagal ikut kompetisi di Kompasiana. Saya pikir, toh 20 Agustus,
dan 27 Agustus masih ada lomba di RT, dan saya bisa terlibat.
Selesai mengirimkan
naskah kompetisi di Kompasiana tadi,
saya langsung fokus untuk merampungkan dua naskah sayembara. Fokus sepenuhnya.
Tidak lupa, saya berdebar-debar. Mampukah saya menulis satu cerita anak
sebanyak 30-40 lembar, bahkan dua naskah?
Pada malam hari
saya membuka posel (pos surat elektronik) saya di Yahoo. Saya kaget. Ternyata pukul 12.00 saya diundang oleh Humas
Pemkot untuk menghadiri suatu acara di Perpustakaan Daerah Balikpapan. Undangan
itu dikirimkan oleh perpusda pada 14 Agustus.
Ya, sudahlah.
Besoknya saya ke perpusda, dan ngobrol dengan seorang kepala bidang di sana. Saya
minta maaf karena baru membaca undangan pada malam hari.
22 Agustus saya baru
bisa merampungkan naskah “Zaki dan Tomas Ikut Lomba 17 Agustusan” dengan jumlah
40 halaman. Sedikit saya koreksi, lalu saya lanjutkan dengan naskah kedua, “Berlibur
di Kebun”.
Saya memfokuskan
diri pada sayembara tersebut tanpa keraguan mengenai jadi-tidaknya mengirim dua
naskah. Tetapi fokus itu agak terusik oleh harapan saya pada hasil kompetisi flashblogging. Saya menghitung, sekitar
100-an naskah ikut berkompetisi, dan hasilnya akan diumumkan 7 hari kemudian
atau, anggap saja, 24 Agustus. Sebagian judulnya saya baca, dan semakin
mengusik fokus saya.
Saya mulai
meragukan naskah kompetisi saya sendiri karena, menurut saya, kurang bergengsi
dibandingkan dengan naskah peserta lainnya. Ujung-ujungnya, ya, saya relakan
saja apabila tidak masuk 17 naskah yang menang, dan berhak atas
Rp.1.000.000,00. Paling tidak, saya masih memiliki satu harapan di lomba
menulis artikel sebuah media daring yang hasilnya akan diumumkan setelah 14
hari atau sekitar 31 Agustus, dan harapan jauh pada sayembara tersebut.
24 Agustus saya
membuka Kompasiana. Tidak ada
pengumuman mengenai hasilnya. Ya, sudah, saya benar-benar pasrah. Terserahlah
apa pun hasilnya karena saya sudah pesimis gara-gara membandingkan dengan
naskah para peserta. Ternyata pengumuman hasilnya pada 27 Agustus.
Judul beritanya
sangat menggetarkan, “Inilah Para Jawara yang Menaklukkan #Kompasiana 17an !”
Kemudian ada cuplikan kalimat, “dari 99 artikel yang berpartisipasi, berikut kami umumkan 17 artikel yang
paling berhasil menggetarkan sanubari admin sehingga layak mendapat gelar
juara:“ Karya dan nama saya berada di nomor
1.
Tentunya saya
senang sekali, meski berdebar-debar karena naskah cerita anak sama sekali masih
jauh dari selesai. Di peringkat 17 tertera nama seorang penulis yang saya kenal
dari buku puisinya.
Dengan adanya
pengumuman hasil kompetisi itu saya terpacu untuk merampungkan naskah cerita
anak, meskipun hadiah kompetisi akan ditransfer setelah 45 hari kerja. Ya,
sudahlah, saya tinggal menunggu transferannya pada Oktober. Yang jelas sedang
harus saya selesaikan adalah naskah cerita anak.
31 Agustus (cap
pos) dini hari naskah “Berlibur di Kebun” selesai dengan tokoh utama bernama
Oji. Oji adalah tokoh yang sering saya pakai untuk karya-karya saya sejak 2001
dalam cerpen “Orang Kaya Baru”. Siang harinya saya cetak, kirim lewat kantor
pos, dan menghabiskan biaya Rp.250.000,00. Berikutnya naskah saya kirim via surel.
Akhirnya saya serahkan pada takdir atau nasib. Saya sudah berusaha melakukan apa yang saya mampu. Mengenai hasilnya nanti, bukanlah wewenang saya. Ya, sebagaimana umumnya setiap lomba atau kompetisi tulis-menulis, keputusan berada di dewan juri.
Demikian kronologi
saya menanggapi "tantangan serius" dari sayembara menulis cerita anak-anak. Saya mengungkapkan semua ini dalam
rangka kejujuran atas realitas diri saya sendiri, dan sekadar merekam sebagian
perjalanan kegiatan tulis-menulis saya.
*******
Panggung Renung
Balikpapan, 1 September 2017, pas Idul Adha 1438 H.