Jumat, 27 Oktober 2017

Menunggu Pengumuman Hasil Sayembara Penulisan Cerita Anak-anak se-Kaltim & Kaltara 2017

Saya menuliskan ini pada 26 Oktober 2017. Artinya, saya sedang berdebar-debar. Sebabnya, 28 Oktober alias dua hari lagi adalah waktu untuk melihat kenyataan berisi pengumuman hasil Sayembara Penulisan Cerita Anak-anak se-Kaltim dan Kaltara 2017 yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kaltim sejak diumumkan mulainya pada 26 Mei 2017.

Mengapa saya berdebar-debar menunggu hasilnya? Sudah saya ceritakan mengenai partisipasi saya dalam sayembara itu. Apakah berdebar-debar itu disebabkan oleh rasa takut kalah atau justru ingin meluapkan seluruh perasaan jika menang?

Memang, menang atau kalah itu biasa dalam suatu sayembara atau pertandingan. Saya pun terbiasa kalah, dan jarang menang, meski tidak pernah satu kali pun menangisi kekalahan. Setiap hendak mengikuti suatu sayembara atau lomba menulis, satu hal yang selalu saya sadari sekaligus tetapkan dalam hati adalah “saya bukan siapa-siapa” dalam tulis-menulis.

“Saya bukan siapa-siapa” adalah slogan saya untuk lebih santai dalam partisipasi suatu pertandingan karya. Dengan lebih santai, otomatis, saya bisa leluasa menguras kapasitas saya secara serius. Slogan ini pula yang selalu menjadi benteng terakhir saya untuk menyiapkan diri apabila terjadi “serangan” dari luar, khususnya realitas menang-kalah.

Mungkin sebagian dari Anda menyebut saya anomalis berdasarkan raihan-raihan saya selama dua tahun terakhir. 2016 saya meraih Pemenang I Lomba Menulis Esai se-Kaltim dan Kaltara. 2017 saya meraih Pemenang I dalam Lomba Menulis 17-an di Kompasiana. Selain itu, puisi saya meraih kategori nomine dalam Krakatau Award 2017, dan puisi lainnya lolos kurasi untuk sebuah buku antologi yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Kota Pekalongan.

Lantas, apa lagi yang pantas menjadikan saya anomalis?

Tidak jarang saya harus memarkirkan semua raihan pada bagian masa lalu; prestasi usang alias ketinggalan zaman. Apakah saya telah terjerumus dalam kelompok manusia yang tidak bersyukur?

Bukan begitu tetapi begini. Kalau saya ‘terpaksa’ memarkirkan semua raihan masa lalu, saya akan memulai gairah baru untuk menanggapi suatu tantangan baru. Dengan adanya gairah baru, saya cenderung berusaha keras untuk bisa menanggapi tantangan baru dengan sepenuh jiwa-raga saya.

Apalagi, sayembara satu ini, bagi saya, benar-benar baru pertama kali saya ikuti. Dari pengumuman adanya sayembara pada 26 Mei itu saja, saya yakin untuk berpartisipasi justru pada akhir Juli alias dua bulan berlalu. Sementara batas akhir sayembara itu adalah 31 Agustus. Belum lagi… Ah, sudah saya ceritakan.

Sekarang saya sedang berdebar-debar. Sayembara atau pertandingan karya satu ini merupakan pertandingan terakhir yang saya ikuti pada 2017. Sebab, sejak 6 September 2017 saya sudah memulai pekerjaan lagi sebagai seorang arsitek, dan kembali harus keluar dari rumah bahkan domisili saya di seberang (Balikpapan, Kaltim). Artinya, kondisi terkini adalah fokus pada pekerjaan di Kupang, NTT, bukan lagi pertandingan karya yang sarat imajinasi yang absurd, dan kompetisi.

Tentunya, ada rencana selanjutnya untuk saya sendiri jika saya menang atau kalah. Kalau menang, saya pasti senang bukan kepalang. Kalau kalah, apa kelanjutan dari kekalahan itu pun saya siap olah-kelola kembali. Menang atau kalah itu berarti ada kelanjutannya. Tidak berhenti sampai pada hasil lantas selesailah semuanya.

Apa rencana saya nanti jika menang atau kalah?

Maaf, kali ini saya harus merahasiakannya. Tunggu saja dua hari lagi, 28 Oktober, pada saat hasil sayembara itu diumumkan oleh Kantor Bahasa Kaltim.

Demikian saja dulu berdebar-debar saya. Semoga Anda tidak tertular. 

*******
 Kelapa Lima, Kupang, 26 Oktober 2017     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar