Saya menuliskan ini
pada 26 Oktober 2017. Artinya, saya sedang berdebar-debar. Sebabnya, 28 Oktober
alias dua hari lagi adalah waktu untuk melihat kenyataan berisi pengumuman
hasil Sayembara Penulisan Cerita Anak-anak se-Kaltim dan Kaltara 2017 yang
diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Kaltim sejak diumumkan mulainya pada 26 Mei
2017.
Mengapa saya
berdebar-debar menunggu hasilnya? Sudah saya ceritakan mengenai partisipasi
saya dalam sayembara itu. Apakah berdebar-debar itu disebabkan oleh rasa takut
kalah atau justru ingin meluapkan seluruh perasaan jika menang?
Memang, menang atau
kalah itu biasa dalam suatu sayembara atau pertandingan. Saya pun terbiasa
kalah, dan jarang menang, meski tidak pernah satu kali pun menangisi kekalahan.
Setiap hendak mengikuti suatu sayembara atau lomba menulis, satu hal yang
selalu saya sadari sekaligus tetapkan dalam hati adalah “saya bukan
siapa-siapa” dalam tulis-menulis.
“Saya bukan
siapa-siapa” adalah slogan saya untuk lebih santai dalam partisipasi suatu
pertandingan karya. Dengan lebih santai, otomatis, saya bisa leluasa menguras
kapasitas saya secara serius. Slogan ini pula yang selalu menjadi benteng
terakhir saya untuk menyiapkan diri apabila terjadi “serangan” dari luar,
khususnya realitas menang-kalah.
Mungkin sebagian dari
Anda menyebut saya anomalis berdasarkan raihan-raihan saya selama dua tahun
terakhir. 2016 saya meraih Pemenang I Lomba Menulis Esai se-Kaltim dan Kaltara.
2017 saya meraih Pemenang I dalam Lomba Menulis 17-an di Kompasiana. Selain itu, puisi saya meraih kategori nomine dalam
Krakatau Award 2017, dan puisi lainnya lolos kurasi untuk sebuah buku antologi
yang diterbitkan oleh Dewan Kesenian Kota Pekalongan.
Lantas, apa lagi
yang pantas menjadikan saya anomalis?
Tidak jarang saya
harus memarkirkan semua raihan pada bagian masa lalu; prestasi usang alias
ketinggalan zaman. Apakah saya telah terjerumus dalam kelompok manusia yang
tidak bersyukur?
Bukan begitu tetapi
begini. Kalau saya ‘terpaksa’ memarkirkan semua raihan masa lalu, saya akan
memulai gairah baru untuk menanggapi suatu tantangan baru. Dengan adanya gairah
baru, saya cenderung berusaha keras untuk bisa menanggapi tantangan baru dengan
sepenuh jiwa-raga saya.
Apalagi, sayembara
satu ini, bagi saya, benar-benar baru pertama kali saya ikuti. Dari pengumuman
adanya sayembara pada 26 Mei itu saja, saya yakin untuk berpartisipasi justru
pada akhir Juli alias dua bulan berlalu. Sementara batas akhir sayembara itu
adalah 31 Agustus. Belum lagi… Ah, sudah saya ceritakan.
Sekarang saya
sedang berdebar-debar. Sayembara atau pertandingan karya satu ini merupakan
pertandingan terakhir yang saya ikuti pada 2017. Sebab, sejak 6 September 2017
saya sudah memulai pekerjaan lagi sebagai seorang arsitek, dan kembali harus
keluar dari rumah bahkan domisili saya di seberang (Balikpapan, Kaltim).
Artinya, kondisi terkini adalah fokus pada pekerjaan di Kupang, NTT, bukan lagi
pertandingan karya yang sarat imajinasi yang absurd, dan kompetisi.
Tentunya, ada
rencana selanjutnya untuk saya sendiri jika saya menang atau kalah. Kalau
menang, saya pasti senang bukan kepalang. Kalau kalah, apa kelanjutan dari
kekalahan itu pun saya siap olah-kelola kembali. Menang atau kalah itu berarti
ada kelanjutannya. Tidak berhenti sampai pada hasil lantas selesailah semuanya.
Apa rencana saya
nanti jika menang atau kalah?
Maaf, kali ini saya
harus merahasiakannya. Tunggu saja dua hari lagi, 28 Oktober, pada saat hasil
sayembara itu diumumkan oleh Kantor Bahasa Kaltim.
Demikian saja dulu
berdebar-debar saya. Semoga Anda tidak tertular.
*******
Kelapa Lima, Kupang, 26 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar