Kamis, 28 Maret 2019

Gerakan Literasi di Balikpapan, Entahlah!


Oh, aku tidak mengetahui apa-apa mengenai gerakan literasi di Balikpapan. Jangan pernah menanyakan perihal semacam itu padaku karena aku memang tidak mengetahuinya.

Dari internet, tepatnya situs Disdik.Balikpapan.Go.Id, kubaca judul berita “Gerakan Indonesia Membaca (GIM) Tahun 2017” (Rabu, 31 Agustus 2017). Cuplikan isinya sebagai berikut:

Gerakan Indonesia Membaca (GIM) Kota Balikpapan Tahun 2017 yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Balikpapan hari Rabu 30 Agustus 2017 di Kampung Literasi Yayasan Tunas Budi Luhur Kota Balikpapan.

Acara di buka oleh Walikota dalam hal ini diwakili oleh  Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Balikpapan, sambutan di hadiri oleh DR. Kastum Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan kesetaraan.

Menurutku, seremonial belaka. Entah apa yang selama ini dibaca oleh penulis berita, lha wong menggunakan “di” saja masih payah begitu. Perhatikan “Acara di buka” dan “di hadiri”. Belum lagi lainnya. Padahal, situs resmi milik dinas pendidikan lho! Apa yang akan dididik, dibina, dan seterusnya jika persoalan mendasar saja masih begitu, ‘kan?

Ah, sudahlah. Sebaiknya aku tidak perlu mengetahuinya karena “benteng terakhir” terkait “agen perubahan” itu sendiri masih berlepotan dalam pemahaman bahasa. Terserah sajalah.

Aku akan kembali khusyuk dengan pembelajaran sendiri tanpa perlu slogan dan aneka seremonial. Aku membaca, menulis, membuat buku, dan seterusnya. Tidak peduli pada urusan literasi-literasi apa pun.

Egoiskah? Aku egois kalau sudah berhadapan dengan seremonial, slogan, proyek-proyek, dan hal-hal yang sama sekali tidak berdampak positif dalam kemajuan pemahaman orang muda semacam itu. Lima tahun kuamati, kupikir, cukuplah.

Biar kulanjutkan pengembaraanku di jalan sunyi ini seorang diri. Semoga resolusi 2019 bisa terwujud dengan buku-buku karyaku sendiri.  

*******
Pinggir Panggung Renung, 29/03/2019

Mumpung Jomlo, Menulislah dan Belajarlah!

Menulis merupakan kegiatan yang sangat mudah bagi siapa pun yang telah tamat SD. Ketika dalam pelajaran Bahasa Indonesia SD, sudah ada materi mengenai huruf besar-kecil, suku kata, kalimat langsung-tidak langsung, Subjek-Predikat-Objek-Keterangan (S-P-O-K), dan hal-hal mendasar lainnya.

Saya masih mengingat itu karena saya pernah menamatkan pendidikan SD. Tidak perlu tamat dengan nilai 8 atau 9 dalam pelajaran Bahasa Indonesia, yang penting, tidak 5 alias merah, dan, toh, saya tamat, dan mendapat ijazah. Terlebih, sekarang sudah berijazah sarjana S-1.



Menulis merupakan bukti bahwa saya sudah tamat SD. Dan, menulis tidaklah memerlukan keahlian khusus (bakat) semacam menggambar. Meski sejak SD sudah ada pelajaran Seni Rupa, tetap saja bukanlah hal yang mudah dilakukan jika dibandingkan dengan menulis. Iya, ‘kan?

Sementara saya sudah melakukan keduanya (menggambar dan menulis), dan saya arsitek alias tukang gambar bangunan. Saya tidak sendirian karena masih ada beberapa arsitke lainnya yang malah lebih lihai menulis daripada saya. Artinya, antara keahlian khusus (bakat menggambar) dan keahlian biasa (biasa menulis) bisa saya kelola sesuka saya sendiri. Buku-buku saya merupakan buktinya juga.

Nah, sekarang, bagaimana dengan kawan-kawan pemula yang suka menulis tetapi bukan karena bidang belajar; suka menulis tetapi tidak sanggup menggambar; suka menulis tetapi belum mencapai taraf yang mumpuni?

Saran saya, menulislah dan belajarlah. Menulislah sampai menjadi sebuah tulisan yang utuh. Lakukan terus-menerus. Misalnya menulis puisi. Buatlah puisi.

Namun, jangan lupa, membaca buku-buku puisi karya penyair yang bermutu. Sesekali bacalah teori mengenai puisi, dan kaidah-kaidah penulisan umumnya. Kemudian buatlah puisi lagi.

Apa itu “membaca buku teori mengenai kaidah penulisan”? Meski puisi dengan tameng “licentia puitika”, kaidah dasar wajib dipahami agar bisa menjawab jika ditanyakan mengenai maksud tertentu. Misalnya, ketika puisi berisi “dilanggar” atau “di langgar”, perbedaannya memang sudah dipahami.

Saran saya lagi, beranilah mengikuti pertarungan karya, bahkan di luar daerah. Ya, sekadar “ujian” atas usaha tulis-menulis yang dipelajari dan dilakukan secara autodidak itu.

Ada tiga jenis pertarungan. Pertama, media massa. Kedua, lomba. Ketiga, kurasi untuk karya gabungan. Ingat, jangan hanya di daerah sendiri, melainkan ke luar daerah agar suasana pertarungan bisa terkesan objektif karena tidak mengenal siapa editor, juri atau kuratornya.


Seperti halnya yang pertama, “media massa”, ada juga media massa daring (online). Salah satu yang saya pakai adalah Kompasiana.Com.

Saya menggunakan media pelopor jurnalisme warga (Citizen Journalism) ini sebagai ajang “ujian” saya sendiri. Kalau sebuah tulisan (artikel) saya masuk kategori tertentu, saya akan menjadikannya tabungan untuk calon buku saya. Buku kumpulan “Artikel Utama” di Kompasiana itu sudah saya terbitkan pada 2018. Judulnya, “Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia”. Nanti akan disusul buku-buku dari tulisan-tulisan saya di sana.

Bagi saya, kalau tulisan-tulisan saya hanya berpendar-pendar di layar kaca, tidaklah cukup memuaskan. Buku merupakan wadah pamungkas saya untuk mengabadikan karya saya sendiri, termasuk kara seni rupa. Tentu saja sangat memuaskan karena saya bisa menggabungkan keduanya, menulis dan menggambar. Selesaikah?

Saya tidak pernah selesai sampai di situ. Saya masih akan terus menulis dan menggambar. Saya masih akan terus membaca, belajar, dan berlatih.

Nah lagi, kalau kawan-kawan pemula tidak mampu menggambar, kuasailah perihal tulis-menulis. Kuasai satu genre, lalu beralih ke genre lainnya. Puisi, pantun, cerpen, esai/opini, dan lain-lain. Terlebih kalau masih jomlo (“jomblo” tidak baku).

Ya, kalau masih jomlo, olah dan kelolalah kapasitas diri dalam tulis-menulis. Soalnya, kalau sudah berumah tangga, alangkah beratnya usaha itu! terlalu banyak urusan yang akhirnya hanya akan menghentikan usaha tulis-menulis.

Saya sudah belajar dan berlatih serius ketika masih jomlo. Puisi, cerpen, esai/opini saya babat semua selagi (mumpung) jomlo. Ketika sudah berkeluarga, saya hanya mengembangkan kemampuan. Tidak lagi repot dengan belajar dan berlatih sebagai pemula. Sesekali belajar hanya untuk proses pengembangan kemampuan.

Saran terakhir, kalau kawan-kawan pemula belum mampu menguasai tulis-menulis tetapi sudah berhasrat untuk berumah tangga, tinggalkan saja kegiatan tulis-menulis atau keinginan untuk menjadi penulis itu sekarang juga! Sebab, percuma. Tidak akan ada kemajuan apa-apa jika sudah berumah tangga. Mengolah-kelola rumah tangga jauh lebih penting daripada urusan belajar-berlatih tulis-menulis yang sekadar hobi.

Itu saja dari saya.

*******
Pinggir Panggung Renung, 29 Maret 2019

ISBN untuk Buku “Sang Pengendara Aksara” sudah Cair


Gerimis menyambut sore. Seekor anak tikus terlengket dalam jebakan. Aku menyeruput kopi hitam sambil menunggu internet tersambung.

Tadi subuh aku mengirim permohonan ISBN untuk buku “Sang Pengendara Aksara” ke Perpustakaan Nasional RI. Sekadar mencoba bermain dengan waktu karena hari ini Kamis. Apakah ISBN bisa keluar dalam satu hari?

Pasalnya, ketika aku mengurus ISBN untuk buku novelnya Alfian pada hari Jumat, ISBN “cair” pada hari Selasa. Nah, bagaimana kalau kali ini kucoba pada hari Kamis?

Ternyata ISBN sudah “cair”. Tidak sampai satu hari. Puji-syukur kepada Tuhan. Alhamdulillah.


Berarti, lain kali, sebaiknya permohonan ISBN kukirim dari antara Senin s.d. Kamis, kalau mau cepat. Kalau tidak mau cepat, ya, Jumat s.d. Minggu. Ya, selalu ada pilihan di antara cepat atau lambat.

Kurasa begitu sajalah. Aku mau menyeruput kopi lagi.

*******
Pinggir Panggung Renung, 28/03/2019

Rabu, 27 Maret 2019

Satu Calon Buku Kuselesaikan Lagi


Kamis berazan Subuh dari beberapa masjid. Udara masih basah karena selepas Magrib sempat hujan. Kukuruyuk-kukuruyuk bersahutan dengan miaw-miaw seekor anak kucing entah di mana.

Aku baru mengirimkan permohonan ISBN untuk calon bukuku, “Sang Pengendara Aksara”. Buku ke-3 untuk resolusi 2019. Dalam buku ini terdapat 23 artikel seputar kegiatan tulis-menulis, dan berstempel "Pilihan" di Kompasiana.Com. Semua sudah siap naik cetak, kecuali uang untuk biaya pencetakannya.


Tidak perlu menanyakan soal uang itu. Aku hanya bisa mengimani bahwa uang akan ada dengan sendirinya. Bukan karena uang maka aku kemudian menyiapkan apa pun. Uang urusan Tuhan, aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan.

Lalu, bagaimana dengan buku ke-2, “Surga Siap Saji”? Belum kuajukan permohonan ISBN karena ilustrasi isi belum kupindai. Beberapa ilustrasi akan mengubah halaman sehingga belum bisa kucantumkan halaman yang pasti di Daftar Isi. Untuk pengajuan ISBN dan KDT, aku harus memastikan jumlah halamannya.

Ya, resolusi 2019 yang kuimani pada akhir 2018 adalah terbitnya tujuh bukuku. Semua bukuku pada 2019 berupa kumpulan artikelku yang berstempel “Pilihan” (Highlight) dan “Artikel Utama” (Headline) di Kompasiana.Com. Berapa dana yang harus kusiapkan? Lagi, Tuhan yang akan memberikannya. Bagaimana caranya? Urusan Tuhan, biarkan saja.

Aku memang berupaya menyiapkan apa yang bisa kulakukan, khususnya untuk calon buku-bukuku. Untuk membuat satu buku saja, bukan pekerjaan yang mudah dan singkat, semisal dua hari selesai. Meski sampulnya sudah jadi, aku pasti membenahinya sampai siap naik cetak.

Sekarang mumpung ada waktu sebelum buku novel “Setiap Malam adalah Sepi”-nya Alfiansyah datang dari sebuah percetakan di Jawa. Kalau buku novel itu datang, aku harus pergi lagi ke Kupang untuk menyelesaikan pekerjaan arsitekturku yang tertunda. Elcid sudah mengabarkan bahwa aku harus kembali, tetapi beri tahu waktunya.

Mau-tidak mau aku harus pergi, meski berat kutinggalkan Balikpapan, termasuk acara peluncuran novelnya Alfian. Pergi juga, bagiku, waktu yang tepat untuk menjemput rezeki dari Tuhan sehingga aku bisa membiayai pencetakan buku-bukuku.


Tujuh bukuku harus terbit sesuai dengan resolusiku. Untuk apa jika semuanya terbit? Untuk mewujudkan keinginanku dalam pengabadian karya berbentuk buku. Buku-buku yang berisi artikel tematis. Arsitek dan arsitektur. Seputar dunia tulis-menulis. Artikel utama yang perlu pemikiran “lebih”. Tentang korupsi. Tentang sastra dan sudut-sudutnya. Dan seterusnya.

Terus terang, kalau nanti berada di Kupang, aku pasti sibuk berurusan dengan perancangan dan pembangunan. Jiwa dan raga pasti capai ("capek" tidak baku). Aku harus menyiapkannya sebelum capai menderaku. Risiko yang sudah biasa. Mujurnya, novel Alfian sudah selesai.

Sirine pkl.06.00 WITA sudah berbunyi. Kukuruyuk masih bersahut-sahutan. Kicau seekor kutilang liar sudah membuka pagi yang mendung.

Aku harus mengakhiri tulisan sepele ini karena sudah waktuku untuk tidur. Tidur sambil menunggu paket buku novel Alfian datang. Semoga buku novel Alfian membuka kemungkinan-kemungkinan yang positif dan potensial untuk kebaikan bersama sebelum kelak aku tidak mampu pergi ke mana-mana lagi.

*******
Pinggir Panggung Renung, 28/03/2019

Minggu, 24 Maret 2019

Menjadi Diri Sendiri


Senin, 25/3/2019. Pkl. 00.45 WITA. Udara basah, sisa hujan Minggu sore. Nyanyian jangkrik. Musik kendaraan.

Aku sudah menyelesaikan ilustrasi untuk calon bukuku, “Surga Siap Saji”–sebuah kumpulan “Artikel Utama” di Kompasiana.Com. Ilustrasi terakhir adalah karikatur Tilaria Padika aka George Hormat alias Gege.



Enam lembar HVS A4 dengan aneka ilustrasi kugantung dekat tempat dudukku. Aku belum bisa memindai (men-scan) semua itu karena alat pemindaiku rusak sejak tahun lalu. Aku belum memiliki biaya untuk memperbaikinya. Aku memang sedang tidak memiliki uang.

Sementara calon buku “Arsitek yang Menulis” sudah siap memasuki proses pencetakan setelah mendapat ISBN (International Serial Book Number) dari Perpustakaan Nasional RI. Namun, lagi-lagi, aku sedang tidak memiliki uang untuk membiayainya.

Intinya, aku memang tidak memiliki uang untuk semuanya itu.

Aku memang tidak bekerja seperti kebanyakan orang. Mengapa aku tidak bekerja agar menghasilkan uang sekian juta rupiah saban bulan, dan seterusnya, tidak perlu kusampaikan di sini. Apakah kemudian aku harus bersedih?

Terlalu sepele hidup ini jika setiap waktu aku perlu bersedih. Tuhan selalu mengajakku bersuka cita, bahkan senantiasa. Tuhan selalu mengajakku bersyukur dalam segala hal. Firman-Nya selalu hidup, dan berdegup bersama irama jantungku. Bukan karena berduit lantas aku bersuka cita dan bersyukur. Bukan karena buku-bukuku terbit lantas aku akan bersorak-sorai.

Aku sudah menjadi diriku sendiri sejak mengenal-Nya pada 1989. Aku tidak perlu meniru siapa-siapa atau ingin menjadi seperti siapa. Aku tercipta secara khusus. Ya, setiap manusia tercipta secara khusus karena itulah hebatnya Tuhan yang kupercaya.

Tuhan membentuk aku secara khusus dengan talenta dari-Nya yang kugali dalam diriku. Talentaku bukanlah untuk menjadi kaya secara materi, tetapi kaya secara karya. Secara manusiawi, Yesus Kristus hanyalah anak tukang kayu. Yesus Kristus tidak memiliki ternak. Yesus Kristus tidak memiliki lahan. Yesus Kristus hanya memiliki karya, bahkan sampai mati di kayu salib Yesus Kristus tidak memiliki harta benda duniawi.

Malam menjelang dini hari masih menyisakan udara basah dan suara-suara tadi. Aku masih mengetik tulisan sepele ini.

Aku merasa Tuhan tidak mengizinkan aku menggerakkan jari-jari untuk mengetik hal-hal yang tidak baik, kecuali menikmati waktu sebelum kantuk berkunjung lalu mengajakku beranjak ke tempat tidur. Bagiku, Tuhan selalu lebih baik daripada apa pun yang kumiliki atau yang mampu kuraih. Bagiku, menjadi diri sendiri adalah yang terbaik dari segala ambisi yang ditawarkan oleh kehidupan ini.      

*******
Balikpapan, 25 Maret 2019       

Kamis, 14 Maret 2019

Jangan Cengeng, dan Suka Main Keroyok

Rencana 2019 : 7 Buku Kumpulan Esai Karya Gus Noy


Gaes,
Aku bisa menangis, tetapi bukan berarti cengeng. Kalau aku cengeng, tidak akan berani pergi dari ketiak ibuku ketika lulus SMP. Ya, SMA sampai tamat pendidikan Arsitektur aku berada di Yogyakarta, sementara orang tuaku tetap di Sungailiat, Bangka (Babel), tepatnya Kampung Sri Pemandang Atas.

Kampung Sri Pemandang Atas itu sangat pelosok alais jauh dari Ibu Kota Babel, yaitu Pangkalpinang, apalagi Ibu Kota Indonesia. Kampung halamanku tidak pernah menjadi perbincangan apa pun dalam kancah kemajuan Indonesia. Namun aku sangat berterima kasih kepada kampung halamanku, sekaligus bangga dengan selalu menyebutkannya dalam setiap riwayat hidup (biodata) karya-karyaku.  

Gaes,
Di perantauan aku bukanlah menjadi penonton terhadap situasi daerah perantauan sampai kembali ke kampung halaman dan bercerita hingga berbusa-busa mengenai kehebatan daerah perantauan. Ketika Kelas III SMA, aku sudah dipercaya oleh pihak sekolah, khususnya guru Seni Rupa, untuk menjadi juri dalam lomba lukis di sekolah. SMA itu di Kota Pelajar yang juga Kota Budaya, Gaes, sedangkan aku sama sekali asli dari kampung yang jauh dari pelosok kota terkenal di Indonesia.

Apakah karena aku pintar?

Gaes,
Aku bukanlah orang pintar. Aku hanyalah orang beruntung alias bernasib baik/mujur. Untuk bisa melanjutkan belajar ke Yogyakarta saja aku hanya mengandalkan nasib ketika menghadapi Ebtanas. Aku diultimatum oleh ibuku, bahwa nilaiku harus sampai pada angka minimal kalau mau bersekolah di Jawa. Aku seorang pemalas dalam belajar di sekolah. Seluruh saudaraku di Bangka sangat mengenal karakter pemalasku itu. Namun, nasib bin takdir tidaklah bisa dikenali oleh siapa pun.

Gaes,
Aku berubah drastis ketika berada jauh dari kampung halaman. Semakin aku rajin atau berusaha keras, semakin kuandalkan nasib bin takdir yang terwujud. Kesadaran sebagai orang bodoh dan kemauan untuk berubah merupakan jalan terbaik bagi nasib baik/mujur.

Karya-karyaku, baik gambar maupun tulisan, diperhitungkan oleh beberapa penyelenggara lomba ketika aku masih berada di Yogyakarta. Salah satunya adalah nomine Lomba Desain Kaus Oblong “Sewindu Rindu Dagadu”. Ya, di Kota Budaya itulah aku ditempa. Setamat SMA aku sempat belajar menggambar di Bandung melalui bimbingan belajar menggambar bernama “Garizt” yang diasuh oleh HMSRD-ITB karena aku ingin masuk FSRD-ITB, meskipun tiga kali gagal.

Gaes,
Kegagalan tidak pernah membuatku cengeng. Kebodohanku pun tidaklah menjadi alasan untuk iri/dengki pada orang-orang kreatif-menang-juara, apalagi bergabung dengan kelompok pendengki lalu mengeroyok dengan cara mencela atau mencemooh orang-ornag yang kreatif-menang dalam dalam pelbagai perlombaan intelektual.

Gaes,
Jadilah manusia yang tidak cengeng/manja, misalnya selalu minta bantuan untuk mencapai suatu puncak pertandingan atau persaingan intelektual. Pergunakan waktu yang ada untuk menempa diri. Beranilah menjajal kemampuan berpikir dengan cara mengikuti ajang uji nyali (lomba).

Dan jadilah manusia yang mandiri dengan kemampuan sendiri. Tidak perlu bergabung dengan kelompok pencemooh yang hidup dari iri/dengki lalu memfitnah seenak mulut. Kualitas kemanusiaan tidak bisa dikatrol oleh obrolan penuh iri/dengki, bahkan malah sebaliknya, bahwa iri/dengki hanya menjerumuskan kualitas kemanusiaan.

Aku rasa cukup itu saja, Gaes. Selamat menjadi diri sendiri dengan penempaan yang mampu dilakoni secara apa adanya.

*******
Balikpapan, 15 Maret 2019