Menulis merupakan
kegiatan yang sangat mudah bagi siapa pun yang telah tamat SD. Ketika dalam
pelajaran Bahasa Indonesia SD, sudah ada materi mengenai huruf besar-kecil,
suku kata, kalimat langsung-tidak langsung, Subjek-Predikat-Objek-Keterangan (S-P-O-K),
dan hal-hal mendasar lainnya.
Saya masih
mengingat itu karena saya pernah menamatkan pendidikan SD. Tidak perlu tamat
dengan nilai 8 atau 9 dalam pelajaran Bahasa Indonesia, yang penting, tidak 5
alias merah, dan,
toh, saya tamat,
dan mendapat ijazah. Terlebih, sekarang sudah berijazah sarjana S-1.
Menulis merupakan
bukti bahwa saya sudah tamat SD. Dan, menulis tidaklah memerlukan keahlian
khusus (bakat) semacam menggambar. Meski sejak SD sudah ada pelajaran Seni
Rupa, tetap saja bukanlah hal yang mudah dilakukan jika dibandingkan dengan
menulis. Iya, ‘kan?
Sementara saya
sudah melakukan keduanya (menggambar dan menulis), dan saya arsitek alias
tukang gambar bangunan. Saya tidak sendirian karena masih ada beberapa arsitke
lainnya yang malah lebih lihai menulis daripada saya. Artinya, antara keahlian
khusus (bakat menggambar) dan keahlian biasa (biasa menulis) bisa saya kelola
sesuka saya sendiri. Buku-buku saya merupakan buktinya juga.
Nah, sekarang,
bagaimana dengan kawan-kawan pemula yang suka menulis tetapi bukan karena
bidang belajar; suka menulis tetapi tidak sanggup menggambar; suka menulis
tetapi belum mencapai taraf yang mumpuni?
Saran saya,
menulislah dan belajarlah. Menulislah sampai menjadi sebuah tulisan yang utuh. Lakukan
terus-menerus. Misalnya menulis puisi. Buatlah puisi.
Namun, jangan lupa,
membaca buku-buku puisi karya penyair yang bermutu. Sesekali bacalah teori mengenai
puisi, dan kaidah-kaidah penulisan umumnya. Kemudian buatlah puisi lagi.
Apa itu “membaca buku
teori mengenai kaidah penulisan”? Meski puisi dengan tameng “licentia puitika”,
kaidah dasar wajib dipahami agar bisa menjawab jika ditanyakan mengenai maksud
tertentu. Misalnya, ketika puisi berisi “dilanggar” atau “di langgar”,
perbedaannya memang sudah dipahami.
Saran saya lagi,
beranilah mengikuti pertarungan karya, bahkan di luar daerah. Ya, sekadar “ujian”
atas usaha tulis-menulis yang dipelajari dan dilakukan secara autodidak itu.
Ada tiga jenis
pertarungan.
Pertama, media massa.
Kedua, lomba.
Ketiga, kurasi untuk karya gabungan. Ingat, jangan hanya di daerah
sendiri, melainkan ke luar daerah agar suasana pertarungan bisa terkesan
objektif karena tidak mengenal siapa editor, juri atau kuratornya.
Seperti halnya yang
pertama, “media massa”, ada juga media massa daring (online). Salah satu yang saya pakai adalah Kompasiana.Com.
Saya menggunakan
media pelopor jurnalisme warga (Citizen
Journalism) ini sebagai ajang “ujian” saya sendiri. Kalau sebuah tulisan (artikel)
saya masuk kategori tertentu, saya akan menjadikannya tabungan untuk calon buku
saya. Buku kumpulan “Artikel Utama” di Kompasiana
itu sudah saya terbitkan pada 2018. Judulnya, “Belum Banyak Berbuat Apa untuk
Indonesia”. Nanti akan disusul buku-buku dari tulisan-tulisan saya di sana.
Bagi saya, kalau
tulisan-tulisan saya hanya berpendar-pendar di layar kaca, tidaklah cukup
memuaskan. Buku merupakan wadah pamungkas saya untuk mengabadikan karya saya
sendiri, termasuk kara seni rupa. Tentu saja sangat memuaskan karena saya bisa
menggabungkan keduanya, menulis dan menggambar. Selesaikah?
Saya tidak pernah
selesai sampai di situ. Saya masih akan terus menulis dan menggambar. Saya
masih akan terus membaca, belajar, dan berlatih.
Nah lagi, kalau
kawan-kawan pemula tidak mampu menggambar, kuasailah perihal tulis-menulis. Kuasai
satu genre, lalu beralih ke genre lainnya. Puisi, pantun, cerpen, esai/opini,
dan lain-lain. Terlebih kalau masih jomlo (“jomblo” tidak baku).
Ya, kalau masih
jomlo, olah dan kelolalah kapasitas diri dalam tulis-menulis. Soalnya, kalau
sudah berumah tangga, alangkah beratnya usaha itu! terlalu banyak urusan yang
akhirnya hanya akan menghentikan usaha tulis-menulis.
Saya sudah belajar
dan berlatih serius ketika masih jomlo. Puisi, cerpen, esai/opini saya babat
semua selagi (mumpung) jomlo. Ketika sudah berkeluarga, saya hanya
mengembangkan kemampuan. Tidak lagi repot dengan belajar dan berlatih sebagai
pemula. Sesekali belajar hanya untuk proses pengembangan kemampuan.
Saran terakhir,
kalau kawan-kawan pemula belum mampu menguasai tulis-menulis tetapi sudah
berhasrat untuk berumah tangga, tinggalkan saja kegiatan tulis-menulis atau keinginan untuk menjadi penulis itu
sekarang juga! Sebab, percuma. Tidak akan ada kemajuan apa-apa jika sudah
berumah tangga. Mengolah-kelola rumah tangga jauh lebih penting daripada urusan
belajar-berlatih tulis-menulis yang sekadar hobi.
Itu saja dari saya.
*******
Pinggir Panggung Renung, 29
Maret 2019