Saya akan selalu
berprinsip “anti-omong kosong”. Karya harus menjadi bukti nyata. Tidak harus
yang spektakuler. Tidak harus yang mendapat puja-puji. Tidak pula yang harus mendapat honor. Minimal, ya, di blog pribadi model begini.
Itu juga yang saya
ajari kepada Parmin, aset penulis muda Balikpapan. Dan, pengajaran ini masih
panjang, sampai Parmin benar-benar menjadi penulis.
Parmin masih merintis jalannya untuk “menjadi”. Ia masih harus banyak belajar. Hal yang masih saja terlihat, dan sangat sepele, adalah ejaan. Parmin masih belum juga memahami penggunaan “di” dan “di-“. Ia bisa bingung antara "di penjara" dan "dipenjara". Itu persoalannya.
Parmin masih merintis jalannya untuk “menjadi”. Ia masih harus banyak belajar. Hal yang masih saja terlihat, dan sangat sepele, adalah ejaan. Parmin masih belum juga memahami penggunaan “di” dan “di-“. Ia bisa bingung antara "di penjara" dan "dipenjara". Itu persoalannya.
Dan, saya tidak
akan pernah mengajari yang selain Parmin. Saya sudah menyerah. Sebab, selain
Parmin, orang-orang yang kelihatan rajin menulis itu, ternyata tidak segigih
Parmin. Kalau bukan sekadar iseng menulis, cita-cita mereka hanya ingin terkenal, bukannya benar-benar menjadikan
tulis-menulis sebagai gaya hidup, rajin belajar mengamati tulisan, dan serius
menulis. Ah, sudahlah.
Satu lagi saya
contohkan pada Parmin, yaitu Berlebaran
di Sebuah Kampung Nelayan Manggar, Balikpapan. Tulisan itu saya buat
sepulang dari rumahnya, saya pajang, dan mendapat predikat “Headline” di
Kompasiana. (http://v20106.kompasiana.com/gusnoy/berlebaran-di-sebuah-kampung-nelayan-manggar-balikpapan_595173540bb0bd02672d3f22)
Pada tulisan itu
saya mengajari Parmin mengenai memanfaatkan suatu kesempatan masa kini, dan menghargai masa lalu yang relevan
(terkait). Kesemuanya diolah-kelola menjadi suatu karya yang menyenangkan
banyak pihak dalam NKRI sebab Kompasiana adalah media sosial untuk berbagi, bukan media
pribadi. Kalau media pribadi, ya, saya menuliskannya di blog ini.
Hal lainnya adalah
ketika bertemu dengan kedua kakak dan bapaknya Parmin. Parmin memang adik dan
anak kesayangan setelah saya mengamati obrolan. Salah seorang kakaknya, yang
alumni Akprind, memiliki latar pers kampus juga. Saya pun bisa lebih nyaman
dengan kenyataan itu, dan diam-diam berharap, kelak Parmin benar-benar “menjadi”.
Sudah, begitu saja,
ya?
*******
Panggung Renung Balikpapan, 30 Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar