Jumat, 30 Juni 2017

Mengajari dengan Karya

Saya akan selalu berprinsip “anti-omong kosong”. Karya harus menjadi bukti nyata. Tidak harus yang spektakuler. Tidak harus yang mendapat puja-puji. Tidak pula yang harus mendapat honor. Minimal, ya, di blog pribadi model begini.

Itu juga yang saya ajari kepada Parmin, aset penulis muda Balikpapan. Dan, pengajaran ini masih panjang, sampai Parmin benar-benar menjadi penulis.

Parmin masih merintis jalannya untuk “menjadi”. Ia masih harus banyak belajar. Hal yang masih saja terlihat, dan sangat sepele, adalah ejaan. Parmin masih belum juga memahami penggunaan “di” dan “di-“. Ia bisa bingung antara "di penjara" dan "dipenjara". Itu persoalannya.

Dan, saya tidak akan pernah mengajari yang selain Parmin. Saya sudah menyerah. Sebab, selain Parmin, orang-orang yang kelihatan rajin menulis itu, ternyata tidak segigih Parmin. Kalau bukan sekadar iseng menulis, cita-cita mereka hanya ingin terkenal, bukannya benar-benar menjadikan tulis-menulis sebagai gaya hidup, rajin belajar mengamati tulisan, dan serius menulis. Ah, sudahlah.

Satu lagi saya contohkan pada Parmin, yaitu Berlebaran di Sebuah Kampung Nelayan Manggar, Balikpapan. Tulisan itu saya buat sepulang dari rumahnya, saya pajang, dan mendapat predikat “Headline” di Kompasiana. (http://v20106.kompasiana.com/gusnoy/berlebaran-di-sebuah-kampung-nelayan-manggar-balikpapan_595173540bb0bd02672d3f22)  

Pada tulisan itu saya mengajari Parmin mengenai memanfaatkan suatu kesempatan masa kini, dan menghargai masa lalu yang relevan (terkait). Kesemuanya diolah-kelola menjadi suatu karya yang menyenangkan banyak pihak dalam NKRI sebab Kompasiana adalah media sosial untuk berbagi, bukan media pribadi. Kalau media pribadi, ya, saya menuliskannya di blog ini.

Hal lainnya adalah ketika bertemu dengan kedua kakak dan bapaknya Parmin. Parmin memang adik dan anak kesayangan setelah saya mengamati obrolan. Salah seorang kakaknya, yang alumni Akprind, memiliki latar pers kampus juga. Saya pun bisa lebih nyaman dengan kenyataan itu, dan diam-diam berharap, kelak Parmin benar-benar “menjadi”.

Sudah, begitu saja, ya? 

*******
Panggung Renung Balikpapan, 30 Juni 2017

Minggu, 25 Juni 2017

Menerbitkan Buku Sendiri Tanpa Penerbit dan ISBN*

Melalui akun Fb pada 24 Juni Irwan Bajang menulis judul Buku Tanpa Penerbit dan ISBN di berandanya. “Habis lebaran nanti saya mau menerbitkan buku. Tanpa penerbit dan tanpa ISBN. Serius. Saya ingin tunjukkan pada semua penulis bahwa menerbitkan buku itu tidak perlu rumit dan tidak perlu aturan aneh-aneh. Ini serius. Saya bahkan nggak akan pakai nama penerbit yang saya dirikan dan saya kelola selama ini,” urai si pendiri Penerbitan Indie Book Corner.

Kemudian Ricardhus Benny Pradipta mengirim tanggapan ke beranda Irwan, “Buku Tanpa Penerbit , Tanpa Review Kritik (endorsement), dan Tanpa ISBN itu dibeli atau tidak? Sesudah kuliah selesai saya akan menerbitkan buku. Tanpa penerbit dan tanpa ISBN. Serius. Saya juga ingin tunjukkan pada semua penulis bahwa menerbitkan buku itu tidak perlu rumit dan tidak perlu aturan aneh-aneh. Ini serius. Saya bahkan nggak akan pakai nama penerbit yang membesarkan nama saya selama ini.

Penerbit Buku dan ISBN

Penerbit buku, mudahnya, adalah suatu badan usaha yang bergerak di bidang pengelolaan penerbitan buku, baik fiksi maupun non-fiksi. Contohnya Gramedia-Kompas, Mizan, Indonesiatera, dan lain-lain. Badan usaha ini, biasanya, dikelola oleh beberapa orang, mulai dari penyunting, pemeriksa aksara, pembuat sampul, penata isi atau juga penata artistik, pemasar, dan lain-lain.

Penerbit buku biasanya juga menerima karya-karya kontributor yang layak diterbitkan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, tergantung masing-masing penerbit. Kriteria utama dalam era industrialisme-kapitalisme buku, biasanya, adalah naskah-naskah yang berpotensi daya jual, apalagi kontributornya adalah penulis terkenal.

Ya,  industrialisme-kapitalisme berkaitan dengan modal. Modal mengelola, mencetak, menjual-memasarkan buku. Hak cipta kontributor disebut dengan royalti, yang nilainya sekian persen dari harga buku, dibayarkan pada kurun waktu tertentu, dan seterusnya.

Sementara ISBN (International Serial Book Number) adalah nomor penerbitan sebuah buku yang dikeluarkan oleh Perpustakaan Nasional. Salah satu maksud adanya ISBN ini adalah agar sebuah buku yang diterbitkan dapat diketahui pula oleh negara lain atau seluruh dunia. Untuk lebih jelasnya, dapat dicari sendiri melalui mesin pencari internet.

Untuk mendapatkan ISBN, sebuah penerbit akan mengajukan surat permohonan kepada Perpustakaan Nasional, mendapat nomor anggota, dan ISBN untuk buku yang akan diterbitkan. Sejak 2014, pengurusan ISBN memang “agak rumit” karena sebuah penerbit harus memiliki surat notaris.

Dewasa ini tidak sedikit penerbit muncul, dan memberi kemudahan bagi penulis untuk menerbitkan buku dengan sebutan “penerbitan sendiri” (self-publishing). Melalui penerbitan ini urusan ISBN sampai pemasarannya sudah bisa dikelola sendiri oleh penerbitan tersebut. Mengenai royalti, sudah pula dipajang pada situs internet penerbit.

Membuat Buku Sendiri  

Apakah bisa membuat buku sendiri tanpa penerbit dan ISBN? Bisa, dan mudah saja. Kalau sudah siap naskahnya, baik sampul dalam format JPG maupun isi dalam format PDF, bisa langsung dikirim ke sebuah percetakan.

Selain penerbitan yang sudah banyak memberikan kemudahan tanpa kerepotan soal isi apalagi mutu karya, percetakan pun muncul di internet, memajang harga cetak, nomor telepon atau alamat pos elektronik yang bisa dihubungi, dan semakin meramaikan industrialiasi buku. Percetakan akan mencetak buku sesuai dengan permintaan (print on demand atau POD) yang berwujud naskah (sampul, isi, spesifikasi bahan buku), dan jumlahnya bisa minimalis, semisal 10-20 buku per judul.

Tidak perlu nama suatu penerbit? Kalau mau, buatkan saja, misalnya “Penerbit Slamet Bersaudara”, tanpa perlu repot mengenai legalitas apa pun. Atau tanpa nama penerbit. Cukup dengan nama penulis atau pencipta karya yang akan dibukukan, semisal Suluman Sulumun Slamet.

Tidak perlu juga ISBN? Kalau hanya untuk sekadar membukukan karya sendiri, boleh saja tanpa ISBN. Bisa begitu, ya? Iya, bisa. Toh yang terpenting naskah bisa dibukukan dengan biaya sendiri yang sudah disepakati dengan pihak percetakan.

Tanpa ISBN berarti buku yang diterbitkan tidak tercatat pada katalog Perpustakaan Nasional. Bagi penulis atau pencipta karya yang tidak peduli dengan arsip bukunya dalam katalog resmi Perpustakaan Nasional, tanpa ISBN pun buku bisa tercetak dan terbit.    

Kisaran Biaya Cetak untuk Satu Judul Buku

Dengan modal sekitar Rp.700.000,00 untuk wilayah di luar Jawa (terkait dengan ongkos kirim), buku sendiri bisa tercetak-terbit dengan jumlah 20 eksemplar. Mengenai harga, bisa langsung dicari melalui mesin pencari internet mengenai itu, termasuk alamat percetakannya. Dan, ya, wajar, semakin sedikit, biaya cetak semakin mahal.

Seseorang yang biasa menulis pasti memiliki naskah yang siap dibukukan. Mengenai berapa halaman atau tebal-tipis untuk sebuah buku, bisa diperkirakan sendiri berdasarkan ukuran buku. Kemudian naskah yang sudah ada tersebut diolah sendiri dengan penataan sendiri. Yang jelas, sampul dan isi sudah dipersiapkan dalam format JPG dan PDF.

Dengan kesiapan naskah sekaligus modal yang sekitar Rp.700.000,00, apakah sulit bagi seseorang yang bergaji bulanan sekitar Rp.3.000.000,00? Tentu tidak, ‘kan, kalau sudah diperhitungkan secara saksama untuk kurun waktu tertentu, semisal menabung Rp.200.000,00 per bulan?  

Siapa Pun bisa Mewujudkannya

Apa yang disampaikan oleh Irwan Bajang dan Ricardhus Benny Pradipta tentang menerbitkan buku tanpa penerbit dan ISBN bukanlah suatu khayalan yang tidak terlalu muluk. Siapa pun, khususnya yang sudah menyiapkan naskah dan modal, bisa mewujudkannya.

Naskah dan biaya. Dua hal saja yang paling penting agar siapa pun bisa menerbitkan bukunya sendiri tanpa perlu repot memikirkan bagaimana mutu buku, siapa peminatnya, dan seberapa laris menjual buku. Kalau sekadar menerbitkan buku tanpa penerbit dan ISBN, ya, memang begitu mudah mewujudkannya.

Dan, kalau bisa mudah, mengapa harus dipersulit? Bukankah tujuannya cuma membuat buku sendiri, dengan embel-embel mengabadikan karya sendiri, dan, mungkin, sebagian untuk dijadikan sumbangan ke perpustakaan umum, sekolah-kampus, atau suvenir suatu hajatan?

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2017

*tulisan ini saya pajang di Kompasiana, dan mendapat predikat "Headline". http://v20106.kompasiana.com/gusnoy/menerbitkan-buku-sendiri-tanpa-penerbit-dan-isbn-bisakah_59502b0983afbd513bfa54fc