Jumat, 13 September 2019

Tunggu Aku Kaya


Aku tidak mengetahui secara pasti mengenai geliat tulis-menulis di Balikpapan pasca-2014. Kemunculan novel karya Alfian pun masih perlu pembuktian untuk konsistenitas dan kontinyuitas bagi penulis lainnya.

Sementara aku harus menghidupi keluarga, karena aku kepala rumah tangga. Berkeluarga bukanlah sekadar selembar Kartu Keluarga (KK/C 1) yang baru.  

Biaya hidup di Kota Minyak tidaklah murah. Aku tidak memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang banyak. Pergi ke luar Balikpapan dengan alasan bekerja, ternyata, tetap tidak sesuai dengan kelaziman sebuah pekerjaan dan hasil secara finansial.

Mungkin kondisi ini berbeda dengan jika aku bujangan. Kalau bujangan, aku bisa bergerak bebas, karena tidak ada tanggungan. Bisa pagi sampai pagi, siapa yang akan melarang, ‘kan?

Aku tidak menyesali kondisi, karena, toh, aku pindah ke Balikpapan hanya satu alasan, yaitu menikah. Kalau bukan alasan itu, manalah mungkin aku mau pindah ke Balipapan, terlebih biaya hidup yang sangat tinggi.

Akan tetapi, bagaimanapun, aku sudah menjadi warga Balikpapan. Lantas?

Aku harus mengumpulkan banyak uang, memberi jaminan ekonomi untuk keluarga sampai tabunganku berlimpah, barulah aku bisa membantu kaum muda dalam tulis-menulis. Aku harus mapan secara ekonomi, karena realitas tidak cukup sebatas sebuah pekerjaan yang mirip kerja bakti belaka.

Misalnya untuk memenuhi undangan ngobrol. Biasanya di warung atau kafe. Bagaimana kalau aku tidak memiliki uang untuk bahan bakar, dan sekadar minum kopi?

Misalnya lagi untuk emmenuhi undangan ngobrol di luar kota. Apakah tidak perlu uang untuk ongkos perjalanan?

Sepele, ya? Kalau sepele, ya, siapkan uangnya untukku dong. Tidak perlu sampai berjuta-juta rupiah. Cukup ongkos yang ada, bagaimana? Kalau tidak mau memberi ongkos, ya, percuma menyebutnya “sepele”. Sepele saja pelit, apalagi kalau tidak sepele, ‘kan?

Jangan heran lagi kalau aku tidak mau menghadiri acara apa pun yang berbau kesenian atau sastra. Aku belum kaya. Aku belum memiliki uang untuk aku “buang” begitu saja. Keluarga tetap nomor satu, karena aku datang di Balikpapan memang untuk berkeluarga.

Kami juga bukanlah keluarga kaya. Kami tidak mampu membeli mobil. Mobil masih menjadi indikasi kekayaan, karena biaya merawat dan mengoperasionalkan mobil tidaklah murah jika dibandingkan dengan motor.

Dan, jangankan membeli mobil, motor pun merupakan warisan orangtua kami alias aku tidak mampu membeli motor. Itu semua berarti bahwa aku benar-benar tidak memiliki uang yang cukup memadai untuk berkegiatan yang sekadar "membuang" uang di warung kopi.

Di samping itu aku membutuhkan sponsorship dan keterlibatan lembaga atau instansi terkait. Tanpa sponsor, biaya operasional tidak ada. Tanpa lembaga atau instansi terkait, kegiatan tulis-menulis hanya semacam sambilan untuk hal-hal yang tidak kreatif-produktif.

Aku tidak mampu melakukan pembinaan dengan seorang diri saja. Upaya mengolah dan mengelola SDM harus dilakukan dengan tim, supaya pembagian porsi bisa terjadi, konsentrasi bisa tepat sasaran, dan optimasi atas regenerasi penulis bisa terjadi.

Toh, secara pribadi, aku masih terus menulis, bahkan sebagian telah terkumpul dalam buku-buku karya tunggalku. Meski kondisi keuangan sangat minimalis, aku berusaha keras untuk konsisten dalam produktivitas karya.

Sekarang bagaimana dengan putera-puteri Balikpapan sendiri, terlebih persiapan untuk menyambut pembangunan ibu kota baru di Provinsi Kaltim ini    ?  

*******
Kupang, 13 September 2019

Kamis, 12 September 2019

POLITIK HARGA DIRI entah kapan terbit


Baru tujuh artikel. Belum dua puluh. Tiga belas artikel lagi, tetapi entah temanya apa lagi.

Sementara judul sudah ada, dan rencana sampul depan sudah selesai.

Tinggal rajin menulis, mencari data valid, dan menayangkannya di Kompasiana.