9 agustus 2019
Blog ini dikhususkan untuk merekam jejak tulis-menulis lainnya yang merupakan sisi lain seorang Gus Noy. Ya, inilah Jaringan Penulis Sendirian, Jaringan Penulis Semaunya, Jaringan Penulis Sesukanya, dan JANGAN PEDULI SETAN.
Rabu, 18 September 2019
Jumat, 13 September 2019
Tunggu Aku Kaya
Aku tidak
mengetahui secara pasti mengenai geliat tulis-menulis di Balikpapan pasca-2014.
Kemunculan novel karya Alfian pun masih perlu pembuktian untuk konsistenitas
dan kontinyuitas bagi penulis lainnya.
Sementara aku harus
menghidupi keluarga, karena aku kepala rumah tangga. Berkeluarga bukanlah
sekadar selembar Kartu Keluarga (KK/C 1) yang baru.
Biaya hidup di Kota
Minyak tidaklah murah. Aku tidak memiliki pekerjaan tetap dengan gaji yang
banyak. Pergi ke luar Balikpapan dengan alasan bekerja, ternyata, tetap tidak
sesuai dengan kelaziman sebuah pekerjaan dan hasil secara finansial.
Mungkin kondisi ini
berbeda dengan jika aku bujangan. Kalau bujangan, aku bisa bergerak bebas,
karena tidak ada tanggungan. Bisa pagi sampai pagi, siapa yang akan melarang,
‘kan?
Aku tidak menyesali
kondisi, karena, toh, aku pindah ke
Balikpapan hanya satu alasan, yaitu menikah. Kalau bukan alasan itu, manalah
mungkin aku mau pindah ke Balipapan, terlebih biaya hidup yang sangat tinggi.
Akan tetapi,
bagaimanapun, aku sudah menjadi warga Balikpapan. Lantas?
Aku harus
mengumpulkan banyak uang, memberi jaminan ekonomi untuk keluarga sampai
tabunganku berlimpah, barulah aku bisa membantu kaum muda dalam tulis-menulis.
Aku harus mapan secara ekonomi, karena realitas tidak cukup sebatas sebuah
pekerjaan yang mirip kerja bakti belaka.
Misalnya untuk
memenuhi undangan ngobrol. Biasanya di warung atau kafe. Bagaimana kalau aku
tidak memiliki uang untuk bahan bakar, dan sekadar minum kopi?
Misalnya lagi untuk
emmenuhi undangan ngobrol di luar kota. Apakah tidak perlu uang untuk ongkos
perjalanan?
Sepele, ya? Kalau
sepele, ya, siapkan uangnya untukku dong.
Tidak perlu sampai berjuta-juta rupiah. Cukup ongkos yang ada, bagaimana? Kalau
tidak mau memberi ongkos, ya, percuma menyebutnya “sepele”. Sepele saja pelit,
apalagi kalau tidak sepele, ‘kan?
Jangan heran lagi
kalau aku tidak mau menghadiri acara apa pun yang berbau kesenian atau sastra. Aku
belum kaya. Aku belum memiliki uang untuk aku “buang” begitu saja. Keluarga
tetap nomor satu, karena aku datang di Balikpapan memang untuk berkeluarga.
Kami juga bukanlah keluarga kaya. Kami tidak mampu membeli mobil. Mobil masih menjadi indikasi kekayaan, karena biaya merawat dan mengoperasionalkan mobil tidaklah murah jika dibandingkan dengan motor.
Dan, jangankan membeli mobil, motor pun merupakan warisan orangtua kami alias aku tidak mampu membeli motor. Itu semua berarti bahwa aku benar-benar tidak memiliki uang yang cukup memadai untuk berkegiatan yang sekadar "membuang" uang di warung kopi.
Di samping itu aku membutuhkan sponsorship dan keterlibatan lembaga atau instansi terkait. Tanpa sponsor, biaya operasional tidak ada. Tanpa lembaga atau instansi terkait, kegiatan tulis-menulis hanya semacam sambilan untuk hal-hal yang tidak kreatif-produktif.
Kami juga bukanlah keluarga kaya. Kami tidak mampu membeli mobil. Mobil masih menjadi indikasi kekayaan, karena biaya merawat dan mengoperasionalkan mobil tidaklah murah jika dibandingkan dengan motor.
Dan, jangankan membeli mobil, motor pun merupakan warisan orangtua kami alias aku tidak mampu membeli motor. Itu semua berarti bahwa aku benar-benar tidak memiliki uang yang cukup memadai untuk berkegiatan yang sekadar "membuang" uang di warung kopi.
Di samping itu aku membutuhkan sponsorship dan keterlibatan lembaga atau instansi terkait. Tanpa sponsor, biaya operasional tidak ada. Tanpa lembaga atau instansi terkait, kegiatan tulis-menulis hanya semacam sambilan untuk hal-hal yang tidak kreatif-produktif.
Aku tidak mampu
melakukan pembinaan dengan seorang diri saja. Upaya mengolah dan mengelola SDM
harus dilakukan dengan tim, supaya pembagian porsi bisa terjadi, konsentrasi
bisa tepat sasaran, dan optimasi atas regenerasi penulis bisa terjadi.
Toh, secara pribadi, aku masih terus menulis, bahkan sebagian telah
terkumpul dalam buku-buku karya tunggalku. Meski kondisi keuangan sangat
minimalis, aku berusaha keras untuk konsisten dalam produktivitas karya.
Sekarang bagaimana
dengan putera-puteri Balikpapan sendiri, terlebih persiapan untuk menyambut
pembangunan ibu kota baru di Provinsi Kaltim ini ?
*******
Kupang, 13
September 2019
Kamis, 12 September 2019
POLITIK HARGA DIRI entah kapan terbit
Baru tujuh artikel. Belum dua puluh. Tiga belas artikel lagi, tetapi entah temanya apa lagi.
Sementara judul sudah ada, dan rencana sampul depan sudah selesai.
Tinggal rajin menulis, mencari data valid, dan menayangkannya di Kompasiana.
Langganan:
Postingan (Atom)