Kamis, 15 Agustus 2019

Hadiah dan Ibu dan Ada Aku yang Lain


Mungkin aku masih percaya pada kekuatan telinga dan mata daripada mendayagunakan ketangguhan jiwa dalam upaya menyiasati segala sengketa antarsituasi sehari-hari. Mungkin kamu bingung mengenai apa yang hendak kusampaikan ini.

Baru kini, tepatnya 9 Agustus, aku berani melawan kesewenang-wenangan seorang majikan atau pemberi pekerjaan. Dengan kesewenang-wenangannya itu aku menyatakan bahwa dia justru jauh lebih keji daripada program tanam paksa dan kerja paksa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.

Ya, menurutku, dia sudah keterlaluan memperlakukan aku. Tidak ada hak dan kewajiban yang diterikat oleh aspek formalitas-legalitas, tetapi aku telah memberinya sebagian hasil yang melampaui apa yang pernah diharapkan atau dibayangkannya.

Sebelum 9 Agustus, aku melakoni sebuah peran paling mengenaskan dari sekian episode kehidupan sebelumnya. Kesemua episode itu berangkat dari kemiskinan yang menyusup dalam sumsumku setelah aku berada di luar lingkaran kenyamanan yang dijaminkan oleh sebuah ikatan formal-legal.

Anggap saja sebuah aktualisasi atas pepatah “Sudah jatuh, tertimpa tangga pula”. Sudah miskin, diperas lagi. Apakah itu tidak keterlaluan?

***
Kemiskinan selalu meneteskan keharuan perihal manusia memangsa sesamanya atas nama apa saja. Kemiskinan terlalu lama memperbudak dengan aneka ketakutan dan kecemasan. Kemiskinan hanya menghidupkan hantu-hantu hingga bergentayangan pada setiap perenungan. Bahkan, kemiskinan berhasil melumpuhkan sendi-sendi optimistis.

Kuakui, kemiskinan telah berpengaruh mutlak dalam setiap kegagalanku. Aku mengalami sebuah ketakutan yang akut. Aku gemetar menjelang fajar. Aku menggigil menjelang senja. Kegelapan apa lagikah yang sedang bersiap untuk meringkusku?

Di sisi lain, aku berusaha melakukan pembenaran sebagai upaya serius untuk menghibur diriku. Kemiskinan merupakan sesuatu yang bla-bla-bla-bla. Mungkin juga sebuah usaha santai pada saat situasi semakin sekarat.

***
9 Agustus merupakan hari bersejarah bagiku pada saat situasi semakin sekarat dalam perbudakan dan kesewenang-wenangan. Di toko bahan elektronik “Lancar”, Kupang, aku menerima kabar dari Ibu.

Sewaktu menerima kabar itu, aku belum sadar dari pengaruh sihir perbudakan. Kesadaranku seolah terbelit dalam gulungan kabel NYM 3 X 2,5. Aku menanggapi kabar Ibu dengan datar-datar saja.

Sekian jam setelah menerima kabar itu, barulah saya sadar. Oh, ternyata…

Aku merasa mendapat “sengatan” listrik baru untuk bangkit, dan menjadi sebuah sosok yang seharusnya : berani mengatakan suatu kebenaran yang semestinya dinyatakan.  

***
Saya percaya bahwa seorang ibu memiliki suatu naluri alamiah yang berasal dari sebuah ikatan batin dengan anaknya, meskipun si anak sudah dewasa sekali. Sewaktu masih berkuliah di Jogja, aku pernah ditelepon oleh Ibu melalui telepon milik induk semang.

“Kamu sakit, ya?”

Begitu pertanyaan Ibu, dan saya iyakan.

Beberapa kali telepon dari Ibu selalu hadir pada saat aku sedang mengalami suatu penderitaan atau akan mengalami suatu kesusahan. Dan, sampai usia saya dengan kepala empat ini, naluri Ibu masih saja berfungsi.

***
Mungkin aku masih belum beranjak dari lingkaran duniaku yang lain. Mungkin aku terlalu jauh meninggalkan diriku yang hakiki. Mungkin kamu semakin kebingungan dengan apa yang sesungguhnya hendak kusampaikan ini.

Apa pun itu, kini aku “merasa” memiliki sebuah kekuatan dari Ibu untuk menghadapi praktik-praktik perbudakan antarsesama manusia yang kualami sendiri. Dengan “merasa”, tentu saja, sangat situasional, dan perlu adanya sikap pembenahan yang signifikan hingga “merasa” itu lenyap, dan hakikat “memiliki” merupakan kenyataan yang konkret.

Akan tetapi, untuk sementara ini cukuplah pada tahap “merasa”. Aku harus mengupayakannya seoptimal mungkin agar menjadi sesuatu yang konkret.

Aku melawan kesewenang-wenangan seorang pemberi pekerjaan. Janganlah dia “mentang-mentang” tetapi malah memungkiri seutas hakikat yang mengikat antara manusia dan kemanusiaan. Janganlah ketika aku mengakui kemiskinanku lantas dia boleh seenaknya memperbudak aku.

Memang, keberanianku melawan sikapnya itu cenderung mengungkapkan perihal sisi lain diriku, yakni sisi pemberontak yang mendadak muncul dari kegelapan. Tidak mustahil bahwa perihal ini pun bisa berbalik arah padaku sendiri. Aku wajib waspada.

*******
Kupang, 15 Agustus 2019