Mungkin aku masih
percaya pada kekuatan telinga dan mata daripada mendayagunakan ketangguhan jiwa
dalam upaya menyiasati segala sengketa antarsituasi sehari-hari. Mungkin kamu
bingung mengenai apa yang hendak kusampaikan ini.
Baru kini, tepatnya
9 Agustus, aku berani melawan kesewenang-wenangan seorang majikan atau pemberi
pekerjaan. Dengan kesewenang-wenangannya itu aku menyatakan bahwa dia justru
jauh lebih keji daripada program tanam paksa dan kerja paksa sebelum
kemerdekaan Republik Indonesia.
Ya, menurutku, dia
sudah keterlaluan memperlakukan aku. Tidak ada hak dan kewajiban yang diterikat
oleh aspek formalitas-legalitas, tetapi aku telah memberinya sebagian hasil
yang melampaui apa yang pernah diharapkan atau dibayangkannya.
Sebelum 9 Agustus,
aku melakoni sebuah peran paling mengenaskan dari sekian episode kehidupan sebelumnya.
Kesemua episode itu berangkat dari kemiskinan yang menyusup dalam sumsumku
setelah aku berada di luar lingkaran kenyamanan yang dijaminkan oleh sebuah
ikatan formal-legal.
Anggap saja sebuah
aktualisasi atas pepatah “Sudah jatuh, tertimpa tangga pula”. Sudah miskin,
diperas lagi. Apakah itu tidak keterlaluan?
***
Kemiskinan selalu
meneteskan keharuan perihal manusia memangsa sesamanya atas nama apa saja. Kemiskinan
terlalu lama memperbudak dengan aneka ketakutan dan kecemasan. Kemiskinan hanya
menghidupkan hantu-hantu hingga bergentayangan pada setiap perenungan. Bahkan,
kemiskinan berhasil melumpuhkan sendi-sendi optimistis.
Kuakui, kemiskinan telah berpengaruh mutlak
dalam setiap kegagalanku. Aku mengalami sebuah ketakutan yang akut. Aku gemetar
menjelang fajar. Aku menggigil menjelang senja. Kegelapan apa lagikah yang sedang
bersiap untuk meringkusku?
Di sisi lain, aku berusaha
melakukan pembenaran sebagai upaya serius untuk menghibur diriku. Kemiskinan
merupakan sesuatu yang bla-bla-bla-bla. Mungkin juga sebuah usaha santai pada
saat situasi semakin sekarat.
***
9 Agustus merupakan
hari bersejarah bagiku pada saat situasi semakin sekarat dalam perbudakan dan
kesewenang-wenangan. Di toko bahan elektronik “Lancar”, Kupang, aku menerima
kabar dari Ibu.
Sewaktu menerima
kabar itu, aku belum sadar dari pengaruh sihir perbudakan. Kesadaranku seolah
terbelit dalam gulungan kabel NYM 3 X 2,5. Aku menanggapi kabar Ibu dengan
datar-datar saja.
Sekian jam setelah
menerima kabar itu, barulah saya sadar. Oh, ternyata…
Aku merasa mendapat
“sengatan” listrik baru untuk bangkit, dan menjadi sebuah sosok yang seharusnya
: berani mengatakan suatu kebenaran yang semestinya dinyatakan.
***
Saya percaya bahwa
seorang ibu memiliki suatu naluri alamiah yang berasal dari sebuah ikatan batin
dengan anaknya, meskipun si anak sudah dewasa sekali. Sewaktu masih berkuliah
di Jogja, aku pernah ditelepon oleh Ibu melalui telepon milik induk semang.
“Kamu sakit, ya?”
Begitu pertanyaan
Ibu, dan saya iyakan.
Beberapa kali
telepon dari Ibu selalu hadir pada saat aku sedang mengalami suatu penderitaan
atau akan mengalami suatu kesusahan. Dan, sampai usia saya dengan kepala empat
ini, naluri Ibu masih saja berfungsi.
***
Mungkin aku masih
belum beranjak dari lingkaran duniaku yang lain. Mungkin aku terlalu jauh
meninggalkan diriku yang hakiki. Mungkin kamu semakin kebingungan dengan apa
yang sesungguhnya hendak kusampaikan ini.
Apa pun itu, kini
aku “merasa” memiliki sebuah kekuatan dari Ibu untuk menghadapi praktik-praktik
perbudakan antarsesama manusia yang kualami sendiri. Dengan “merasa”, tentu
saja, sangat situasional, dan perlu adanya sikap pembenahan yang signifikan
hingga “merasa” itu lenyap, dan hakikat “memiliki” merupakan kenyataan yang konkret.
Akan tetapi, untuk
sementara ini cukuplah pada tahap “merasa”. Aku harus mengupayakannya seoptimal
mungkin agar menjadi sesuatu yang konkret.
Aku melawan
kesewenang-wenangan seorang pemberi pekerjaan. Janganlah dia “mentang-mentang”
tetapi malah memungkiri seutas hakikat yang mengikat antara manusia dan
kemanusiaan. Janganlah ketika aku mengakui kemiskinanku lantas dia boleh seenaknya
memperbudak aku.
Memang,
keberanianku melawan sikapnya itu cenderung mengungkapkan perihal sisi lain
diriku, yakni sisi pemberontak yang mendadak muncul dari kegelapan. Tidak
mustahil bahwa perihal ini pun bisa berbalik arah padaku sendiri. Aku wajib
waspada.
*******
Kupang, 15 Agustus
2019