Minggu, 08 Juli 2018

Pembualan


Suatu sore saya pulang dari suatu tempat melewati Jalan Ahmad Yani. Di pertigaan Puskip, saya menurunkan kecepatan karena berbelok ke kanan (Puskib) yang menuju rumah di Martadinata.

Dari arah belakang saya terdengar suara knalpot yang bising, dan, saya pikir, si pengandara akan berbelok ke kanan juga. Sebentar saja di sudah berada di samping saya seraya menarik gas sehingga knalpotnya semakin ribut.

Sekilas saya menoleh ke arah. Dia menatap saya, dan justru semakin menggeber-nggeberkan kebisingan. Matanya agak memicing seakan dia adalah pembalap sejati, raja jalanan, dan meremehkan saya atau siapa pun di dekatnya.

Begitu ada peluang untuk melitas di pertigaan, dia menarik gas sekencang-kencangnya. Ya, ngebut atau sedang berbalapan dengan imajinasinya sendiri. Biasalah, orang yang memang bukan pembalap pasti sering begitu. Berlagak sudah pembalap sejati, dan hanya jalan raya yang menjadi sirkuitnya..  

***

Takabur atau berlagak, baik gaya maupun omong besar, sering kali disebut “pembualan” oleh orang Balikpapan. Kalau dalam suasana bergurau, pembualan pun menjadi bumbu gurauan. Tetapi di luar suasana itu, pembualan merupakan tabiat/karakter.

Bagi saya, pemandangan semacam itu (pembualan) sudah biasa. Dalam pergaulan “bersastra” (saya beri tanda petik karena saya tidak yakin bahwa hal tersebut memang benar adanya) sekian tahun lalu, pembualan sebagian orang justru membuat saya malu sendiri.

Ya, saya mengenal sebagian orang itu, bahkan termasuk segelintir yang parah. Parahnya ialah sebagai berikut :
1. Tidak berpendidikan khusus di bidang Sastra.
2. Tidak pernah mengikuti pelatihan tulis-menulis secara jelas.
3. Kurang wawasan.
4. Kurang bahkan malas membaca.
5. Tidak bergaul dengan kalangan sastrawan sesungguhnya.
6. Menulis tergantung suasana hati (mood).
7. Kurang memahami kaidah penulisan.
8. Tidak berani berkompetisi.
9. Lagak seperti sastrawan.
10. Bangga kalau disebut “sastrawan”.
11. Marah, ngambek, atau main keroyok ketika karya dikritik.
12. Kalau sudah berkumpul, suka menilai orang atau kelompok lain dengan buruk.

Mungkin masih ada keparahan lanjutannya yang belum saya ketahui.

***

Saya tidak tertarik berkumpul dengan para pemuja pembualan seperti pembalap imajiner tadi. Lebih 20 tahun saya menekuni tulis-menulis dengan beberapa genre serta penghargaan, saya sendiri tetap tidak takabur alias pembualan. Saya tidak pernah merasa diri saya “sudah menjadi”. Saya masih ‘wajib’ belajar dan berlatih.

Saya merasa tidak cocok bergaul dengan para pemuja pembualan. Tentu saja, saya pun memilih keluar saja dari perkumpulan orang semacam itu. Saya menyendiri, bergaul dengan para sastrawan sejati via internet, mengikuti perkembangan dunia sastra, membaca, menulis, dan berkompetisi sendiri.

*******
Panggung Renung - Balikpapan, 8 Juli 2018