Suatu sore saya pulang
dari suatu tempat melewati Jalan Ahmad Yani. Di pertigaan Puskip, saya
menurunkan kecepatan karena berbelok ke kanan (Puskib) yang menuju rumah di
Martadinata.
Dari arah belakang
saya terdengar suara knalpot yang bising, dan, saya pikir, si pengandara akan
berbelok ke kanan juga. Sebentar saja di sudah berada di samping saya seraya
menarik gas sehingga knalpotnya semakin ribut.
Sekilas saya
menoleh ke arah. Dia menatap saya, dan justru semakin menggeber-nggeberkan
kebisingan. Matanya agak memicing seakan dia adalah pembalap sejati, raja
jalanan, dan meremehkan saya atau siapa pun di dekatnya.
Begitu ada peluang
untuk melitas di pertigaan, dia menarik gas sekencang-kencangnya. Ya, ngebut
atau sedang berbalapan dengan imajinasinya sendiri. Biasalah, orang yang memang
bukan pembalap pasti sering begitu. Berlagak sudah pembalap sejati, dan hanya
jalan raya yang menjadi sirkuitnya..
***
Takabur atau berlagak,
baik gaya maupun omong besar, sering kali disebut “pembualan” oleh orang
Balikpapan. Kalau dalam suasana bergurau, pembualan pun menjadi bumbu gurauan. Tetapi
di luar suasana itu, pembualan merupakan tabiat/karakter.
Bagi saya,
pemandangan semacam itu (pembualan) sudah biasa. Dalam pergaulan “bersastra”
(saya beri tanda petik karena saya tidak yakin bahwa hal tersebut memang benar
adanya) sekian tahun lalu, pembualan sebagian orang justru membuat saya malu
sendiri.
Ya, saya mengenal
sebagian orang itu, bahkan termasuk segelintir yang parah. Parahnya ialah
sebagai berikut :
1. Tidak berpendidikan
khusus di bidang Sastra.
2. Tidak pernah
mengikuti pelatihan tulis-menulis secara jelas.
3. Kurang wawasan.
4. Kurang bahkan malas
membaca.
5. Tidak bergaul
dengan kalangan sastrawan sesungguhnya.
6. Menulis tergantung
suasana hati (mood).
7. Kurang memahami
kaidah penulisan.
8. Tidak berani
berkompetisi.
9. Lagak seperti
sastrawan.
10. Bangga kalau
disebut “sastrawan”.
11. Marah, ngambek,
atau main keroyok ketika karya dikritik.
12. Kalau sudah berkumpul, suka menilai orang atau kelompok lain dengan buruk.
Mungkin masih ada
keparahan lanjutannya yang belum saya ketahui.
***
Saya tidak tertarik
berkumpul dengan para pemuja pembualan seperti pembalap imajiner tadi. Lebih 20
tahun saya menekuni tulis-menulis dengan beberapa genre serta penghargaan, saya
sendiri tetap tidak takabur alias pembualan. Saya tidak pernah merasa diri saya
“sudah menjadi”. Saya masih ‘wajib’ belajar dan berlatih.
Saya merasa tidak
cocok bergaul dengan para pemuja pembualan. Tentu saja, saya pun memilih keluar
saja dari perkumpulan orang semacam itu. Saya menyendiri, bergaul dengan para sastrawan
sejati via internet, mengikuti perkembangan dunia sastra, membaca, menulis, dan
berkompetisi sendiri.
*******
Panggung Renung -
Balikpapan, 8 Juli 2018