28 Januari 2018 |
Berita Utama
Heboh Sastra Berbuah Pengadilan
PERDEBATAN, polemik, geger,
atau heboh di dunia sastra merupakan peristiwa biasa, sangat biasa. Itu cermin
dinamika, yang berkontribusi bagi penumbuhkembangan pemikiran teoretis dan
kemunculan kerja dan karya kreatif. Namun bisa pula sebaliknya; kontraproduktif
dan bahkan cenderung merusak. Dan, itulah yang terjadi ketika muncul buku 33
Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh.
Buku susunan Acep
Zamzam Noor, Agus R Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Damsh‰- user, Jamal D Rahman,
Joni Ariadinata, Maman S Mahayana, dan Nenden Lilis Aisyah itu menyodorkan 33
tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh dalam satu abad perjalanan sastra
Indonesia. Muncul kontroversi.
Aktivis sastra
mempertanyakan metode pemilihan para tokoh. Tak sedikit pula yang
mempertanyakan keterpilihan Denny JA(DJA) sebagai salah satu tokoh. Sebab,
mereka menilai puisi esai karya Denny tak berpengaruh sama sekali. Namun Jamal
D Rahman, ketua tim penyusun buku, menyatakan mereka tak menilai hanya melalui
karya. Karya Danarto dan Seno Gumira Ajidarma, misalnya, sangat baik dan diakui
oleh publik. Namun pengaruh terhadap perkembangan sastra sangat kurang.
Sebaliknya, karya biasa saja tetapi berpengaruh terhadap perkembangan sastra
dan jadi perdebatan dan polemik berkepanjangan. ”Akhirnya kami memutuskan 33
tokoh sesuai yang kami [Tim 8] sepakati,” kata dia saat diskusi dan peluncuran
buku itu di Pusat Data Sastra HB Jassin Taman Ismail Marzuki Jakarta, Jumat
(1/3/2014).
Ke-33 tokoh sastra
Indonesia paling berpengaruh versi mereka adalah (berdasar urutan peringkat)
Kwee Tek Hoay, Marah Roesli, Muhammad Yamin, Hamka, Armijn Pane, Sutan Takdir
Alisjahbana, Achdiat Karta Mihardja, Amir Hamzah, Trisno Sumardjo, HB Jassin,
Idrus, Mochtar Lubis, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Iwan Simatupang,
Ajip Rosidi, Taufik Ismail, Rendra, NH Dini, Sapardi Djoko Damono, Arief
Budiman, Arifin C Noor, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohammad, Putu
Wijaya, Remy Sylado, Abdul Hadi WM, Emha Ainun Nadjib, Afrizal Malna, Denny JA,
Wowok Hesti Prabowo, Ayu Utami, dan Helvi Tiana Rosa.
Tak Adil
Kontroversi muncul
antara lain berupa keberatan dan penolakan dasar pemilihan tokoh, terutama
berkait dengan nama Denny JA. Penolak paling keras dan kritis, bisa dibilang,
adalah Saut Situmorang. Namun aneh. Penolakan Saut berlandaskan argumen saintifik
membuat dia dikriminalisasi - ”hanya” atas dasar satu ungkapan di media sosial
yang dinilai menghina, melecehkan, mencemarkan nama baik. Saut diadili berdasar
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Perlakuan tak adil terhadap
Saut memunculkan solidaritas dari berbagai kalangan. Muncul gerakan ”Save Saut”
di berbagai kota. Saut pun bukan pribadi mau atau gampang bertekuk lutut oleh
ancaman hukuman itu. Bahkan ketika akhirnya dinyatakan bersalah dan dihukum
lima bulan dengan masa percobaan setahun, Saut tetap menyuarakan secara keras
dan kritis penolakan terhadap klaim Denny JA sebagai pelopor penulisan puisi
esai dan tokoh ke- 30 dari 33 tokoh paling berpengaruh dalam sastra Indoensia.
Sampai sekarang. Sikap Saut, antara lain, bisa dibaca lewat esai dia berjudul
”Huusss Puusssss, Tardji, Tobatlah!”, yang diunggah pada19 Januari 2016.
Dalam esai itu, dia
membelejeti (termasuk) permainan uang di balik penulisan buku dan klaim atau
dukungan bagi peran Denny JA dan puisi esainya. Muncul pula buku yang
menelanjangi permainan di balik penyusunan buku yang menokohkan Denny JA itu.
Itulah buku Skandal Sastra: Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh
dan Kriminalisasi Saut Situmorang. Awal tahun ini, kembali Denny JA bikin ”gebrakan”.
Itulah heboh proyek penulisan buku puisi esai yang, berdasar klaim dia,
melibatkan 170 penulis dari Aceh sampai Papua. Tentu saja, lagi-lagi Saut
dengan keras menolak. Namun kini dia tak lagi sendiri. Sekarang makin banyak
kalangan, makin banyak penulis, menyuarakan penolakan - sebagaimana Saut
lontarkan.
Mereka, antara lain
untuk menyebut beberapa, adalah Sunlie Thomas Alexander, Gus Noy, Dwi Cipta.
Langkah dan wujud penolakan yang mencerminkan bahkan makin hari kian banyak
yang melek kenyataan terunjukkan lewat petisi penolakan yang ditandatangani
lebih dari 2.000 penulis dari berbagai wilayah di negeri ini.
Apa yang bisa kita
ambil sebagai hikmat dari peristiwa ini?
Sastra memang bukan
wilayah yang kalis dari perdebatan, tidak sepi dari perseteruan. Namun, kali
ini, perseteruan itu muncul lantaran terpantik oleh langkah yang didorong oleh
hasrat seseorang agar tercatat sebagai tokoh, sebagai pioner, sebagai persona
yang ”tidak biasabiasa saja”. Apalagi penuntasan hasrat itu didasari dan dibarengi
keyakinan dan sikap: semua bisa diatur dengan uang.
Agaknya kita masih
akan ”memperoleh tontonan” bagaimana pelunasan hasrat menjadi dan diakui
sebagai tokoh berpengaruh itu menemu wujud. Mumpung belum terulang, bolehlah
kita berharap, kelak, bukan kekuatan uang dan kekuasaan yang menjadi penentu
kebenaran.(Gunawan Budi Susanto-44)